- Kasus pagar laut yang terjadi di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten ,belum hilang dari ingatan publik dan menyisakan misteri sampai sekarang. Namun kini, publik dikejutkan penemuan lain berupa tanggul beton di perairan Marunda, pesisir Jakarta.
- Beton yang membentang hampir 3 kilometer (km) itu ternyata adalah bagian dari reklamasi untuk pembangunan pelabuhan umum yang dilaksanakan PT Karya Citra Nusantara (KCN). Proyek tersebut sudah mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
- Dokumen izin tersebut adalah Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan sudah diterbitkan oleh KKP pada 2023. Luas lahan yang disetujui adalah 198 hektare, dan reklamasi diizinkan seluas 82 ha
- Namun, walau sudah ada izin PKKPRL, nelayan mengeluhkan akses keluar masuk perahu perikanan yang mereka gunakan untuk menangkap ikan. Mereka kesulitan, karena beton sudah menghalangi dan membuat perahu harus memutar jauh
Belum juga lupa dari ingatan kasus pagar laut di Tanggerang, Banten, publik kembali ramai dengan tanggul laut berupa pagar beton sepanjang 2-3 kilometer di pesisir Marunda, Jakarta. Kehadiran pagar beton itu memantik protes para nelayan karena mengganggu akses melaut.
Fajar Kurniawan, Direktur Pengendalian Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut, keberadaan tanggul beton itu sebagai bagian dari proyek reklamasi untuk pembangunan pelabuhan milik PT Karya Citra Nusantara (KCN).
KKP klaim proyek itu kantongi persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL).
KCN mengajukan PKKPRL pada 2022 melalui sistem online single submission (OSS). KKP kemudian melakukan penilaian teknis, termasuk berkoordinasi dengan limtas intansi sebelum menerbitkan izin itu.
Dia klaim penerbitan dokumen PKKPRL sesuai dengan peruntukan tata ruang. “Itu ada di zona industri, sehingga itu sesuai dengan tata ruang.”
Meski begitu, KKP hanya menyetujui 198 hektar dari total 218 hektar luasan yang mereka ajukan. Begitu juga dengan luas reklamasi, dari 100 hektar usulan, KKP menyetujui 82 hektar.
Widodo Setiadi, Direktur Utama KCN, mengatakan, pagar beton yang membentang hingga tiga km itu bukanlah tanggul laut melainkan bagian dari konstruksi proyek pelabuhan. “Beton diharapkan bisa selesai pada 2027. Saat ini, kami mencari cara bagaimana kompensansi yang tepat untuk jangka pendek,” katanya.
Kompensasi yang dia maksud untuk 700 nelayan dan 1.000 kapal ikan di Cilincing yang terdampak proyek. Mereka, kata Widodo, masih menghitung dengan melibatkan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) di Jakarta.
“Tidak semua nelayan adalah penduduk Jakarta. Perusahaan punya tanggung jawab sosial untuk menjaga kearifan lokal dan keberlangsungan hidup masyarakat pesisir,” katanya.
Dia pastikan, proyek ini tidak bersumber dari negara (APBD/APBN) tetapi hasil kerjasama swasta dan pemerintah.
Soal jalur nelayan yang terganggu, Widodo akan menyiapkan akses sepanjang 800 meter untuk para nelayan ke laut.

Privatisasi ruang laut
Miftahul Khausar, Program Manager Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengkritik kehadiran pagar beton yang halangi jalan akses keluar masuk perahu nelayan. Para nelayan harus memutar jauh untuk melaut.
“Bagi nelayan, jarak tempuh dekat atau jauh itu sangat berarti karena berpengaruh terhadap biaya operasional, seperti BBM dan lainnya. Semakin dekat, berarti semakin hemat biayanya,” katanya.
Dia pun meminta KKP mengawal dan terlibat lebih dalam kasus ini. Apalagi, KCN juga memiliki catatan tersendiri terkait dugaan pencemaran akibat batubara pada 2022.
Dia juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/2010 yang menegaskan hak-hak konstitusional nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasar putusan itu, privatisasi wilayah pesisir seharusnya tidak boleh dalam bentuk apapun. “Karena basisnya izin, KKP yang menerbitkan PKKPRL harus memastikan izin yang diberikan tidak mengganggu aktivitas dan wilayah tangkap nelayan.”
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) juga menyayangkan pembangunan beton untuk alat pemecah ombak yang menjadi bagian dari pembangunan pelabuhan. Dia pun sayangkan penerbitan izin yang tidak libatkan masyarakat terdampak.
“Kami mempertanyakan bagaimana partisipasi bermakna oleh dalam satu penentuan ruang yang tidak pernah diterapkan dalam menerbitkan izin oleh KKP,” katanya.
Dia menduga, langkah KKP yang terkesan begitu saja menerbitkan izin semata untuk mengejar penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kendati pun PNBP penting, seharusnya KKP melihat dan memastikan nelayan bisa berdaulat atas ruang hidupnya.
‘Nelayan itu, katanya, subjek penting yang harus dimintai pendapat berkaitan dengan ruang hidupnya.
“Yang ditangkap nelayan itu untuk pangan kita semua. Ini yang kemudian menjadi bagian paling menyedihkan.”
Susan menilai, apapun alasan KCN tentang proyek itu, tetap saja sebagai pelanggaran jika terbukti menutupi ruang hidup masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.
Saat nelayan kesulitan akses dan harus berjalan memutar untuk melaut, berisiko mengurangi hasil tangkapan dan meningkatkan biaya operasional.

Desak pemerintah instrospeksi
Yonvitner, Guru Besar bidang Ilmu Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB University mendorong pemerintah introspeksi diri berkaitan dengan proyek reklamasi dan pembangunan pelabuhan di pesisir Marunda. Dia bilang, kebijakan pemerintah memicu banyak persoalan.
“Mekanisme sosialisasi proyek ini tidak berjalan dengan mulus. Walau sudah ada PKKPRL, namun di sekitar proyek ada masyarakat yang punya aktivitas ekonomi,” katanya.
Seharusnya, sebelum memulai proyek, pemerintah sudah memikirkan dampak, terutama kepada nelayan.
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menegaskan, bila pembangunan pagar laut di Cilincing oleh KCN peroleh persetujuan lingkungan. Dalam siaran pers, KLH klaim proyek itu bagian dari pengembangan terminal umum dan bernilai strategis.
Hanif Faisol, Menteri LH mengatakan, KCN sudah memiliki persetujuan dokumen evaluasi lingkungan hidup kegiatan operasional pelayanan kepelabuhan laut seluas 55,5 hektar tertanggal 28 Agustus 2023. KCN juga memiliki Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan berdasarkan Keputusan Men-LH Nomor 62 /2024 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pengembangan Terminal Umum.
Menurut dia, persetujuan lingkungan itu mencakup langkah-langkah pengelolaan dampak, seperti pengendalian kualitas air laut dengan pemasangan silt screen dan kolam endapan, dan penghijauan buffer untuk mengendalikan debu dan emisi. Juga, pengolahan limbah terintegrasi dan jalur khusus untuk menjamin akses melaut nelayan pagar laut Cilincing.

*****