- Pemerintah Indonesia berencana menyuntik mati atau menghentikan operasional PLTU Surayala di Cilegon, Banten, dengan alasan untuk mengurangi polusi udara di Jakarta dan sekitar. Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyatakan itu baru-baru ini. Berbagai kalangan meragukan keseriusan ungkapan itu.
- Uli Arta Siagian dari Walhi Nasional mengatakan, perumusan tentang politik energi di Indonesia tidak pernah benar-benar menjadi perhatian. Pembahasan energi di tingkat elit hanya berfokus pada pembangkit listrik berskala besar. Sedang di tapak, masyarakat adat dan komunitas lokal tidak bisa mengakses sumber energi listrik.
- Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), juga meragukan komitmen pemerintah mempensiunkan PLTU Suralaya. Baginya, narasi pensiun dini sekadar upaya memperpanjang usia pembangkit listrik.
- Kalaupun jadi benar-benar suntik mati PLTU Suralaya, pertanyaan lanjutannya, pendanaan seperti apa? Berbagai kalangan mengingatkan, pemerintah agar berhati-hati jangan sampai terjerat dalam utang energi.
Pemerintah Indonesia berencana menyuntik mati atau menghentikan operasional PLTU Surayala di Cilegon, Banten, dengan alasan untuk mengurangi polusi udara di Jakarta dan sekitar. Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyatakan itu baru-baru ini. Berbagai kalangan meragukan ungkapan itu.
“Jadi kita pengen exercise, kita ingin kaji kalau bisa kita tutup supaya mengurangi polusi di Jakarta,” katanya ditemui seusai menghadiri Supply Chain & National Capacity Summit 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, 14 Agustus lalu seperti dilansir Antara.
Untuk memastikan suntik mati PLTU yang diresmikan Presiden Soeharto 11 Agustus 1984 itu, pemerintah akan mengkaji terlebih dahulu. Luhut bilang, polusi udara PLTU itu sangat tinggi, usia operasi sudah 40 tahun.
“Karena akibat (kualitas) udara yang 170-200 indeks ini, itu banyak yang sakit ISPA. Kalian (wartawan) itu kena, saya juga kena. Jadi ini beban kita rame-rame,” katanya.
PLTU Suralaya ada 10 unit, terbagi lima tahap pembangunan. Tahap pertama berkapasitas 1×400 megawatt pada 1984 (unit 1 dan 2). Tahap 2 berkapasitas 2X400 megawatt pada 1989 (3 dan 4), tahap ketiga berkapasitas 3X600 megawatt pada 1997 (unit 5,6 dan 7). Kemudian, tahap keempat berkapasitas 1X624 megawatt pada 2011 (unit 8) tahap kelima berkapasitas 2X1.000 (unit 9 dan 10) dengan pembangunan mulai 2020 dan rencana beroperasi akhir Agustus 2024.
Menurut Luhut, polusi udara menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan pendanaan Rp38 triliun untuk berobat masyarakat karena terpapar polusi udara.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)– sebelum berganti dengan Bahlil Lahadalia—mengakui, PLTU Suralaya menghasilkan emisi sangat tinggi. Namun, katanya, pemerintah harus mempertimbangkan sumber energi terbarukan untuk memastikan kelangsungan pasokan energi berkelanjutan, apabila PLTU Suralaya disuntik mati.
“(PLTU Suralaya) itu memang harus kita rencanakan pensiun dini, tapi direncanakan juga energi baru yang akan masuk baru ini, apa yang gantinya?”
Dia mengaku pernah terbang di atas wilayah itu. “Berat tuh emisinya di daerah sana, Cilegon, banyak industri, kemudian pembangkitnya gede ya.”
Arifin bilang, kalau melihat dari potensi energi baru di Jawa, jumlahnya tidak cukup buat mendukung kebutuhan energi. Untuk itu, ke depan harus ada sambungan transmisi dari Sumatera untuk mendukung pasokan energi.
Dia menekankan, pembangunan infrastruktur transmisi ini harus bertahap. Tanpa infrastruktur transmisi memadai, energi baru tidak akan bisa masuk ke jaringan listrik nasional.

Ragu, serius suntik mati?
Sejumlah lembaga meragukan rencana pensiun dini PLTU Suralaya. Soalnya, mereka melihat ada kontradiksi pandangan di antara lembaga pemerintah terkait rencana itu dan pembangunan PLTU Suralaya 9 dan 10.
Uli Arta Siagian dari Walhi Nasional mengatakan, kontradiksi itu tampak dari perbedaan pandangan antara Luhut Binsar Pandjaitan dengan Arifin Tasrif.
Luhut mewacanakan kajian pensiun dini PLTU Suralaya untuk mengurangi polusi udara di Jakarta. Tasrif bilang PLTU tidak bisa langsung suntik mati.
“Logikanya energi terbarukan kita (di Pulau Jawa) tidak cukup, hingga proses pembangunan dua PLTU (9 dan 10) terus berjalan. Sementara pensiun dini tidak jalan-jalan,” katanya, 19 Agustus lalu.
Dalam perdebatan itu, katanya, perumusan tentang politik energi di Indonesia tidak pernah benar-benar menjadi perhatian. Pembahasan energi di tingkat elit hanya berfokus pada pembangkit listrik berskala besar. Sedang di tapak, masyarakat adat dan komunitas lokal tidak bisa mengakses sumber energi listrik.
Bagi Uli, untuk menjernihkan kontradiksi ini, pemerintah harus mampu menetapkan cara, model pengelolaan dan penerima manfaat energi yang tepat. “Mempertanyakan terus menerus siapa menguasai energi dan dipakai untuk apa, itu menjadi penting. Hingga tidak lagi-lagi jatuh pada solusi palsu,” katanya.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), juga meragukan komitmen pemerintah mempensiunkan PLTU Suralaya. Baginya, narasi pensiun dini sekadar upaya memperpanjang usia pembangkit listrik.
Soalnya, ketika dimatikan sementara pada 2023, PLTU Suralaya 1-4 sedang mengalami retrofit (penambahan teknologi) dan re-evaluasi aset. Tujuannya, menurut Bhima, untuk memperpanjang usia PLTU.
Latar pengalaman itu, katanya, membuat definisi pensiun dini PLTU Suralaya makin kabur. “Apakah dimatikan sementara, untuk dihidupkan lagi dengan umur yang lebih panjang. Atau, benar-benar dimatikan, hingga asset bisa jadi aset energi terbarukan.”
Bhima menilai, penundaan pensiun dini PLTU akan menjadi preseden buruk dan kontraproduktif dengan komitmen iklim dan transisi energi Indonesia. Kondisi ini, katanya, akan jadi beban PLN makin besar, kompensasi APBN jadi lebih mahal, serta menurunkan minat investor danai energi terbarukan.
Selain itu, upaya memperpanjang PLTU batubara juga bertentangan dengan komitmen iklim dan transisi energi Indonesia. “Harusnya target energi terbarukan meningkat, lebih ambisus dan makin banyak PLTU yang dipensiunkan.”
Meski belum mengetahui persis PLTU mana yang diusulkan Luhut untuk pensiun dini, namun Bhima mengajukan sejumlah indikator. Antara lain, teknologi yang usang, dampak lingkungan ke masyarakat, serta membebani fiskal PLN. “Tapi saya tidak yakin ada komitmen untuk pensiun dini PLTU Suralaya.”
Novita Indri, Juru Kampanye Kebijakan Energi dan Keuangan Trend Asia pun ragu dengan rencana suntik mati PLTU Suralaya. Sebab, rencana ini sudah beberapa kali didengungkan tetapi tidak pernah terealisasi.
“Tahun lalu itu sempat rame soal polusi udara juga katanya diturunkan dayanya (daya PLTU Suralaya) dan segala macamnya. Tapi kan kenyataannya sampai hari ini masih beroperasi yang di Suralaya,” ucapnya kepada Mongabay, 15 Agustus lalu.
Isu suntik mati PLTU Suralaya ini seperti siklus yang didengungkan pemerintah di momen-momen tertentu. Meski begitu, Novita berharap niat pemerintah kali ini serius dan ada realisasi.
“Tapi kami merasa bahwa ini juga masih menjadi apa ya, kami melihat ini seperti sebuah siklus yang sebenarnya tidak ada. Semoga memang benar-benar diseriuskan,” katanya.
Dia menyambut baik pernyataan Luhut menyatakan suntik mati PLTU Suralaya untuk mengatasi polusi udara di Jakarta. Namun, katanya, perlu diingat masih ada PLTU Suralaya unit 2- 8 yang masih beroperasi. Kemudian 9-10 yang segera jalan akhir Agustus.
Bila dihitung secara matematis, PLTU Suralaya 1-4 berkekuatan 1,6 Gigawatt dan unit 9-10 sebanyak 2 gigawatt. Apabila unit 1-4 pensiun, katanya, akan ada selisih 400 megawatt.
“Nah, yang menjadi pertanyaan, apakah kita menutup 1,6 dan membuka 2 gigawatt. Itu apa gak nombok bagi polusi udara? Juga perlu kita lihat seperti itu.”
Dia bilang, usia unit 1-4 Suralaya terus diperpanjang karena jadi pilot untuk pencampuran dengan biomassa (PLTU co-firing).
Novita mengatakan, PLTU Suralaya memang menjadi penyebab polusi udara di Jakarta, namun bukan satu-satunya. Terdapat 23 PLTU batubara di Banten yang dikelola pemerintah dan korporasi. Belum lagi, banyak perusahaan-perusahaan yang menghasilkan polusi udara.
Apabila, semangatnya menekan polusi udara, pemerintah harus monitoring dan evaluasi terhadap perusahaan juga.
“Perlu untuk evaluasi, monitoring terkait dengan standarisasi lingkungannya. Bagaimana baku mutu emisi, apalagi kalau ada PLTU-PLTU industri di situ,” katanya.
Fanny Tri Jambore Cristanto, Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Walhi Nasional pun mempertanyakan, mekanisme suntik mati PLTU Suralaya yang dimaksud itu benar-benar setop atau justru bahan bahan diganti dengan bahan fosil lain.
“Nah repurposing itu yang kemudian masih jadi pertanyaan. Repurposing itu apa? Misal, ada penggunaan ke co-firing atau penggunaan lain yang masih terikat, atau masih berbasis energi fosil yang lain. Ya itu bukan upaya mematikan,” kata Rere, sapaan akrabnya.
Kalau memang akan mematikan PLTU, kata Rere, mesti ada perhatian kepada nasib para pekerja pembangkit dan masyarakat sekitar yang terdampak polusi udara dan kerusakan lingkungan.
“Apakah ada mekanisme pemulihan ekonomi, lingkungan di sana?”

Biaya dari utang?
Pertimbangan selanjutnya, adalah soal pembiayaan untuk menyuntik mati PLTU Suralaya. Menurut Novita, PLTU Suralaya memang aset BUMN, PT PLN. Namun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga harus terlibat dalam proses suntik mati. Misal, dalam menghitung nilai aset dan potensi kerugian negara.
Menyuntik mati PLTU, katanya, perlu biaya sangat besar. Dia contohkan, PLTU Cirebon 1 berkapasitas 660 megawatt perlu dana sampai US$1,3 miliar atau sekitar Rp200 triliun untuk suntik mati. Rencananya, PLTU Cirebon 1 akan benar-benar suntik mati pada 2035.
“Nah, bisa kita bayangkan kalau yang total 1,6 gigawatt (PLTU Suralaya Unit 1-4) itu butuh berapa juta dolar? Skema pembiayanya apa?” kata Novita.
Dia katakan, skema utang dipakai pada rencana suntik mati PLTU Cirebon 1 lewat mekanisme Energy Transition Mechanism (ETM).
“Bentuknya adalah bentuk utang, bukan hibah. Itu juga perlu berhati-hati.”
Novita berharap, pemerintah transparan dan akuntabel dalam mekanisme pembiayaan suntik mati PLTU Suralaya ini.
“Jadi secara pembiayaan itu pasti akan butuh biaya besar. Pertanyaannya, siapa yang akan membiaya. Apakah kita akan membuka peluang untuk pembiayaan-pembiayaan dari luar atau akan diambil dari pembiayaan publik di Indonesia?”
Rere pun khawatir, mekanisme pembiayaan suntik mati PLTU Suralaya. Menurut dia, mekanisme pembiayaan untuk transisi energi bisa membawa Indonesia dalam jeratan utang.
“Justru membayari upaya transisi energi di negara dunia bukan dengan cara menghubungkan utang ke pemerintahan negara di Selatan Eropa. Kalau mekanisme utang, negara-negara makin terjerat utang untuk transisi energi,” katanya kepada Mongabay.
Ironisnya, meski akan menyuntik mati, pemerintah tetap berencana menambah PLTU batubara. Belum lagi, PLTU batubara di kawasan industri (PLTU captive) juga makin banyak.
“Apakah ini hanya rencana? Mengingat tadi ya, biaya yang dibutuhkan untuk mematikan PLTU itu tidak sedikit. Pertanyaannya, mekanisme apa yang akan dipilih pemerintah untuk mematikan PLTU-PLTU itu?” tanyanya.
********
Udara Jabodetabek Buruk, Pemerintah Bentuk Satgas Pengendalian Pencemaran