- Masyarakat Desa Tani Indah dan sekitarnya, Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, bisa sedikit bernapas lega. Perjuangan mereka melawan pencemaran lingkungan yang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive Obsidian Stainless Steel (OSS) picu, membuahkan hasil setelah Pengadilan Negeri Unaaha menyatakan pengelola PLTU terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan pencemaran lingkungan.
- Andi Rahman, Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, menyebut putusan ini sebagai kemenangan rakyat atas ketidakadilan ekologis yang selama ini mereka hadapi. Bertahun-tahun, masyarakat Morosi terpaksa hidup dalam bayang-bayang pencemaran yang merusak kesehatan, lingkungan, dan masa depan mereka.
- Sadam Husain, Direktur LBH Kendari, mengatakan, putusan ini langkah awal yang harus mendapat pengawalan. Pihaknya pun menekankan pentingnya pengawasan terhadap implementasi dan mendesak pemerintah memastikan pelaksanaan seluruh isi putusan. Termasuk pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak-hak korban.
- La Ode Muhammad Aslan, pakar pesisir dan kelautan Universitas Halu Oleo, menyebut, kemenangan ini sebagai peristiwa yang membangkitkan harapan di tengah ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Terutama, kasus-kasus yang melibatkan perusahaan tambang bermodal kuat dan berjejaring luas.
Masyarakat Desa Tani Indah dan sekitarnya, Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, sedikit bernapas lega. Perjuangan mereka melawan pencemaran lingkungan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive PT Obsidian Stainless Steel (OSS), membuahkan hasil. Pengadilan Negeri Unaaha menyatakan, pengelola PLTU terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan pencemaran lingkungan.
Putusan nomor 28/Pdt.Sus-LH/2024/PN Unh mengabulkan sebagian gugatan Walhi Sulawesi Tenggara dan LBH Kendari yang mewakili masyarakat Morosi itu memerintahkan pengelola PLTU menghilangkan bau busuk, memperbaiki instalasi pengolahan limbah, dan memusnahkan sumber pencemaran. Instansi pemerintah terkait juga wajib melakukan pengawasan secara transparan.
Selain pemulihan lingkungan, putusan juga menghukum pengelola PLTU di Kawasan Industri Nikel Morosi itu membayar biaya perkara Rp4.361.000.
Andi Rahman, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tenggara, menyebut, putusan ini sebagai kemenangan rakyat atas ketidakadilan ekologis yang selama ini mereka hadapi. Bertahun-tahun, masyarakat Morosi terpaksa hidup dalam bayang-bayang pencemaran yang merusak kesehatan, lingkungan, dan masa depan mereka.
“Ini merupakan pengakuan resmi negara atas pelanggaran yang terjadi dan penderitaan masyarakat yang selama ini diabaikan,” katanya.
Putusan tidak boleh berhenti di atas kertas. Walhi dan LBH Kendari yang tergabung dalam Tim Advokasi Rakyat Morosi mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum segera memastikan pelaksanaan seluruh isi putusan.
Sadam Husain, Direktur LBH Kendari, mengatakan, putusan ini langkah awal yang harus mendapat pengawalan. Dia pun menekankan pentingnya pengawasan terhadap implementasi dan mendesak pemerintah memastikan pelaksanaan seluruh isi putusan, termasuk pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak-hak korban.
Kemenangan ini, katanya, perseden penting mendorong perubahan sistemik dalam penegakan hukum lingkungan, terutama di kawasan industri strategis. Perjuangan masyarakat Morosi menjadi contoh penting bagi komunitas lain yang menjadi korban kerusakan ekologis di seluruh Indonesia. Ia juga menunjukkan suara rakyat bisa terdengar, dan bagaimana menegakan keadilan ekologis melalui jalur hukum.
Meskipun tidak sepenuhnya gugatan pengadilan penuhi, Kamriadi, warga yang menggugat, menilai, pencapaian ini sebagai ‘langkah awal keberhasilan’.
Di lapangan, katanya, perusahaan masih bandel dan melanjutkan aktivitas yang melanggar putusan, khusus pembuangan debu sisa pembakaran batubara ke pemukiman warga.
Warga, katanya, sempat melakukan pemalangan di jalan hauling industri nikel untuk menghentikan pembuangan debu itu.
Pria yang tinggal di dekat PLTU OSS ini menilai, perusahaan “tidak patuh” pada putusan hakim dan hanya berhenti setelah tekanan dari warga.
Perusahaan pun akhirnya memindahkan lokasi pembuangan debu ke Pelabuhan Baru tetapi tindakan itu hanya untuk menghindari sanksi.
“Harapan kami bahwasanya apa yang diputuskan hari ini oleh pengadilan…kami menunggu untuk implementasinya.”
Lonceng pengingat
La Ode Muhammad Aslan, pakar pesisir dan kelautan Universitas Halu Oleo, mengatakan, kemenangan ini sebagai peristiwa yang membangkitkan harapan di tengah ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Terutama, kasus-kasus yang melibatkan perusahaan tambang bermodal kuat dan berjejaring luas.
“Ini membuktikan aparat penegak hukum masih memiliki nurani keadilan dan mampu membela kebenaran,” katanya.
Hal penting lainnya dari putusan ini adalah bagaimana kerja kolektif dan kolaboratif yang melibatkan perguruan tinggi, aktivis lingkungan, dan masyarakat berperan penting sebagai kunci keberhasilan.
Dia dan Walhi Sultra menguji sampel limbah PLTU captive OSS. Hasilnya menjadi bukti untuk menggugat PLTU ini Desember 2024.
Meski gembira dengan putusan ini, dia mengingatkan perjuangan belum berakhir. Masih banyak lokasi rusak atau terancam rusak akibat aktivitas tambang, dan perusahaan-perusahaan itu seringkali merasa kebal hukum karena dukungan dari pihak-pihak berkuasa.
Dia mengkritik lemahnya implementasi regulasi yang sudah baik. Dia melihat ada “permainan” antara pengusaha dan penguasa, serta kurangnya pengawasan dari perusahaan maupun pemerintah terhadap dampak lingkungan dalam program hilirisasi nikel.
Akibatnya, perusahaan sering seenaknya membuang limbah, merugikan masyarakat, dan baru bertindak ketika terjadi protes atau gugatan. Sayangnya, sikap pemerintah dan perusahaan belum dewasa. Mereka hanya bereaksi setelah masyarakat menderita.
Konsep ekonomi biru atau ekonomi hijau yang pemerintah gadang-gadang, harusnya mengedepankan keadilan dan kesejahteraan lingkungan, bukan hanya keuntungan pengusaha. Sayangnya, konsep itu cenderung pemerintah abaikan, dan memberikan ruang bagi perusahaan untuk melakukan monitoring sendiri, yang sulit membuahkan hasil jujur.
“Karena itu, perlu jalan tengah antara kepentingan perusahaan tambang dan sektor-sektor lain seperti perikanan, pertanian, dan kehutanan.”
Aslan berharap, semua pihak dapat duduk bersama merumuskan solusi yang ramah lingkungan dan berkeadilan. Perlu antisipasi serangan balik dari pihak yang kena tuntut, dan mempelajari putusan ini untuk mengawalnya serta tidak terjadi pembalikan keadaan.
Fatih Gama Abisono, doktoral Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, yang sedang meneliti politik batubara di tengah transisi energi, menyayangkan, kurangnya kepatuhan perusahaan terhadap aturan. Termasuk dalam aspek lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG), yang seharusnya memastikan kepatuhan lingkungan sebelum proyek beroperasi.
Dia mengkritik, kurangnya pengawasan pemerintah sejak awal berdirinya kawasan industri nikel beserta PLTU-nya. Seharusnya, pemerintah mengawasi kepatuhan mereka terhadap peraturan lingkungan sejak tahap perencanaan proyek, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), bukan hanya setelah muncul masalah.
“Hal ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam memastikan kepatuhan perusahaan terhadap regulasi lingkungan,” katanya.
Dia berharap, putusan ini jadi momentum perbaikan. Juga, ‘lonceng pengingat’, khusus perusahaan penyedia listrik untuk meningkatkan tata kelola perusahaan dan kepatuhan terhadap lingkungan.
“Peristiwa ini jangan hanya dilihat sebagai kasus hukum yang melibatkan pihak yang menang dan kalah, tetapi sebagai kesempatan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki ketimpangan sistemik dalam pengawasan lingkungan.”
Dia mengusulkan, perlu peninjauan regulasi terkait penggolongan limbah batubara, terutama dalam kategori bahan beracun berbahaya (B3), dan konsekuensi hukumnya.
*****
Berkomitmen Iklim, Bank-bank Ini Biayai PLTU Captive Industri Nikel