Mongabay.co.id

Opini: Pemerintah, Korupsi dan Keterancaman Komodo

 

Hampir 6.000 orang telah menandatangani petisi di situs Change.org yang menuntut pemerintah membatalkan rencana proyek pusat bisnis di Pulau Padar, satu dari tiga pulau besar selain Komodo dan Rinca di Taman Nasional Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Petisi yang Forum Masyarakat Sipil (Formasi) Flores gagas itu juga menuntut agar Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni segera mencabut izin konsesi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan menguasai lahan di kawasan konservasi itu.

Alasan petisi itu beragam, tetapi pada intinya mengandung keprihatinan atas kondisi komodo, satwa langka terancam punah (IUCN, 2021) dan habitatnya. Termasuk di dalamnya nasib dan masa depan masyarakat adat yang bergantung sepenuhnya pada bentang ekologi yang sama.

Petisi itu bukan satu-satunya tanda perlawanan warga dan elemen sipil yang selama bertahun-tahun menghadapi pemerintahan yang memproduksi kebijakan ugal-ugalan di kawasan itu. Semua kebijakan itu terbalut narasi konservasi, atau lebih tepatnya “pseudo-konservasi.”

Pemandangan pantai di salah satu bagian di sisi selatan Pulau Padar, Taman Nasional Komodo. Pulau yang menjadi destinasi wisata favorit itu kini terancam proyek pusat bisnis PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE). Foto: CD/Floresa

Atas nama konservasi

Dari rekam jejak persoalan di Taman Nasional Komodo, konservasi adalah fokus poin yang sering menjadi arena perdebatan.

Sejak penguasa kolonial Eropa mengetahui keberadaan komodo pada 1910, puluhan satwa itu berkali-kali menjadi korban penangkapan, pembunuhan dan pengiriman dalam keadaan hidup ke Jawa, Eropa dan Amerika.

Hingga 1945, tercatat setidaknya 15 ekspedisi oleh para ilmuwan dan pebisnis satwa Barat ke Komodo. (Dale, 2021).

Setelah rangkaian komersialisasi yang pura-pura disertai kebijakan perlindungan kolonial itu, habitat Komodo jadi cagar alam oleh pemerintah pada 1965. Statusnya berubah menjadi Taman Nasional Komodo pada 1980.

Bukan membawa kabar baik, berbagai kebijakan pemerintah sejak itu membawa komodo, ruang hidup atau habitatnya, termasuk warga yang secara kultural menganggap sebagai “saudara kembar” atau sebae (bahasa Ata Modo) ke tepi jurang.

Saban tahun selalu saja ada ancaman mengintai, untuk merusak alam dan mengebiri kesejahteraan warga.

Atas nama konservasi, Komunitas Ata Modo, masyarakat adat di Pulau Komodo terpaksa menyerahkan tanah ulayat pada 1980 untuk jadi bagian dari taman nasional.

Hingga kini, mereka juga harus menetap di satu kantong pemukiman seluas 17 hektar, karena keberadaan dan aktivitasnya tergolong ancaman bagi keutuhan komodo serta habitatnya.

Kisah “pseudo-konservasi” pemerintah sudah banyak makan korban. Warga adat Ata Modo bahkan tak boleh mengambil sebatang kayu kering di hutan, hingga kena tangkap dan mengalami kekerasan fisik ketika melanggar batas-batas zonasi yang pemerintah tetapkan.

Anehnya, atas nama konservasi yang sama, pemerintah gencar mengobral kawasan itu kepada perusahaan-perusahaan publik dan swasta yang mereka anggap mampu menjaga keutuhan ekosistem dan membawa kesejahteraan ekonomi bagi warga setempat.

Per hari ini, terdapat tiga perusahaan swasta yang mengantongi izin penguasaan lahan skala besar di kawasan itu, PT Segara Komodo Lestari (SKL) dengan 22,1 hektar di Pulau Rinca, dan PT Synergindo Niagatama (SN) dengan 15,32 hektar di Pulau Tatawa. Lalu, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) dengan 274,13 hektar di Pulau Padar dan 151,94 hektar di Loh Liang, pintu masuk utama wisatawan ke Pulau Komodo.

KWE kini berencana membangun ratusan villa di Padar bagian utara terkait dengan terpidana korupsi yang baru bebas bersyarat Setya Novanto dan pengusaha Tomy Winata sebagai pemegang saham terbanyak, juga terhubung dengan pengusaha Sugianto Kusuma alias Aguan.

Jadi, atas nama konservasi, tanah dan ruang hidup komodo terambil secara paksa dari warga untuk diserahkan kepada perusahaan-perusahaan milik orang-orang super kaya di negara ini.

Gambar Ata Modo dan Sebae yang menggambarkan relasi interspesies antara masyarakat adat dan satwa langka komodo di Pulau Komodo. Foto: CD/Floresa

Korupsi

Semua itu sulit terjadi kalau hidup dalam pemerintahan yang bersih dari korupsi. Mari membuka wawasan untuk melihat lebih luas apa yang dimaksud dengan korupsi.

Seharusnya, korupsi tidak sesempit pemahaman sebagai “makan uang negara,” misal,  yang Setya Novanto lakukan dalam kasus KTP-elektronik, tetapi merupakan penyalahgunaan wewenang yang publik percayakan demi keuntungan pribadi, kelompok, keluarga atau golongan tertentu saja.

Dalam korupsi kebijakan, wewenang yang dimandatkan dimanfaatkan secara sistematik dalam cara kerja kekuasaan untuk menyetir kebijakan pembangunan. Bukan demi kesejahteraan bersama tetapi untuk memperkaya atau mempermudah akses kelompok elite mengeruk sumber daya publik.

Berbagai ancaman terhadap ruang hidup di Taman Nasional Komodo sejauh itu lekat dengan pemerintahan yang korup, minimal karena beberapa tanda berikut:

Pertama, obral besar-besaran izin usaha pemanfaatan sarana wisata alam (IUPSWA) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kini Kementerian Kehutanan) pada 2014 terjadi setelah dua tahun sebelumnya mereka revisi zonasi di Taman Nasional Komodo.

Sebelum 2012, seluruh Pulau Padar adalah zona inti dan zona rimba. Zona inti adalah bagian yang mutlak dilindungi di dalamnya tidak boleh ada perubahan apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.

Sedangkan zona rimba merupakan bagian yang di dalamnya tidak boleh ada aktivitas manusia sebagaimana pada zona inti kecuali kegiatan wisata alam terbatas.

Perubahan zonasi melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012 membuat 303,9 hektar lahan di pulau itu menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Zona pemanfaatan ini kemudian terbagi menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik. Saat memberi izin kepada KWE pada 2014, pemerintah menetapkan 274,13 hektar dari 275 hektar ruang usaha sebagai wilayah perusahaan itu.

Sementara melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012, seluas 20,944 hektar lahan di Pulau Tatawa yang sebelumnya zona rimba menjadi zona pemanfaatan wisata darat.

Seluas 6,49 hektar ruang usaha seluruhnya untuk PT Synergindo Niagatama (SN) pada 2014, sisanya 14,454 hektar untuk ruang publik.

Pada 2018, Keputusan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi No: SK. 38/PJLHK/PJLWA/KSA.3/7/2018 memperkecil ruang publik menjadi hanya 3,447 hektar. Sedangkan ruang usaha jadi 17,497 hektar.

Pada April 2020, KLHK menerbitkan ulang izin usaha SN, sebanyak 15,32 hektar dari total ruang usaha yang perusahaan ini kuasai.

Kedua, para pengusaha yang mendapatkan privilese sebagai penguasa lahan di kawasan ini bukan orang-orang biasa. Setya Novanto adalah orang penting Partai Golkar saat anaknya menjadi pemilik KWE dalam akta perusahaan itu pada 2011.

Bahkan,  hingga kini dua anaknya menjadi orang penting perusahaan itu.

Tomy Winata tercatat sebagai pemilik KWE sejak 2023 melalui PT Adhiniaga Kreasinusa juga “orang dekat” Presiden Joko Widodo yang mengerjakan berbagai megaproyek warisan ayah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka itu.

Pulau-pulau kecil di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT yang dijadikan kawasan pengembangan pariwisata. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

Begitu juga nama-nama lain yang saling terkait, misal, anggota DPR yang juga mantan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Mereka adalah orang dalam pemerintahan yang memegang kendali kebijakan terkait Taman Nasional Komodo.

Sementara itu, data terakhir yang kami peroleh terkait SKL mencatat nama David Makes yang pernah menjabat Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

David adalah adik dari Yozua Makes, Pemilik Grup Plataran, yang menguasai berbagai bisnis pariwisata di ibukota dan di Labuan Bajo.

Yozua yang mengakuisisi SKL pada 2022 juga terkenal dekat dengan Jokowi. Sedangkan SN terkait dengan Wilmar Group, raksasa bisnis sawit dan minyak goreng.

Ketiga, sebagaimana korupsi dipahami sebagai kejahatan luar biasa yang mengebiri kapasitas publik luas untuk mengakses kesejahteraan. Praktik monopoli bisnis oleh “elite Jakarta” di Taman Nasional Komodo mengancam “piring nasi” pelaku wisata daerah yang sudah sekian lama menjaga dan mempromosikan destinasi itu hingga menjadi berkelas dunia.

Jadi, bukan hanya warga dalam kawasan yang rugi secara ekonomi, juga pengusaha wisata skala kecil yang bergantung pada keindahan dan keutuhan alam sebagai nilai pariwisata.

Di tengah pemerintahan korup itu, warga tentu tidak akan diam, tetapi terus melakukan perlawanan demi keselamatan komodo dan habitatnya.

Pekik suara warga, pelaku wisata di Labuan Bajo dan elemen sipil akan terus berkumandang mengingatkan penguasa bahwa kebijakan ugal-ugalan akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Imajinasi pariwisata berkelanjutan seharusnya yang merawat alam dan menyejahterakan, bukan merampas dari warga lalu menyerahkan sumber daya itu ke moncong oligarki.

Bukan warga, tetapi pemerintahan korup yang terus menjadi ancaman bagi komodo dan ruang hidupnya!

 

*Penulis adalah Anno Susabun, wartawan dan warga adat Flores. Tulisan ini merupakan opini penulis.  

Seekor komodo di Pulau Komodo dalam kawasan TN Komodo. Foto : indonesia.travel/Mongabay Indonesia

*****

Vila Pulau Padar Risiko Ganggu Komodo, Resahkan Masyarakat

 

 

 

Exit mobile version