- Banjir dan longsor di Batang Toru, Sumatera Utara tidak berdiri sendiri. Ekosistem yang hancur karena industri ekstraktif perparah bencana tersebut.
- Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), menyebut bencana ini merupakan yang terluas dan jumlah kejadian terbanyak dalam satu waktu dalam tiga dekade terakhir. Analisa mereka menemukan dugaan aktivitas PT Toba Pulp Lestari dengan kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di Tapanuli Selatan (Tapsel) dan Tapteng, Sumatera Utara (Sumut).
- Satya Bumi mendorong audit aktivitas ekstraktif di landscape Batang Toru termasuk tambang Agincourt dan PLTA Batang Toru. Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi mengatakan, rehabilitasi kawasan hulu secara komprehensif, termasuk reforestasi, stabilisasi lereng dan pemulihan daerah tangkapan air kritis mendesak di tengah kondisi ini. Upaya itu pun harus melibatkan Masyara
- Gus Irawan pasaribu, Bupati Tapanuli Selatan, berkantor di wilayah bencana banjir dan longsor sejak kejadian bencana. Dia melihat sendiri gelondongan kayu yang ikut terbawa arus banjir dan longsor. Kuat dugaan, katanya, itu hasil penebangan hutan di lanskap Batang Toru.
Banjir dan longsor di Sumatera bukan hanya faktor alam. Masyarakat sipil menyoroti kerusakan lingkungan yang memperparah bencana itu, antara lain, aktivitas industri ekstraktif.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara (Sumut), sebagai wilayah yang terdampak cukup parah.
Data yang mereka himpun hingga Minggu (30/11/25) pukul 17.00 WIB, korban jiwa akibat bencana mencapai 73 orang meninggal dunia, 104 dalam pencarian, dan 508 orang luka-luka.
Untuk Tapanuli Selatan (Tapsel), 52 orang meninggal dunia, 48 hilang, dan 58 butuh perawatan.
“Percepatan penanganan darurat, baik operasi pencarian dan pertolongan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pemulihan akses transportasi dan komunikasi menjadi fokus BNPB saat ini,” ucap Suharyanto, Kepala BNPB, dalam keterangan tertulis.
Per 2 Desember, BNPB mencatat korban meninggal di seluruh Sumut mencapai 283 orang. Korban hilang tercatat 173 jiwa.
Masinton Pasaribu, Bupati Tapteng, mengatakan, korban jiwa per Selasa (2/12/25) mencapai 86 orang meninggal dunia, serta 106 orang hilang. Tim gabungan masih melakukan pencarian.
Dia bilang, akses ke beberapa desa masih putus karena bencana tersebut. Sehingga penyaluran logistik hanya bisa melalui udara.
“Jalan dan jembatan masih ada yang terputus total sehingga tidak bisa masuk untuk mengirim logistik termasuk evakuasi. Listrik juga masih padam di hampir semua lokasi,” katanya.
Industri ekstraktif merusak ekosistem
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), menyebut, bencana ini merupakan yang terluas dan jumlah kejadian terbanyak dalam satu waktu dalam tiga dekade terakhir.
Analisa mereka menemukan dugaan aktivitas PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di Tapsel dan Tapteng.
Rocky Pasaribu, Direktur KSPPM, mengatakan, analisa tutupan lahan di kedua provinsi itu selama 1990-2024, yang mereka lakukan menggunakan mapbiomas.org menunjukkan penurunan tutupan hutan alam yang signifikan di Tapsel. Sebanyak 46.640 hektar hutan alam hilang dari kabupaten ini.
Terbesar pada periode 1990-2000, sekitar 26.223 hektar. Lalu 2000-2010 yang mencapai 10.672 hektar.
“Data perubahan tutupan lahan ini berjalan searah dengan perluasan penggunaan lahan lain,” ucapnya, Jumat (28/11/25).
Sejak 1990-2024, katanya, terjadi penambahan kebun sawit seluas 42.034 hektar, kebun kayu eukaliptus 1.107 hektar, serta 298 lubang tambang teridentifikasi.
Di Tapteng, sejak 1990-2024, sebanyak 16.137 hektar hutan alam hilang. Kehilangan terbesar di periode 1990-2000, sekitar 9.023 hektar, lalu 2010-2020 sebesar 6.154 hektar. Pola ini, menunjukkan kerusakan hutan yang bertahap, namun konsisten dalam tiga dekade.
Analisa KSPPM, perubahan tutupan hutan di kedua kabupaten ini berdampak langsung pada kerusakan DAS Batang Toru yang berhilir di Batang Toru, Tapsel dan DAS Sibundong yang berhilir di Kolang, Tapteng. Terdapat 21 anak sungai di hulu Batang Toru dan 46 anak Sungai di Sibundong.
Seluruh anak sungai tersebut berada dalam konsesi TPL. Kondisi ini yang menguatkan dugaan pembukaan hutan dan perubahan kawasan jadi monokultur telah merusak fungsi hidrologis kedua DAS tersebut.
Perubahan hutan yang terjadi dalam tiga dekade turut menyebabkan hilangnya vegetasi keras yang berfungsi menahan tanah dan mengatur aliran air. Akibatnya, ketika hujan deras turun, tanah mudah erosi, aliran permukaan tidak lagi tertahan, dan muncul jalur-jalur aliran baru yang merusak stabilitas DAS.
“Dugaan ini menguat karena 43 titik bencana di Tapteng dan Tapsel berada di hilir kedua sungai tersebut. Memperlihatkan hubungan langsung antara kerusakan hulu dan bencana di hilir.”
Dia bilang, tragedi yang menimpa Sumut, khususnya Tapteng dan Tapsel, bukanlah peristiwa tunggal. Melainkan hasil dari pembiaran pola eksploitasi yang berlangsung puluhan tahun.
Pemerintah, katanya, paling bertanggungjawab atas pembiaran praktik-praktik perusakan hutan yang perusahaan, pemegang izin, maupun pelaku pembalakan ilegal lakukan. Rakyat yang menanggung akibat saat negara gagal hadir menjaga hutan.
“Di banyak tempat, jejak perusak hutan tampak jelas, dari hutan yang terpotong, bukit yang gundul, tanah yang rapuh, dan aliran air yang semakin liar. Kemarin, potongan-potongan kayu yang hanyut jadi saksi bisu dari kejahatan ekologis yang selama ini dianggap biasa.”
Karena itu, dia mendesak pemerintah pusat dan daerah segera ambil langkah tegas. Berupa penghentian pembukaan hutan baru di kawasan rentan, melakukan audit menyeluruh konsesi, menindak pembalak liar tanpa pandang bulu, hingga pemulihan kawasan hulu DAS.
“Pemulihan ekologis tidak dapat ditunda lagi.”
Selain TPL, Satya Bumi mencatat aktivitas ekstraktif lain seperti tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, PLTA Batang Toru, juga perkebunan sawit PT Sago Nauli dan PTPN III Batang Toru.
Data Satya Bumi menunjukkan konsesi PT Agincourt Resources seluas 130.252 hektar. Sebanyak 40.890,60 hektare di antaranya tumpang-tindih dengan kawasan ekosistem Batang Toru.
Lahan konsesi seluas 30.630 hektar juga tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Perusahaan pun telah membuka 603,21 hektar di antaranya hingga Oktober 2025.
Perusahaan juga berencana membuka 195 hektar lagi untuk membangun fasilitas penampung limbah atau tailing management facility (TMF).
“Paling mengkhawatirkan adalah TMF dibangun di hulu sungai DAS Nabirong dan berpotensi menyebar ke DAS Batang Toru. Selain itu, Martabe dibangun di daerah dengan aktivitas kegempaan tinggi” kata Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi.
Satya Bumi, katanya, mendorong audit aktivitas ekstraktif di lanskap Batang Toru termasuk tambang Agincourt dan PLTA Batang Toru.
“Sudah saatnya pemerintah menindak tegas perusahaan yang terbukti merusak hutan serta menghentikan proses perizinan yang berpotensi menambah tekanan pada ekosistem.”
Menurut dia, rehabilitasi kawasan hulu secara komprehensif, termasuk reforestasi, stabilisasi lereng dan pemulihan daerah tangkapan air kritis mendesak di tengah kondisi ini.
Upaya itu pun harus melibatkan Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang mewarisi praktik-praktik ekologis tradisional.
Setop penebangan hutan!
Gus Irawan pasaribu, Bupati Tapanuli Selatan, berkantor di wilayah bencana banjir dan longsor sejak kejadian bencana. Dia melihat sendiri gelondongan kayu yang ikut terbawa arus banjir dan longsor. Kuat dugaan, katanya, itu hasil penebangan hutan di lanskap Batang Toru.
Dia sudah wanti-wanti supaya tidak boleh lagi ada penebangan hutan oleh perusahaan yang mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan. Juga, meminta aparat penegak hukum menindak para pelaku illegal logging di sana.
“Lanskap Batang Toru ditinggali masyarakat yang rentan jadi korban bila longsor maupun banjir bandang datang. Karena itu, setop tebang hutan!” serunya.
Dia bilang, sempat protes dan menyurati Kementerian Kehutanan agar menghentikan aktivitas penebangan hutan di lanskap Batang Toru, 14 November lalu.
Jika pemberian izin penggundulan hutan tetap berlangsung, orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) akan punah dan masyarakat merasakan dampak lingkungan yang masif.
“Saya sudah berulang kali melakukan protes ke Kementerian Kehutanan dan menyurati mereka. Sempat dihentikan selama 3 bulan tapi habis itu dicabut lagi,” katanya.
Dia mempersoalkan dualisme kebijakan di kementerian Pimpinan Raja Juli Antoni itu. Sebab, katanya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE) memberikan dukungan perlindungan, tetapi, tidak dengan Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari yang memberikan izin penebangan kayu hutan tanpa mempertimbangkan hal negatif.
“Seperti sekarang longsor dan banjir bandang menewaskan hampir 100 orang warga saya.”
Apa kata perusahaan?
TPL membantah tuduhan operasionalnya menjadi penyebab bencana banjir dan longsor ataupun mengalihfungsikan hutan di ekosistem Batang Toru. Salomo Sitohang, Corporate Communication Head TPL, bilang, tuduhan itu tanpa dasar ataupun fakta di lapangan.
“Kegiatan perusahaan telah sesuai dengan izin, peraturan, dan ketentuan pemerintah,” katanya, Sabtu (29/11/25).
Dia mengakui, ada program perkebunan kayu rakyat (PKR), program kemitraan dengan masyarakat, yang perusahaan jalani di lanskap Batang Toru. Tujuannya, membuat lahan tidak produktif menjadi bermanfaat ekonomi bagi masyarakat, sekaligus bermanfaat lingkungan. Pengerjaannya, melalui penilaian kelayakan dan kepatuhan sustainability policy perusahaan.
Areal itu, katanya, hanya 168,5 hektar atau 0,095% dari total 176.619 hektar luas ekosistem Batang Toru.
“Fakta ini membantah klaim adanya alih fungsi hutan alam menjadi PKR hingga ribuan hektar.”
Terkait dengan ekspansi ke ekosistem Batang Toru, Mongabay sempat mewawancarai Katarina Siburian Hardono, Senior Manager Corporate Communications PT Agincourt Resources.
Dia bilang, aktivitas eksplorasi terletak di luar batas hutan lindung dan tidak ada pembangunan yang diizinkan. Sementara eksplorasi di Tor Ulu-Ala di sebelah utara tambang, luasnya sekitar satu hektar.
Menurut dia, Martabe membutuhkan fasilitas tailing kering baru di sebelah barat lokasinya saat ini.
Fasilitas ini penting untuk melanjutkan produksi saat ini, karena fasilitas penyimpanan tailing basah yang sekarang sudah mendekati kapasitasnya.
“Tailing kering meningkatkan keamanan lingkungan dengan menurunkan risiko kebocoran berbahaya ke ekosistem lokal dan meminimalkan penggunaan air. Fasilitas baru ini akan menempati sekitar 78 hektar, terutama terdiri dari hutan sekunder atau terdegradasi dan lahan perkebunan yang sudah tidak produktif.”
*****