- Udang satang atau udang galah [Macrobrachium rosenbergii] yang hidup di sungai-sungai di Pulau Bangka, merupakan bahan “istimewa” dalam tradisi kuliner masyarakat Melayu di Pulau Bangka. Masakan “lempah udang” biasanya disajikan saat nganggung, guna menyambut hari-hari besar Islam.
- Kelestarian udang galah sangat bergantung pada ekosistem mangrove yang mendominasi sebagian besar sungai di Pulau Bangka. Berkurangnya hasil tangkapan udang galah, sejalan dengan degradasi sungai dan ekosistem mangrove di Pulau Bangka.
- Maraknya aktivitas antropogenik [penambangan, perkebunan, tambak udang] yang merusak sungai dan mangrove di Pulau Bangka, diduga karena hilangnya sejumlah ritual terkait sungai di Pulau Bangka.
- Kondisi yang sama di Sumatera Selatan. Udang satang sudah sulit didapatkan.
Udang satang atau umum dikenal udang galah [Macrobrachium rosenbergii], merupakan bahan “istimewa” dalam tradisi kuliner masyarakat Melayu di Sumatera. Dari Aceh hingga Lampung, termasuk pula di Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Masakan dari udang satang merupakan makanan mewah bagi orang Melayu.
Di Pulau Bangka, udang yang tekstur dagingnya mirip lobster, lembut, berasa manis, biasanya diolah menjadi “lempah kuning” atau biasa disebut “lempah udang”, yakni masakan saat nganggung. Tradisi makan bersama yang sejak tahun 2010 ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Nganggung biasanya dilaksanakan di masjid atau tempat terbuka untuk menyambut hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Nisfu Sya’ban, Muharram, serta selepas shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
“Lempah udang juga menjadi hidangan khusus keluarga jauh yang berkunjung ke rumah. Intinya, hanya disajikan hari-hari penting atau istimewa,” kata Zainab [68], perempuan asal Desa Kota Kapur, yang tinggal di dekat Sungai Menduk, Kabupaten Bangka, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [06/10/2022].
Sungai Menduk atau Mendo merupakan habitat alami udang galah di Pulau Bangka. Panjangnya sekitar 41,91 kilometer, alirannya membelah Desa Labuh Air Pandan dan Desa Kota Kapur, serta bermuara di Selat Bangka.
Baca: Kelik Sulung, “Penghuni” Rawa Gambut Kepulauan Bangka Belitung
Udang satang mudah didapatkan pada musim kemarau [Juli-Oktober]. “Warga sekitar Sungai Mendo biasanya menangkap menggunakan perangkap bubu atau jaring belat,” kata Pendi, warga Desa Kota Kapur.
“Khusus jaring belat, mulai dipasang saat air pasang, bentuknya memanjang mengikuti garis hutan mangrove, saat surut dilihat apakah ada udang terperangkap. Biasanya, dalam sehari kami bisa mendapat 1-2 kilogram,” lanjutnya.
Penghasilan tersebut menurut Pendi, jauh berkurang dibandingkan lima hingga sepuluh tahun lalu. “Dulu bisa 5-10 kilogram. Harganya lumayan, sekarang saja bisa dijual dengan harga 100-140 ribu per kilogram,” lanjutnya.
Hal serupa dikeluhkan Azwar, pencari udang dari Desa Kota Kapur. “Tahun 2000-an, dapat lima kilogram. Sekarang, satu kilogram sulit dan ukurannya kecil.”
Udang satang yang memiliki ciri khas capit biru, merupakan spesies udang terbesar yang hidup di sekitar perairan tawar hingga payau.
Berdasarkan penelitian “Analisis Kelimpahan Udang Galah [Macrobrachium rosenbergii] di Sungai Menduk Kabupaten Bangka” oleh Bobby Fajrilian, dijelaskan parameter perairan seperti DO [oksigen terlarut], suhu dan salinitas, mempunyai hubungan erat dengan kelimpahan udang galah.
“Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 2 dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Stasiun 2 memiliki DO paling tinggi,” jelas riset yang diterbitkan dalam Jurnal Sumberdaya Perairan, Universitas Bangka Belitung [UBB].
Menurut Henri, peneliti biologi dari UBB, terjaganya parameter perairan berkat peran ekosistem mangrove yang masih baik di sepanjangan aliran sungai.
“Ketika terjadi degradasi, berpengaruh terhadap parameter tersebut, sehingga mengancam biota di perairan tersebut, termasuk kehidupan manusia di sekitar,” katanya.
Baca: Kelik Puteh, Ikan Lele “Albino” yang Mulai Menghilang dari Pulau Bangka
Rawa, mangrove, dan sungai yang tercemar
Berdasarkan dokumen IKPLHD [Informasi Kinerja Lingkungan Hidup Daerah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2021, dalam setahun [2019-2020], luasan hutan mangrove primer di Kepulauan Bangka Belitung, mengalami degradasi seluas 10.858 hektar. Awalnya seluas 33.647,09 hektar menjadi 22.789,09 hektar.
“Berdasarkan data perubahan penutup lahan 2019-2020, eksploitasi terjadi pada sektor pertambangan dan perkebunan, ditambah sektor perikanan budidaya dalam hal ini budidaya udang vaname di pesisir.”
Berdasarkan dokumen yang sama, kerusakan mangrove juga diikuti tercemarnya sekitar 55 persen sungai, dari 2.000 lebih sungai yang ada di Kepulauan Bangka Belitung [tahun 2019].
“Pada 2019, sekitar 55 persen sungai melebihi baku mutu TSS [Total Suspended Solid] dan 78 persen sungai melebihi baku mutu BOD [Biochemical Oxygen Demand]. Namun pada tahun 2020, parameter TSS melebihi baku mutu hanya terjadi pada tiga lokasi saja atau 11,1 persen, dan tidak ada lokasi yang melebihi baku mutu BOD,” tulisnya.
Sebagai informasi, TSS adalah padatan tersuspensi di badan air sungai. Di Bangka Belitung, TSS banyak berasal dari limbah atau tailing pertambangan timah. Sementara BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengurai bahan organik di air.
Baca: Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka
Memudar
Menurut Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, di masa lalu masyarakat Pulau Bangka sangat menghormati sungai.
“Hubungannya tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi juga terkait spiritual, diwujudkan adanya ritual sedekah atau taber sungai,” katanya.
Nilai-nilai taber sungai mirip taber laut, yang intinya bentuk syukur terhadap hasil alam [sungai], serta meminta doa agar dilimpahkan hasil selanjutnya beserta keselamatan saat beraktivitas di sungai.
“Namun, menurut informasi masyarakat, ritual ini sudah tidak pernah lagi dilakukan. Seperti yang terjadi pada ritual sedekah sungai di Sungai Sukal, di pesisir barat Pulau Bangka [Selat Bangka],” lanjut Jessix.
Hilangnya ritual taber sungai juga terjadi di sekitar Sungai Semubur, aliran sungai di Teluk Kelabat, masuk kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Maras.
Menurtu Ratno, warga Desa Pangkaniur, Kabupaten Bangka, ritual taber sungai dilakukan di sebuah batu granit, di tengah Sungai Semubur.
“Batu itu kami namakan “batu nenek”.
Batu tersebut hanya muncul ke permukaan saat kondisi surut, tepatnya Mei. Masyarakat yang ikut ritual berasal dari sejumlah desa di sekitar Teluk Kelabat, seperti Desa Pangkalniur, Desa Pusuk, Desa Tuik, dan lainnya.
“Dalam ritual, ada larangan beraktivitas di sekitar sungai selama tiga hari. Jika ada yang melanggar, akan diarak keliling kampung, serta akan dilibas menggunakan mayang [bunga] pinang,” lanjut Ratno, yang merupakan penjaga hutan adat Tukak, bagian dari DAS [Daerah Aliran Sungai] Semubur, di Desa Pangkalniur, Kabupaten Bangka.
Namun, ritual tersebut hilang. Penyebabnya, tidak ada lagi generasi penerus [ketua adat/dukun sungai], yang memimpin acara tersebut.
“Terakhir dilaksanakan sekitar tahun 90-an. Saya ingat betul, saat itu ada warga melanggar dan diarak keliling kampung,” kata Ratno.
Baca juga: Nasib Ikan Cupang Endemik Bangka Belitung, Terancam Punah karena Habitat Rusak
Populasi berkurang
Muhammad Iqbal, peneliti Biologi dari Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya mengatakan, “Udang satang saat ini sudah sangat sulit didapatkan, meskipun dulunya semua perairan di Sumatera Selatan memilikinya.”
Penyebabnya, pertama, udang satang menjadi buruan banyak nelayan atau pemancing. Nilai ekonominya tinggi, sehingga overfishing.
Kedua, kualitas air sungai kian menurun, dikarenakan pencemaran limbah industri dan domestik. Ketiga, banyaknya hutan yang habis atau rusak. Hutan merupakan tempat udang windu bertelur dan mencari makan.
Di Sumatera Selatan, udang satang banyak didapatkan di Sungai Musi, Sungai Lalan, dan Sungai Banyuasin.
Udang satang merupakan bahan masakan mahal di Sumatera Selatan. Selain dijadikan pindang atau digoreng, biasanya digunakan sebagai bahan kuah mie celor dan tekwan.
Yudhy Syarofie, peneliti budaya Palembang, menyebutkan sejak dahulu udang satang merupakan simbol makanan kaum ningrat atau orang kaya.
“Tidak semua orang mampu membelinya kecuali memancing sendiri. Bagi kaum ningrat di Palembang, menghidangkan udang satang di meja makan merupakan suatu keharusan. Tamu yang dihormati wajib dihidangkan masakan dari udang satang. Simbol ini menyebar ke berbagai wilayah penguasaan Palembang, baik di Sumatera Selatan maupun di Kepulauan Bangka Belitung,” jelasnya.