- Pulau Wawonii terkenal dengan perkebunan rakyat yang melimpah. Cengkeh dan pala menjadi tanaman yang bisa menghidupi lintas generasi.
- Namun, kehadiran tambang nikel membuat nasib masyarakat berubah, perkebunan berubah menjadi izin-izin pertambangan. Konflik lahan meningkat, begitu juga pencemaran dan krisis lingkungan.
- Peningkatan alih fungsu lahan juga meningkat dalam satu dekade terakhir. Kehilangan tutupan lahan memicu peningkatan suhu daratan hingga 2,49°C.
- Analisa Mongabay juga menunjukkan terjadinya degradasi vegetasi pada wilayah hutan.
Dulu Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara terkenal dengan surga perkebunan rakyat. Jambu mete, kakao, pala, kelapa kopra, hingga cengkih menjadi sumber kesejahteraan masyarakat. Tapi, satu dekade terakhir, wajah pulau ini berubah drastis saat tambang nikel datang.
Pada Januari 2019, konflik terjadi antara masyarakat Desa Sukarela, Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara dengan PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Pembukaan lahan dan perampasan kebun masyarakat menjadi titik awal krisis lingkungan di pulau tersebut.
Tak hanya merampas lahan, anak perusahaan Harita Group ini juga menyebabkan pencemaran air, gagal panen hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Meski Mahkamah Agung telah membatalkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) PT GKP pada September 2023, tapi masih beroperasi hingga saat ini.

Berdasarkan data Auriga, sejak 2015-2022, luas deforestasi Indonesia mencapai 12.988 hektar, 64% diantaranya disebabkan nickel pada 2000-2022. Yakni, 195.963 hektar. Deforestasi ini terjadi di beberapa wilayah, diantaranya Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, hingga Papua.
Sementara itu, pada pulau Wawonii, analisa perubahan penggunaan lahan yang dilakukan Mongabay pada 2014-2024 menunjukkan kehilangan hutan seluas 1.740 hektar. Alih fungsi ini menambah lahan terbuka dan terbangun untuk fasilitas penunjang industri ekstraktif.
Baca juga: PT GKP yang Terus Beroperasi Setelah Izinnya Dicabut
Suhu daratan yang kian meningkat
Kehilangan tutupan lahan memicu pemanasan permukaan tanah. Analisis data suhu dari 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan tren peningkatan suhu antara 1,26°C hingga 2,49°C, terutama di wilayah konsesi tambang.

Tentu hal ini membuktikan perubahan iklim mikro di Pulau Wawonii. Pola ini tidak terjadi secara acak, Kecamatan Wawonii Barat mengalami lonjakan suhu tertinggi sebesar 2,49°C, sementara area konsesi tambang PT GKP seperti Wawonii Tenggara dan Wawonii Tengah juga memanas signifikan, masing-masing sebesar 1,93°C dan 1,87°C.
Kondisi kenaikan suhu di pulau dalam satu dekade terakhir bukan sebuah kebetulan, tapi area yang tak memiliki tanaman pelindung akan kehilangan kemampuan pendinginan alami. Sebuah studi menjelaskan bahwa tekanan termal (panas) dari fenomena inilah yang turut merusak lahan pertanian di sekitarnya.

Bahkan analisa citra NDVI—sebuah metode penginderaan jauh untuk mengukur kesehatan vegetasi—menunjukkan degradasi menyeluruh pada pulau ini. Hal ini mencerminkan tekanan ekologis yang serius di tengah pulau kecil yang selama ini bergantung pada sektor agraris.
Laode Alhamd, ahli Ekologi Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN menyatakan, Wawonii adalah pulau kecil yang tak berpegangan dan beradaptasi dengan mainland atau pulau besar. BRIN mencatat ada sekitar 1.000 jenis tumbuhan di Wawonii. Sehari-hari, warga Wawonii memanfaatkan sekitar 200 jenis tumbuhan sebagai bahan pangan, papan, obat dan kosmetika, hingga anyaman dan sumber energi.

Data satelit juga mengungkap periode awal, vegetasi di Pulau Wawonii masih tergolong sehat. Indeks kehijauan (NDVI) rata-ratanya berkisar antara 0,374 hingga 0,400, menunjukkan kondisi normal. Namun pada 2024, peta berubah drastis. Nilai NDVI anjlok secara serempak di seluruh kecamatan, dengan penurunan paling mencolok di bagian selatan, tenggara, dan tengah wilayah yang sebagian besar telah mengantongi izin tambang.
Salah satunya riset pada 2024 yang menunjukkan bahwa partikel debu tambang yang beterbangan turut mencemari lahan-lahan pertanian warga, menyumbat pori-pori tanah dan mengganggu proses tumbuh-kembang tanaman.
*Tulisan ini merupakan analisa dari Januar Wijaya. Dia merupakan seorang lulusan Geografi dari Universitas Negeri Semarang yang sedang magang di Mongabay Indonesia. Januar aktif dalam pemanfaatan data geospasial dan narasi untuk mendorong pembangunan berkelanjutan, ketahanan iklim, dan keadilan lingkungan.
Kala Tambang Nikel Datang, Biodiversitas Pulau Wawonii Mulai Terdampak