- Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta. Kedatangan mereka untuk adukan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang libatkan dua kapal perikanan, KM. Mitra Usaha Semesta (MUS) dan Run Zheng 03.
- Siti Wahyatun, Legal Officer DFW Indonesia mengatakan, langkah ke Komnas HAM ditempuh lantaran proses penyidikan oleh kepolisian tanpa progres berarti. Padahal, penyidikan atas kasus dugaan TPPO dengan korban depan Awak Kapal Perikanan (AKP) itu berlangsung sejak setahun lalu.
- Anis Hidayah, Ketua Komnas HAM menjelaskan, pihaknya masih mengumpulkan bahan dan melakukan analisa atas aduan tersebut. Pihaknya akan mengumpulkan keterangan dari para pihak yang terkait. Selain pemerintah dan perusahaan yang terlibat, juga para korban dan pendampingnya.
- National Fisheries Center (NFC) Indonesia, terdapat 19 pengaduan yang masuk sepanjang 2025 dengan melibatkan 66 korban. Dari jumlah korban tersebut, sebanyak 73,7 persen adalah AKP domestik, dengan terlapor adalah agen penempatan tenaga kerja.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta. Kedatangan mereka untuk adukan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang libatkan dua kapal perikanan, KM. Mitra Usaha Semesta (MUS) dan Run Zheng 03.
Siti Wahyatun, Legal Officer DFW Indonesia mengatakan, langkah ke Komnas HAM ditempuh lantaran proses penyidikan oleh kepolisian tanpa progres berarti. Padahal, penyidikan atas kasus dugaan TPPO dengan korban depan awak kapal perikanan (AKP) itu berlangsung sejak setahun lalu.
Bahkan, setelah Mabes Polri limpahkan kasus itu ke Polda Maluku, tidak ada perkembangan berarti.
“Kami menilai bahwa tidak ada keseriusan negara dalam memberantas TPPO, khususnya dalam sektor perikanan. Termasuk untuk melindungi pekerjanya dari eksploitasi,” katanya.
Bagi Siti, apa yang terjadi pada delapan AKP itu merupakan pelanggaran HAM serius karena mengabaikan hak untuk hidup, kebebasan pribadi, dan hak untuk tidak diperbudak sebagaimana dijamin konstitusi.
“Ini bukan hanya bentuk pelanggaran aturan ketenagakerjaan saja, namun juga bentuk nyata perbudakan modern yang merampas hak hidup dan martabat manusia.”
Anis Hidayah, Ketua Komnas HAM menjelaskan, masih mengumpulkan bahan dan melakukan analisa atas aduan tersebut. Merekaakan mengumpulkan keterangan dari para pihak yang terkait. Selain pemerintah dan perusahaan yang terlibat, juga para korban dan pendampingnya.
Komnas juga akan menghadirkan para ahli guna meminta perspektif mereka terkait kasus ini.
“Kami masih mengumpulkan data, informasi, dan fakta di lapangan. Termasuk mengecek lokasi kejadian, TKP,” katanya kepada Mongabay.
Komnas HAM juga akan meminta keterangan dari Polda Maluku yang saat ini menangani kasus itu secara langsung. Harapannya, Komnas HAM bisa mendapat gambaran secara utuh sebagai bahan untuk menerbitkan rekomendasi.
“Kami tidak bisa menjanjikan berapa lama kasus ini selesai tertangani. Itu tergantung prosesnya,” katanya.
Anis berharap, kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi Komnas untuk mendorong pemerintah segera meratifikasi ILO C-188 tentang perlindungan pekerja kapal.
Kerja paksa
Pelaporan ke Komnas HAM oleh DFW dan SBMI, menjadi satu indikasi lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran ketenagakerjaan di laut. Padahal, praktik itu berjalan lama, meski tak kasat mata.
Di banyak tempat, para AKP acapkali mendapat perlakuan tidak menyenangkan dan harus terperangkap dalam lingkaran setan berupa kerja paksa, eksploitasi, kekerasan, bahkan perdagangan orang.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengatakan, lautan yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan, justru menjadi saksi bisu krisis kemanusiaan para AKP.
“Padahal Indonesia memiliki kerangka hukum yang kuat.”
Menurut Hariyanto, Indonesia telah memiliki perangkat regulasi untuk lindungi AKP. Selain UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, ada juga Peraturan Pemerintah 22/ 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Perikanan Migran dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-XXI/2023.
Ketiga aturan itu tegaskan hak konstitusional AKP sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). “Pengakuan tersebut menjadi pijakan untuk memastikan seluruh pelaut migran, baik di kapal niaga maupun perikanan, mendapat perlindungan hukum dan akses keadilan yang setara,” katanya.
Sayangnya, kendati sudah ada payung hukum yang mengikat, upaya perlindungan AKP masih jauh panggang dari api karena lemahnya pengawasan.
Dengan kata lain, komitmen perlindungan oleh negara terhadap AKP, sejauh ini hanya sebatas slogan.
Bukti bahwa negara belum hadir terlihat dari kasus AKP migran di pesisir Pantai Utara Jawa yang tidak ada kejelasan sampai saat ini. Antar instansi bahkan terkesan saling lempar tanggung jawab, antara Dinas Tenaga Kerja, hingga Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI).
Destructive Fishing Watch menyebut, pelanggaran terhadap para AKP terjadi karena proses di hulu yang cacat. Mulai dari proses rekrutmen, status hubungan kerja, pengupahan, jam kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), atau indikasi kerja paksa. “Ini terjadi karena tata kelola perekrutan tenaga kerja yang lemah,” kata Imam Trihatmaja, Direktur Program DFW.
Menurut dia, tata kelola perekrutan yang bertanggung jawab menjadi elemen penting untuk atasi situasi ini. Sebab, rekrutmen menjadi pintu masuk sebelum para AKP bekerja di atas kapal.
“Tata kelola keagenan perekrut swasta perlu menjadi perhatian agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari,” ujarnya.
National Fisheries Center (NFC) Indonesia, terdapat 19 pengaduan yang masuk sepanjang 2025 dengan melibatkan 66 korban. Dari jumlah korban tersebut, sebanyak 73,7 persen adalah AKP domestik, dengan terlapor adalah agen penempatan tenaga kerja.
Kontrak kerja tak adil
Mijil Ritno Sujiwo, Ketua Tim Kerja Pengawakan Kapal Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, ada sejumlah isu yang muncul dalam tata kelola perekrutan AKP di Indonesia. Termasuk, indikasi terjadinya perbudakan dalam isu pengawakan.
Menurutnya, isu ini muncul karena proses rekrutmen yang tidak transparan sehingga AKP tidak mengetahui kondisi kerja dan apa yang menjadi haknya.
Selain itu, kontrak kerja yang tidak adil hingga memicu pekerja menjadi terikat pada kondisi kerja yang tidak layak, dan tidak memiliki kesempatan untuk meninggalkan pekerjaan.
Modus lainnya adalah pemotongan gaji, sehingga AKP tidak bisa menerima gaji yang layak dan menyebabkan mereka terjebak pada siklus utang. Munculnya keterlibatan dalam perdagangan manusia, di mana AKP bekerja dalam kondisi tidak manusiawi.
Hal lain yang menjadi sorotan, adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan para pekerja merasa takut untuk meninggalkan pekerjaannya. Mereka juga menjadi takut untuk melaporkan kondisi kerja yang tidak layak.
Secara prosedural, katanya, para AKP harus sudah berumur minimal 18 tahun yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP), calon AKP juga harus memiliki Buku Pelaut Perikanan (BPP), sertifikasi, jasmani dan rohani dengan surat keterangan sehat, terdaftar sebagai penerima jaminan sosial, serta memiliki PKL.
“Karena itu, pemeriksaan ‘sijil’ di pelabuhan oleh syahbandar menjadi sangat penting,” jelasnya. Sijil atau penyijilan adalah kegiatan pencatatan AKP dalam Buku Sijil Awak Kapal Perikanan, mencakup data pribadi, jabatan berdasarkan kompetensi, serta tanggal naik (sign on) dan turun (sign off) dari kapal.
Menurut Mijil, dalam banyak kasus, proses rekrutmen dilakukan oleh agen tidak berbadan hukum, perseorangan, tidak memiliki informasi lowongan pekerjaan yang jelas. Mereka jamak menggunakan media sosial sebagai medium untuk lakukan penjaringan.
“Perekrutan yang resmi dan legal juga akan menjadi salah satu faktor yang mendukung perlindungan dan pemenuhan hak untuk pekerja ini.”
Anna Kurnianingsih, Koordinator Pembinaan Kelembagaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan, agen perekrutan perlu memahami mekanisme permohonan kelembagaan bagi agen penempatan pekerja perikanan. “Tujuannya, agar proses perekrutan bisa berjalan legal dan resmi.”
Upaya perbaikan
Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara katakan, di tingkat global, upaya perlindungan AKP sejatinya sudah mulai ada perbaikan.
Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC) misalnya, telah mengadopsi Labour Standard Conservation and Management Measure (CMM) pada Desember 2024.
Meski aturan konvensi itu baru akan berlaku pada 1 Januari 2028, hal itu menjadi indikasi untuk menuju perbaikan.
“Jika sudah berlaku, setiap negara bendera anggota WCPFC wajib melaksanakan hal-hal yang sudah disepakati,” katanya.
Menurut Arifsyah, CMM tersebut mengatur kondisi pekerjaan dan remunerasi yang layak, kontrak yang transparan dan adil bagi para pihak, penanganan untuk kru yang mengalami cedera serius, jatuh dari kapal, maupun meninggal di atas kapal perikanan. Ketentuan CMM mengatur prosedur dan jalur komunikasi untuk kemudahan kontak dan koordinasi dengan crew provider dan keluarga terdekat.
Dengan mengadopsi ketentuan tersebut, semua kapal yang beroperasi di wilayah perairan Samudera Pasifik harus mendaftarkan AKP. Hal itu KKP juga perlu mendaftarkan crew provider atau perusahaan penempatan perekrutan untuk bisa berlisensi. Hingga kapal-kapal yang beroperasi di wilayah Pasifik bisa menempatkan AKP Indonesia sesuai prosedur.
*****
Perdagangan Orang di Kapal Perikanan Indonesia Terus Terjadi?