- Bencana kembali datang di Tapanuli Selatan. Setelah Banjir dan Longsor, kali ini kabupaten itu ditimpa tanah bergerak di Desa Tandihat.
- Data Pemerintah Kabupaten Tapsel mengungkap, 157 rumah hancur, serta 640 orang warga terdampak.
- Herma Nasution (27), pemuda adat Mandailing desa tersebut, mengatakan, tanah bergerak yang menghantam kampungnya terjadi sejak Selasa (25/11/25) lalu. Saat itu, bangunan rumah retak-retak dan tanah tempatnya menapak bergeser.
- Gustam Lubis, Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Utara, menyebut, perlu analisis lebih lanjut ihwal bebatuan di lokasi bencana bersifat lepas atau masif dan kompak. daerah dengan batuan kurang kompak, jika terkena intensitas hujan yang tinggi akan membuat batuan dan tanah di atasnya menyerap air dan menambah beban.
Horor kembali menimpa Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara. Setelah longsor dan banjir bandang, beberapa desa kabupaten yang masuk lanskap Batang Toru itu alami fenomena tanah bergerak.
Salah satynya di Desa Tandihat. Data Pemerintah Tapsel mengungkap, 157 rumah hancur, dan 640 warga terdampak.
Herma Nasution, pemuda Mandailing mengatakan, tanah bergerak yang menghantam kampungnya terjadi sejak 25 November lalu. Saat itu, rumah retak-retak dan tanah bergeser.
Saat itu, pergerakan tanah hanya menghantam bangunan dekat lereng bukit. Awalnya, warga menganggap kejadian itu bagian dari banjir bandang dan tanah longsor.
Intensitasnya meninggi dan mencapai puncak sejak Jumat-Sabtu (13-13/12/25). Warga pun panik dan menyelamatkan diri ke luar rumah, menjauh dari tanah yang bergerak.
Akibatnya, tempat tinggal, rumah ibadah, dan kantor-kantor pemerintahan hancur. Jalan utama menuju kampung juga terputus total karena longsor dampak pergeseran tanah.
“Sudah hancur leburlah kampung kami ini,” katanya.
Ranto Panjang Sipahutar, Kepala Desa Tandihat, mengatakan, sudah mengevakuasi warga dari lokasi tanah bergerak. Lebih 600 warga terdampak mereka tempatkan di pengungsian korban longsor dan banjir tak jauh dari desa.
“Kami sudah melaporkan peristiwa ini kepada Bupati Tapanuli Selatan. Barang-barang belum bisa dievakuasi keluar desa, karena jalan utama dan satu-satunya keluar masuk kampung longsor dalam tak bisa masuk kendaraan,” katanya.
Gus Irawan Pasaribu, Bupati Tapsel, mengatakan, belum mengetahui apa penyebab pasti terjadinya pergeseran tanah ini. Dugaan kuatnya, akibat hujan deras dan cuaca ekstrem pada 24-26 November lalu.
Meski demikian, dia masih menunggu hasil kajian dari badan geologi untuk mengetahui penyebab pastinya.
“Tim kita di lapangan langsung bertindak cepat tanggap darurat mengevakuasi ratusan warga kami yang rumahnya rusak akibat pergeseran tanah ini. Alhamdulillah, semuanya bisa diselamatkan dan tidak ada yang tewas akibat peristiwa ini.”
Riski Abadi Rambe, Ketua Naposo Nauli Bulung Tapsel, mengatakan, fenomena ini juga terjadi di Desa Sisundung dan Siuhom, Kecamatan Angkola Barat. Meski tidak seperti Tandihat, kerusakan di dua desa ini terdapat pada jalan-jalan dan lereng bukit termasuk tanah-tanah dekat pemukiman warga.
Kondisi ini membuat ratusan warga panik dan memutuskan mengungsi. Khawatir rumah-rumah mereka juga akan amblas seperti yang terjadi di Desa Tandihat.
Hingga Senin (14/12/25), katanya, setidaknya ada 174 warga mengungsi ke tempat yang lebih aman.
“Ratusan warga di dua desa lainnya sampai dengan sekarang masih trauma dan penuh ketakutan. Ada yang mengungsi di tempat pengungsian korban bencana banjir dan longsor ada juga yang mengungsi di rumah kerabat mereka yang tak terkena musibah ini dan lebih aman.”
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan artikel terbaru setiap harinya.
Terpengaruh banjir dan longsor?
Gustam Lubis, Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Utara, menyebut, perlu analisis lebih lanjut ihwal bebatuan di lokasi bencana bersifat lepas atau masif dan kompak.
“Karakter keduanya beda. Makanya perlu lihat jenis batuannya,” katanya.
Sebab, daerah dengan batuan kurang kompak, jika terkena intensitas hujan yang tinggi akan membuat batuan dan tanah di atasnya menyerap air dan menambah beban. Kondisi wilayahnya di perbukitan dan pegunungan akan membuat potensi tanah meluncur atau bergerak tinggi.
Akibatnya, aktivitas manusia di atasnya, mulai dari pemukiman, perkebunan atau infrastruktur, akan terdampak.
Karena itu, penting untuk mengetahui kondisi geologis daerah yang masyarakat huni. Supaya, katanya, pembangunan yang terjadi bisa memitigasi bencana dan sesuai dengan daya dukung lingkungan.
“Mendengarkan masukkan para geolog patut dipertimbangkan bagi mereka yang tinggal di lokasi rawan bencana geologi.”
Selain itu, perlu juga analisis morfologi wilayah yang terdampak bencana tanah bergerak. Untuk mengetahui kelayakan lokasi tersebut bertahan sebagai pemukiman atau warga yang tinggal harus relokasi.
“Kalau daerah-daerah itu kemungkinan rawan bencana, saya menyarankan alangkah baiknya kita tidak membuat suatu pemukiman. Sebab bisa berbahaya bila dipaksakan.”
Pindah ke lokasi aman
Gus Irawan menyebut, sudah berkonsultasi dengan masyarakat terdampak. Hasilnya, warga setuju untuk pindah ke lokasi yang aman tanah bergerak maun banjir dan longsor.
Dia pun sudah berkomunikasi dengan PTPN IV. Perusahaan pelat merah itu bersedia mengalokasikan 9-10 hektar lahannya jadi tempat tinggal warga.
Perusahaan, bahkan rela meminjamkan tempat tinggal untuk karyawan yang tak berpenghuni untuk warga tempati sementara sambil menunggu rumah hunian tetap selesai.
Lampu hijau itu membuat Gus Irawan langsung menghubungi Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman. Tim dari kementerian, katanya, sudah turun ke lokasi, melakukan kajian terkait pembangunan dan relokasi warga ke tempat aman.
“Para analis dari badan geologi juga sudah melakukan kajian di lahan yang akan diberikan PTPN itu. Hasil kajian mereka, lokasi itu aman dari bencana longsor dan banjir sehingga pembangunan rumah hunian tetap bisa segera dilakukan.”
*****