- Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, merupakan ruang hidup masyarakat pesisir. Dalam beberapa tahun belakangan, setelah ada pertambangan nikel juga kawasan industri nikel beroperasi, terjadi perubahan. Limbah cair masuk ke laut dan aktivitas lalu lintas kapal industri kuat dugaan jadi penyebab cemaran laut.
- Kawasan industri nikel IWIP ada 11 PLTU batubara, dengan tiga pembangkit tambahan sedang proses pembangunan. Saat beroperasi, 14 PLTU memiliki kapasitas 4,54 gigawatt.
- Penelitian juga Nexus 3 Foundation bersama Universitas Tadulako (Untad) lakukan baru-baru ini. Temuan mereka, konsentrasi logam berat pada ikan tangkapan nelayan. Tim peneliti mengambil 16 sampel ikan segar dari nelayan di Desa Gemaf, Weda Utara dan pasar tradisional Desa Lelilef. Semua ikan dari perairan Teluk Weda. Dari 16 sampel ikan tangkapan yang mereka ambil acak, semua sampel positif mengandung kadar merkuri dan arsenik.
- Pada 10 Juli lalu, tim Kementerian Lingkungan Hidup turun ke PT Weda Bay Nickel (WBN), tambang bagian dari IWIP. Dalam rilis, kementerian bilang ini sebagai bagian pembinaan pemerintah terhadap pelaku usaha pertambangan. Tujuannya, memperkuat pengelolaan lingkungan hidup di kawasan industri strategis yang terletak di ekoregion sensitif.
Hilir mudik truk pengangkut slag, limbah peleburan bijih nikel menimbun lautan jadi pemandangan kontras pada pagi hari di pesisir Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara,
Bising aktivitas industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) membunuh deru ombak di Teluk Weda. Kicau burung bidadari Halmahera nyaris tak terdengar, hanya deru mesin-mesin yang terus meraung di telinga.
Kepulan asap PLTU menutup sinar matahari yang biasa menyala terang dari Timur. Semilir angin laut bertiup membawa debu batubara, yang terbuka menganga di pinggir laut. Udara sejuk sirna, berganti bau menyengat pembakaran bijih nikel menusuk hidung.
Lolo–nama samaran–, nelayan Desa Lelilef Sawai membawa kami keliling Teluk Weda. Kini, teluk tidak seindah dan sesejuk dulu.
Baru 10 menit perahu kayu mesin berlayar, pria berkulit sawo matang itu menunjukkan pipa besar pembuangan limbah pengolahan bijih nikel agak menjorok ke daratan, sekitar IWIP.
Laut tempat pembuangan limbah itu berbatas tali mengapung berwarna oranye, mungkin sebagai batas penanda agar perahu nelayan tak mendekat. Air laut di sekitar pembatas itu berbuih.
Di daratan sekitar pipa, terlihat kolam-kolam penampung limbah dengan air berwarna coklat keruh.
“Saya gak tau nih pembuangan apa,” ujar si nelayan.
Dia mendekatkan perahu ke lokasi pembuangan limbah lantas melaju ke timur. Sekitar 15 menit berlayar, perahu berhenti.
Lolo menunjukkan pipa pembuangan limbah cair. Letaknya menjorok ke daratan. Sayangnya, perahu tak bisa mendekat. Dia bilang, area itu selalu ada penjagaan ketat satpam air.
Kalau perahu nelayan mendekat, satpam air langsung datang menegur. Jojo berulang kali kena tegur satpam karena cari ikan di sekitar situ.
Dari kejauhan tampak pipa besar mengeluarkan air seperti mendidih dan berasap, yang berujung ke laut. “Itu limbah cairan panas,” ujar Jojo. Air laut sekitar pembuangan limbah bersuhu hangat hingga panas.
Hawa pengap terasa saat perahu berhenti di jarak sekitar satu kilometer dari lokasi pembuangan limbah. Saya sempat mencelupkan tangan ke laut, air hangat.
Limbah cair ke laut
Temuan perihal pembuangan limbah IWIP itu kami konfirmasi kepada Walhi dan Jatam Maluku Utara. Kedua lembaga non-pemerintah itu membenarkan, temuan kalau itu merupakan pembuangan limbah cair ke laut.
Mubalik Tomagola, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Maluku Utara mengatakan, limbah cairan panas berasal dari PLTU di kawasan industri nikel IWIP.
“Itu dari PLTU. Kan dia ambil air dari laut, kasih masuk ke semacam AC itu, kasih dingin mesin, baru buang airnya. Panas itu, kencang airnya,” katanya ketika ditemui Mongabay, 3 Juli lalu.
Kawasan industri nikel IWIP ada 11 PLTU batubara, dengan tiga pembangkit tambahan sedang proses pembangunan. Saat beroperasi, 14 PLTU memiliki kapasitas 4,54 gigawatt.
Pada 2023, Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menguji sampel air laut bahang dari PLTU itu. Hasilnya, air laut bersuhu 35⁰C dan mengandung konsentrasi kromium heksavalen mencapai 0,024 mg/L. Kadar kromium heksavalen melewati baku mutu yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 22/2021, untuk wisata bahari dan biota laut.
Penelitian AEER mencatat, tingginya konsentrasi kromium heksavalen dapat mengancam kesehatan manusia. Logam ini dapat terakumulasi di tubuh ikan yang kemudian warga konsumsi.
Selain menyebabkan kulit ruam, sifat yang toksik juga dapat meningkatkan risiko kanker lambung dan mengganggu kesehatan reproduksi.
Limbah bahang membuat suhu air laut meningkat; ini mengancam ekosistem terumbu karang, pada gilirannya menurunkan populasi ikan di pesisir.
AEER menyebut, air bahang dari unit kondensor dan penyediaan air boiler. Operasional unit-unit itu menyebabkan suhu air bahang tinggi.
Menurut dokumen analisis dampak lingkungan (andal) IWIP, air bahang dari PLTU sebesar 2.371 m3 per hari atau 865.400 m3 per tahun.
Menurut penelitian AEER, limbah domestik dari kegiatan perkantoran, hunian, kantin, dan klinik juga mencemari laut. Limbah ini sekitar 1.079 m3 per hari atau 393.762 m3 per tahun.
Air limbah dari aktivitas pelabuhan dengan timbulan mencapai 104 m3 perper hari atau 38.000 m3 per tahun juga turut mencemari Teluk Weda.
Selain sumber-sumber itu, air limbah juga dari aktivitas pabrik seperti pabrik stainless steel, besi karbon, dan kokas.
Mubalik bilang, saat musim angin utara debu PLTU batubara berhembus ke laut.
Penelitian juga Nexus 3 Foundation bersama Universitas Tadulako (Untad) lakukan baru-baru ini. Temuan mereka, konsentrasi logam berat pada ikan tangkapan nelayan.
Tim peneliti mengambil 16 sampel ikan segar dari nelayan di Desa Gemaf, Weda Utara dan pasar tradisional Desa Lelilef. Semua ikan dari perairan Teluk Weda.
Dari 16 sampel ikan tangkapan yang mereka ambil acak, semua sampel positif mengandung kadar merkuri dan arsenik.
Konsentrasi merkuri dalam ikan berkisar antara 0,02p-0,28 mg/kg, dengan konsentrasi tertinggi pada ikan barakuda.
Konsentrasi arsenik dalam ikan berkisar antara 0,43-3,03 mg/kg, dengan konsentrasi tertinggi pada ikan sorihi yang nelayan Gemaf tangkap dengan kadar 3,03 mg/kg. Batas tolelir arsenik dalam ikan menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah dua mg/kg dan batas merkuri dalam ikan 0,5 mg/kg.
Tim peneliti mencatat, konsentrasi arsenik pada ikan di Teluk Weda itu 20 kali lipat lebih tinggi dari hasil riset 2007. Kala itu, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI melakukan pemeriksaan kadar logam berat pada daging laut yang masyarakat konsumsi atas permintaan WBN.
Tim peneliti juga mengecek sampel darah warga. Dari 44 sampel darah, pekerja IWIP, keluarga nelayan, petani, dan staf puskesmas, uji kadar enam logam berat berupa: arsenik, merkuri, nikel, kadmium, talium, dan timbal.
Tingkat merkuri dan arsenik dalam darah penduduk lokal lebih tinggi daripada pekerja IWIP. Hasil wawancara tim peneliti terhadap responden, rerata konsumsi makanan laut dalam dua hari sebelum pengambilan sampel darah 2-6 porsi.
“Paparan reguler terhadap logam-logam berat melalui jalur makanan dapat menyebabkan gangguan kesehatan dalam jangka panjang, terutama penyakit tidak menular atau non-communicable diseases,” tulis penelitian itu.
Kadar arsenik, kadmium, timbal, dan merkuri adalah toksik sistemik yang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular, gangguan neurologis, kanker, dan gangguan kekebalan tubuh.
“Temuan ini menegaskan perlunya pemantauan lingkungan dan kesehatan secara rutin, serta penegakan hukum terhadap industri pencemar. Kami mendorong keterbukaan data dan kolaborasi semua pihak untuk melindungi masyarakat dan ekosistem”, kata Darmawati Darwis, guru besar Fakultas MIPA, Universitas Tadulako, saat peluncuran penelitian Mei lalu.
Penelitian ini merekomendasikan peninjauan kembali izin industri nikel, untuk memastikan kepatuhan terhadap standar lingkungan. Dengan pertimbangan batas emisi, pengelolaan limbah, dan dampak ekologis oleh KLH.
Studi ini juga mendesak Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan survei dan studi komprehensif mengenai prevalensi masalah kesehatan di Teluk Weda. Tujuannya, mengidentifikasi tren, mengarahkan kebijakan kesehatan masyarakat, dan mengukur dampak jangka panjang dari kegiatan industri.
Muammar Fabanyo, Humas IWIP mengatakan, pembuangan air limbah telah memenuhi seluruh standar teknis dan lingkungan berlaku.
Menurut dia, air limbah pengolahan bijih nikel yang mereka buang ke laut, sudah melalui proses dengan fasilitas pengelolaan lewat pendekatan teknologi modern.
“Agar aman dan memenuhi standar baku mutu lingkungan, sebelum dialirkan ke laut,” kata Manajemen IWIP melalui pernyataan resmi kepada Mongabay, 8 Juli 2025.
Manajemen IWIP melalui Muammar menyatakan, pipa pembuangan terpasang sistem pemantauan kualitas air limbah yang terus menerus dan dalam jaringan (sparing).
Melalui sistem itu, katanya, air limbah dapat terpantau online dan setiap saat, langsung terhubung ke pemerintah.
Dia mengklaim, proses pengolahan air limbah industri nikel IWIP sesuai izin dan sertifikat laik operasi (SLO) yang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan–sekarang Kementerian Lingkungan Hidup–terbitkan.
“IWIP senantiasa berkomitmen menjalankan kegiatan operasional yang bertanggung jawab dan berkelanjutan,” katanya.
Ardyanto Nugroho, Direktur Pengaduan dan Pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup, berjanji menindaklanjuti dugaan pencemaran Teluk Weda ini.
“Dalam waktu dekat, kami akan kirimkan tim Pengawas Lingkungan Hidup dari Kementerian Lingkungan Hidup ke lokasi IWIP, untuk menindaklanjuti laporan itu,” katanya, 7 Juli lalu.
Kepada Mongabay, Ardyanto meminta kirimkan dokumen penelitian Nexus3 Foundation perihal temuan konsentrasi logam berat pada ikan tangkapan nelayan dan darah warga di Kecamatan Weda Tengah.
Mereka perlu pelajari dulu sebelum tim pengawas lingkungan turun ke lokasi IWIP di Halmahera Tengah.
Kementerian turun
Pada 10 Juli lalu, tim KLH bersama Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), turun ke PT Weda Bay Nickel (WBN), tambang bagian dari IWIP.
Dalam rilis, kementerian bilang ini sebagai bagian pembinaan pemerintah terhadap pelaku usaha pertambangan. Tujuannya, memperkuat pengelolaan lingkungan hidup di kawasan industri strategis yang terletak di ekoregion sensitif.
WBN, mengelola izin usaha pertambangan (IUP) lebih dari 44.839 hektar, aktif beroperasi sejak 2019. Hingga 2024, buka sekitar 3.099 hektar lahan untuk tambang. Hanif fokus tinjauan pada pengelolaan air tambang dan fasilitas pengelolaan limbah.
Hanif juga meninjau fasilitas insinerator sampah domestik untuk mengelola limbah rumah tangga dan operasional perusahaan. Insinerator ini bertujuan mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA) dan meminimalkan risiko pencemaran lingkungan.
Dia menekankan pentingnya pemantauan suhu pembakaran, emisi, serta pengelolaan residu agar tetap mematuhi standar lingkungan yang berlaku.
Hanif menerima informasi terkait kondisi ekologis wilayah tambang, yang berada dalam zona batuan ultrabasa dan pamah monsun. Kedua ekoregion ini sangat sensitif terhadap gangguan lahan.
Hasil analisis KLH menunjukkan, area sekitar 2.791 hektar dengan kapasitas retensi air rendah, memerlukan penguatan sistem drainase dan penutup lahan. Sebagian wilayah tambang masih punya fungsi pengaturan tinggi.
“Percepat proses rehabilitasi lingkungan.”
Dia menekankan, pentingnya revegetasi lahan terbuka dengan tanaman lokal cepat tumbuh dan dapat mencegah erosi, meningkatkan infiltrasi air, serta mempercepat pemulihan fungsi ekologis.
Sementara Rivani Abdul Rajak, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah, tak merespons konfirmasi Mongabay. Dia hanya membaca pesan.
***
Luki, nelayan Desa Lelilef Sawai menunjukkan aplikasi navigasinya. Di aplikasi itu tertera rekam jarak tempuh melaut beberapa hari terakhir.
Jarak Luki melaut rerata 6-10 mil. Sejak industri nikel beroperasi, dia harus pergi melaut lebih jauh.
“Dulu, gak sampai satu kilometer kita mancing udah dapat ikan banyak,” katanya.
Menurut Luki, ikan di sekitar pesisir Teluk Weda sudah tidak ada. Limbah industri nikel jadi biang keladi ikan tak lagi hidup. “Karang-karang su ancur, kapal-kapal kasih turun jangkar.”
Tak hanya limbah bahang yang membuat suhu air laut dan ikan menghindar, tumpahan minyak dan batubara dari tongkang juga kerap terjadi.
Pantauan Mongabay, kapal besar dan tongkang batubara terparkir di laut, berjarak sekitar dua kilometer dari kawasan IWIP.
*****