- Kapal-kapal pengguna pukat trawl maupun gerandong masih banyak beraktivitas di perairan Selat Malaka bagian Sumatera Utara. Mereka membuat resah nelayan tradisional karena kerap memakai alat tangkap itu di wilayah kelola nelayan.
- Beberapa nelayan di Medan, Langkat, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai, mengeluhkan tangkapan mereka yang terus berkurang karena praktik-pratik kapal tersebut.
- Jendakita Sitepu, Kasubdit Patroli Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Polda Sumut, menyatakan, beberapa kali telah mengumpulkan pngusaha kapal tangkap ikan bersama direktoran Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Menyosialisasikan larangan alat tangkap pukat trawl, dan mengingatkan ancaman pidana dan denda atas pelanggarannya.
- Crisan Akbar, Peneliti Kelautan dan Perikanan Sumatera Environmental Initiative, dalam kajiannya menjelaskan penggunaan pukat di perairan Selat Malaka sudah lama terjadi. Menurutnya, lemahnya pengawasan dan autran jadi salah satu penyebab benang kusut ini.
Para nelayan tradisional antara lain, penangkap gurita, rajungan dan cumi di Selat Malaka, Sumatera Utara (Sumut) meradang karena masih banyak kapal pengguna pukat trawl beroperasi di wilayah tangkap mereka, radius 12 mil dari bibir pantai.
Nazli, tidak bisa menyembunyikan wajah murung saat pulang melaut, pertengahan September lalu. Pasalnya, warga Sicanang Belawan, Sumatera Utara, itu hanya membawa gurita, ikan, sotong dan udang, tak sampai lima kg.
Baginya, melaut tak lagi menjanjikan untuk menopang hidup bersama istri dan seorang cucu. Padahal, dia pergi melaut sejak sore.
“Setiap pukul 16.00 WIB, saya berangkat melaut dan pulang esok pagi sekitar jam 08.00 WIB dengan tangkapan tak sampai 5 kg. Ini sudah berlangsung hampir dua tahun terakhir,” katanya.
Setiap hari, pria 62 tahun itu hanya bisa membawa uang Rp75.000-Rp200.000. Jumlah ini tidak cukup untuk biaya hidup dia dan keluarga, belum lagi untuk bahan bakar kapal dan kebutuhan selama melaut.
Satu-satunya jalan, dia harus berutang ke tengkulak atau agen. Jadi, ketika hasil tangkapan terjual, maka nilai akan terpotong oleh utang itu.
“Saya harus berjuang gali lubang, tutup lubang untuk bertahan hidup.”
Dari pengalamannya, penurunan tangkapan laut ini karena maraknya kapal-kapal besar penangkap ikan menggunakan pukat trawl dan sejenisnya. Mereka beraktivitas di perairan Selat Malaka, termasuk di laut Belawan.
Cara kerja kapal-kapal itu mengerikan. Mereka akan mengangkut apa saja yang masuk dalam jaringnya. Lebih parah lagi, katanya, mereka masuk ke bawah 12 mil pinggir pantai, yang merupakan wilayah kelola nelayan kecil.
“Wilayah tangkap kami nelayan kecil diobrak-abrik oleh kapal-kapal menggunakan pukat itu, berdampak pada tangkapan yang terus berkurang karena habitat ikan juga hancur,” keluhnya.
Dia mengeluhkan aparat yang tidak bisa menindak tegas kapal-kapal itu. Sisi lain, katanya, ada aturan pemerintah untuk setiap kapal urus sertifikat kelayakan kapal perikanan.
Jadi, supaya mask klasifikasi layak tangkap, mereka juga mencantumkan Jaring Hela Ikan Berkantong (JHB). Aturan ini, katanya, hanya sebagai tameng saja bagi kapal perusak laut itu untuk tetap bisa beraktivitas. Dengan mengantongi sertifikasi tersebut, mereka semakin leluasa mengeruk isi laut.
Di atas kertas, aturan itu perkecil ruang gerak kapal yang menggunakan pukat. Fakta lapangan tetap sama. Bahkan, pasca terbit aturan itu, jumlah kapal pukat, katanya, makin banyak di perairan Selat Malaka.
Alih-alih melindungi laut, aturan itu menunjukkan Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan karpet merah pada kapal pengguna pukat trawl.
Tak sendirian
Keluhan serupa juga datang dari nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai, Deli Serdang dan Langkat. Laut di kabupaten itu masuk perairan Selat Malaka, tempat ribuan nelayan tradisional mengais rezeki.
Khairul Anwar Nasution, nelayan Langkat menyebut, melihat langsung aktivitas sekitar 30 kapal yang menggunakan alat tangkap pukat tarik grandong sepekan terakhir. Dia dan beberapa nelayan tradisional lain coba mengusir kapal perusak itu tetapi nihil hasil.
Dia pun meminta aparat menindak tegas pengguna pukat grandong itu. Karena, tangkapan nelayan kecil makin berkurang, bahkan ada yang tidak membuahkan hasil saat melaut.
Nelayan, katanya, marah dengan situasi ini dan meminta pemerintah bertindak. Mereka khawatir konflik 2013 yang merenggut dua nyawa nelayan terulang lagi.
“Kami sudah cukup sabar melihat tingkah laku kapal-kapal pukat grandong ini merusak wilayah kelola kami. Kalau pemerintah tidak bergerak maka kami yang turun untuk membasmi mereka seperti tahun 2013.”
Mahmud Jambak, nelayan tradisional Serdang Bedagai, bilang, beberapa kali ikut pertemuan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten dan provinsi.
Dari situ, dia paham ada larangan kapal yang menggunakan pukat trawl beraktivitas di bawah radius 12 mil dari bibir pantai, termaktub dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 2/2015.
“Pukat trawl ini sudah melanggar aturan. Beberapa kali kami ikut penyuluhan ada penjelasan soal itu makanya sangat disesalkan Kenapa mereka masih terus beraktivitas tanpa ada tindakan,” katanya.
Akhir April lalu, katanya, ada 15 kapal yang menggunakan alat tangkap yang merusak itu di perairan Selat Malaka bagian Serdang Bedagai. Ketika mereka mendekati wilayah tangkap di bawah 12 mil dari bibir pantai, Mahmud dan 20 nelayan lain langsung menaiki 17 perahu kecil, mengadang, serta mengusir kapal yang menggunakan pukat gerandong.
Bukan menjauh, kapal-kapal besar itu justru mendekat dan agresif pada nelayan.
“Sepertinya mereka mau menabrak kapal kami dan menenggelamkannya, Karena itu kami pun lari. Syukurnya mesin kami masih bagus bisa tancap gas dia, kalau tidak Habislah sudah, tenggelamlah kami itu bila sempat ditabrak mereka,” katanya.
Dia pun sudah melaporkan kejadian itu ke Dinaas Kelautan dan Perikanan Serdang Bedagai dan Kepolisian. Namun, aktivitas kapal-kapal itu masih terlihat hingga akhir Juni.
Derita nelayan rajungan dan cumi
Di Deli Serdang, nelayan rajungan dan cumi turut merasakan hal serupa. Jumlah tangkapan mereka menurun tajam lima bulan terakhir.
Padahal, sebalum kapal yang menggunakan pukat trawl masuk ke wilayah kelola nelayan tradisional, mereka bisa mendapatkan sedikitnya 70 kg – 100 kg rajungan sekali melaut. Sekarang, paling banyak tak sampai tujuh kg. Untuk sotong, tangkapan yang semula mencapai 150 kg-180 kg, turun jadi 10 kg-15 kg.
“Kapal perusak itu menangkap apa saja yang ada di bawah laut, mulai dari karang tempat bertelur dan beranak-pinak sampai ikan maupun rajungan dan sotong, yang anakan pun ikut masuk dalam alat tangkap penghancur mereka. Jujur ini sangat merugikan kami nelayan tradisional,” ucap Uman Tholib, nelayan cumi.
Dia bilang, sedikitnya 21 kapal menggunakan trawl berlalu lalang di Selat Malaka di Kabupaten Deli Serdang, sejak awal Agustus. Dari pengalamannya melaut, tidak pernah ada aparat keamanan yang melakukan patroli dan penindakan saat kapal-kapal itu beroperasi.
Mongabay coba menghubungi Dinas Kelautan dan Perikanan Langkat, Deli Serdang, maupun Serdang Bedagai. Namun, tidak ada yang mau memberikan wawancara ihwal konflik nelayan tradisional dengan kapal pukat trawl ini.
Jendakita Sitepu, Kasubdit Patroli Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Polda Sumut, menyatakan, beberapa kali mengumpulkan pengusaha kapal tangkap ikan bersama direktoran Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).
Ia menyosialisasikan larangan alat tangkap pukat trawl, dan mengingatkan ancaman pidana dan denda atas pelanggarannya.
“Sosialisasi penggunaan alat tangkap terlarang juga disampaikan kepada para nelayan tradisional di Sumut. Harapannya sosialisasi ini bisa tersampaikan dengan baik dan dijalankan para nelayan agar biodiversity yang ada di laut tetap terjaga dan berkelanjutan,”
Sepanjang 2024-2025, sudah belasan kapal mereka tindak karena menggunakan alat tangkap terlarang. Mereka berkolaborasi dengan PSDKP Belawan menlakukan rangkaiau operasi patroli gabungan di Selat Malaka bagian Sumut.
Lemah aturan dan pengawasan
Crisan Akbar, Peneliti Kelautan dan Perikanan Sumatera Environmental Initiative, dalam kajian menjelaskan, penggunaan pukat di perairan Selat Malaka sudah lama terjadi. Menurut dia, lemahnya pengawasan dan autran jadi salah satu penyebab benang kusut ini.
“Juga minimnya lapangan kerja. Banyak yang terpaksa jadi anak buah kapal. Pengusaha perikanan memanfaatkan situasi ini untuk menjalankan aksi ilegal mereka,” katanya pada Mongabay.
Penindakan terhadap kapal pengguna pukat trawl pun masih lemah. Negara tidak tegas dalam penindakan hukum, hingga tidak ada efek jera pada para pelaku.
Sisi lain, belum ada alat tangkap ramah lingkungan yang bisa menggantikan alat-alat tersebut. Sekalipun ada komitmen KKP untuk menggantinya.
“Kami melihat ada segelintir orang menggunakan kekuatannya untuk tetap memakai alat tangkap pukat trawl ini. Realisasi penggunaan Alat tangkap ramah lingkungan dijanjikan oleh KKP menggantikan alat tangkap perusak tersebut belum ada tanda- tandanya.”
Dia curiga, kapal-kapal ini masih bisa beroperasi karena izin tetap keluar dari penegak hukum maupun DKP. Ada pembiaran dari instansi terkait dalam pengawasan terahadap kapal yang beroperasi ini.
“Kami melihat, aparat penegak hukum sudah dibutakan dengan banyaknya pemodal ataupun uang dari pemodal yang melakukan tindak pidana kelautan ini,” ucap Crisna.
Data yang mereka peroleh dari PSDKP Belawan, sejak awal Januari 2025, sudah ada lima penangkapan kapal yang menggunakan trawl di wilayah kerja mereka. Menurut dia, proses hakum harus bisa berikan efek jera bagai pengusaha kapal lain.
Untuk itu, harus kawal proses hukumnya. Meskipun, dia skeptis ada tindakan hukum bagi pemilik modal, pengusaha, ataupun nahkoda kapal yang tertangkap.
“Harus betul-betul dipantau oleh Media, serta teman-teman CSO di Sumut yang fokus isu ini.”
Sementara di lapangan, hasil diskusinya dengan jejaring di Sumut, kapal-kapal pengguna pukat masih terus beroperasi. Bahkan hingga pantai timur Aceh.
Dia minta, tidak boleh ada tebang pilih dalam penanganan masalah ini. Selama ini, dia kerap melihat penegakan hukum terbatas pada nahkoda kapal saja. Belum pernah ada pemilik modal yang tersentuh tindak pidana.
“Sebenarnya polanya hamoir sama dengan jaringan peredaran narkoba. Mereka manfaatkan pekerja untuk mendapatkan keuntungan sakala besar dari bisnisnya.”
*****