Mongabay.co.id

Aksi Para Pemuda di Bacan Perangi Perburuan Satwa Liar

 

 

Suasana di kawasan zero point pusat Kota Labuha, Maluku Utara (Malut) terlihat ramai, Jumat (11/7/25). Sejumlah pemuda tengah sibuk menyiapkan acara pendukung kegiatan Merayakan Hari Keragaman Burung Indonesia (MKBI) gelaran LSM Burung Indonesia bersama sejumlah komunitas.

Berbagai kegiatan meramaikan kegiatan ini. Mulai dari pameran foto keanekaragaman hayati burung Malut, pameran organisasi pemerhati lingkungan, pekan kreasi mewarnai  kehati  untuk anak,  cerdas cermat konservasi  satwa liar untuk SMA  dan beberapa agenda lain.

“Tujuannya memperkenalkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekayaan jenis burung di Indonesia. Selain itu mempromosikan konservasi,  menyampaikan pesan penting pelestarian burung dan habitatnya. Termasuk menumbuhkan rasa cinta dan apresiasi terhadap burung dan lingkungan,” kata Beny Aladin, Koordinator LSM Burung Wilayah Maluku.

Di antara beberapa komunitas yang terlibat itu, ada Komunitas Pelestarian Satwa Sibela (Kompas). Komunitas ini banyak membantu upaya penyelamatan satwa liar, terutama paruh bengkok di desa-desa di  Cagar Alam Gunung Sibela (CAGS), Pulau Bacan, Halmahera.

Paruh bengkok Maluku yang berupaya diselundupkan menggunakan tugboat ke Sumatera Utara, lewat Perairan Belawan, Medan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dela Safita Subarno, Ketua Komunitas Sibela katakan, komunitas yang berdiri sejak 2019 itu terbentuk atas inisiatif pemuda di Desa Gandasuli, Kecamatan Bacan Selatan. Saat terbentuk,  komunitas ini hanya beranggotakan tujuh orang. Kini, setelah enam tahun berjalan, anggota  bertambah menjadi 30 orang.

Seiring penambahan anggota itu, cakupan kerja komunitas ini pun makin meluas. Bila sebelumnya hanya di sekitar Desa Gandasuli, kini melebar ke desa-desa lain di sekitar kawasan CAGS.

“Awalnya karena kami prihatin dengan maraknya perburuan paruh bengkok di sekitar desa kami,” katanya.

Mereka khawatir, maraknya praktik perburuan itu akan mengancam masa depan burung tersebut. Karena itu, selain mengkampanyekan pentingnya pelestarian burung, komunitas ini juga mendorong ekonomi produktif untuk mengganti pemasukan warga dari praktik jual beli burung.

Dia amati, praktik perburuan burung itu tidak sekadar sebagai hobi. Tetapi, juga sumber mata pencaharian.

“Hanya berkampanye soal perlindungan tanpa  mendorong ekonomi warga, akan sia-sia. Perburuan akan terus terjadi karena warga melakukan itu menambah penghasilan mereka.”

“Tujuan  mendorong anak muda melibatkan masyarakat lakukan kampanye dan edukasi lingkungan. Terutama terkait eksploitasi dan penangkapan satwa liar burung.  Paling penting juga melakukan monitoring perburuan burung serta perusakan habitat,” ujar Dela.

Dia bilang penangkapan dan perburuan burung ini tidak sekadar kesenangan tetapi sudah menjadi mata pencarian. Sebab itu, sangat penting kegiatan kampanye dan edukasi juga diimbangi dengan peningkatan ekonomi warga melalui usaha lain. “Hal ini sangat mengancam   burung  paruh bengkok  di Kawasan Cagar  Alam Gunung Sibela Bacan.

Dalam usahanya, komunitas ini banyak mengajari cara bertani dengan komoditas umur pendek ketimbang sekadar mengandalkan pemasukan dari komoditas tahunan, seperti kelapa, pala, cokelat, cengkih dan sebagainya.

Beberapa produk olahan warga Gandasuli yang bisa menjadi sumber pendapatan alternatif. Foto: Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia.

Dorong pembentukan perdes

Salah satu capaian positif dari komunitas ini adalah keberhasilannya mendorong terbentuknya Peraturan Desa (Perdesa) Nomor 2/2020 tentang Perlindungan Satwa Liar dan Habitatnya. Beleid ini sekaligus menjadikan Gandasuli sebagai satu-satunya desa di Halmahera Selatan yang memiliki peraturan perlindungan paruh bengkok.

Tidak hanya mengatur perlindungan satwa dan habitat, perdes  juga atur perihal ancaman pemberian sanksi bagi warga yang melanggar.

Meski begitu, upaya untuk meloloskan perdes tersebut bukan hal mudah. Dela menceritakan, saat awal inisiatif itu muncul, pihaknya banyak mendapat penolakan dari warga, terutama para pemburu paruh bengkok. Namun, berkat pendekatan yang intens dengan melibatkan pihak desa, usaha itu pun akhirnya berhasil.

“Di kampung itu ada banyak pemburu burung paruh bengkok. Mereka tidak hanya penangkap burung, tetapi juga menjadi penampung sebelum dijual ke agen. Patut bersyukur karena upaya  membuat perdes  itu bisa berdampak.”

Warga , katanya,  tidak lagi menangkap burung dan fokus aktivitas berkebun. “Menanam tanaman hortikultura dan usaha produktif lainnya.”

Dela bilang, komunitasnya memiliki tiga program yang menjadi fokus utama, yakni,  literasi, konservasi dan ekonomi.

Untuk literasi, program ini terimplementasi dengan membangun perpustakaan desa. “Itu tidak hanya kami lakukan di Desa Gandasuli, tetapi juga di desa-desa tetangga,” katanya.

Pada konservasi, program ini terwujud dengan melakukan kegiatan monitoring hutan di sekitar cagar alam secara berkala. Ini sekaligus untuk mengetahui tingkat populasi dan berbagai ancaman yang mungkin timbul dari aktivitas warga sekitar.

Sedangkan ekonomi, terwujud dengan pembentukan kelompok tani dan usaha produktif. Misalnya, dengan membuat olahan hasil perkebunan yang siap jual, seperti sirup dan manisan pala.

Dengan pendampingan Burung Indonesia, kampanye konservasi oleh Kompas mulai buahkan hasil. Warga yang memelihara burung, secara sukarela melepasnya.

“Kita buat pendekatan dan bicara soal  burung  dilindungi ini. Kita juga cerita perlunya  pekerjaan alternatif agar  kebiasaan  menangkap  burung  tidak dilakukan lagi.”

Saiful MS, pendiri Kompas bercerita, pendirian komunitas ini berangkat dari keprihatinan para pemuda akan kondisi cagar alam banyak terjamah dari perburuan, perkebunan, hingga pembalakan. Pengalamannya bergabung di Burung Indonsia,  menjadi bekal untuk membentuk Kompas.

“Banyak aktivitas warga mengancam keberadaan cagar alam. Dari obrolan dengan teman-teman pemuda, akhirnya  muncul   ide mendirikan  komunitas ini.”

Selain meminimalisir perburuan burung paruh bengkok yang makin massif, juga mencegah kerusakan cagar alam yang jadi rumah bagi sejumlah spesies endemik.

Aktivitas pemantauan burung oleh Komunitas Kompas. Foto: Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia.

Rumah lebah terbesar di dunia

Menurut Saiful, Cagar Alam Sibela tidak hanya menjadi rumah paruh bengkok. Ada monyet atau macaca dan jenis serangga endemik yang tidak dijumpati di tempat lain. Survei pada 2018 sempat dapati empat pemburu aktif, di luar pemburu musiman. Dalam sehari, seorang pemburu aktif bisa mendapat puluhan paruh bengkok.

“Ini pasti mengancam keberadaan paruh bengkok.”

Di antara jenis paruh bengkok yang ditangkap, jenis nuri Ternate, kakatua putih dan nuri bayan adalah yang paling banyak.

Hasil identifikasi juga temukan ada lebih dari 100 jenis burung berada di cagar alam ini. Belum lagi  serangga seperti kupu-kupu Bacan dan lebah raksasa. Ada juga kasturi Ternate, nuri pipi merah, serta bidadari Halmahera (semioptera wallaci).  Kupu-kupu dan jenis burung lain seperti belibis, kuntul belang dan berbagai jenis burung migran juga ada di sini.

Menurut Saiful, bidadari Halmahera adalah burung endemik yang ditemukan pertama kali oleh  Alfred Russel Wallace di Pulau Bacan. Begitu juga lebah raksasa (Megachile pluto) lebah yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia.

“Cagar alam ini sebenarnya sangat kaya keanekaragaman hayati seperti pernah dicatat AR Wallace. Karena itu, kami merasa sangat penting untuk mengampanyekan perlindungannya.”

Selain burung, keberadaan satwa lain terutama reptil dan serangga seperti kupu kupu juga akan terancam. Apalagi kupu- kupu  Bacan juga jadi sasaran perburuan. Habitatnya juga terancam  karena perkebunan dalam kawasan.

“Sejak 2019 saat komunitas ini ada dan ikut mengkampanyekan perlindungan satwa dan habitatnya,  aktivitas perburuan   mulai berkurang  hingga  2025 ini.”

Paruh bengkok dalam penangkaran M Parrot tidak memiliki cincin indikator pengenal sebagai objek yang dibudidayakan. Foto: Tim kolaborasi investigasi

Beny Aladin Siregar, Koordinator Burung Indonesia Wilayah Kepulauan Maluku katakan,  keterancaman karena aktivitas manusia di kawasan cagar alam ini. Terutama perburuan dan perkebunan.

“Pembukaan   lahan perkebunan  dan  juga penambangan emas tanpa izin di Desa Kubung Bacan Selatan itu gangguan yang terjadi di dalam kawasan,” katanya.

Ada dua titik yang menjadi lokasi utama perburuan parung bengkok,  Desa Gandasuli Bacan Selatan dan Amasing di Kecamatan Bacan. Perburuan itu dampaknya sangat terasa terutama ancaman terhadap populasi  satwa paruh bengkok.

Hasil survei Burung Indonesia tahun 2019 menunjukkan, ada penurunan populasi  sama seperti di Pulau Halmahera dan Obi.

“Informasi penurunan ini juga terkonfirmasi  dalam laporan sebelumnya  dari  lembaga ProFauna yang melakukan riset. Bahwa penyebab utamanya adalah  perburuan  untuk diperdagangkan.”

Beny menyebut, kehadiran Kompas turut memberi pengaruh menekan aktivitas perburuan di cagar alam. Di desanya, para anggota komunitas juga menjadi pelopor dan terlibat aktif dalam kegiatan konservasi.

Ilustrasi. Paruh bengkok banyak jadi sasaran buruan. Foto: Muhammad Soleh

*****

 

Jalur Gelap Penyelundup Paruh Bengkok dari Halmahera ke Filipina

Exit mobile version