- Ibarat fenomena gunung es, tambang nikel di Raja Ampat hanyalah satu dari sederet persoalan terkait penambangan di pulau-pulau kecil. Di Kepulauan Riau (Kepri) misalnya, Pulau Citlim yang ada di Kabupaten Karimun, juga alami kondisi serupa: hancur karena tambang.
- Ahmad Aris, Direktur Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP sebut, Pulau Citlim termasuk kategori sangat kecil karena luasnya hanya 2.200 hektar. Dampak tambang telah akibatnya sedimentasi di laut dan menutupi terumbu karang serta padang lamun di sekeliling pulau.
- Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jatam menyebut, pemberian izin tambang di pulau kecil sebagai bentuk perlawanan hukum oleh pemerintah. Hal itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang adanya kegiatan pertambangan.
- Parid Ridwanuddin, Direktur Kelautan Auriga Nusantara sebut, secara geopolitik, pulau kecil di Kepri juga berfungsi sebagai wujud kedaulatan negara. Saat pulau hilang karena ditambang, akan mempengaruhi batas wilayah negara.
Ibarat fenomena gunung es, tambang nikel di Raja Ampat hanyalah satu dari sederet persoalan terkait penambangan di pulau-pulau kecil di nusantara ini. Pulau Citlim, di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau (Kepri), misal, alami kerusakan karena tambang.
Pulau kecil berukuran 2.200 hektar itu luluh lantak kena keruk untuk pertambangan pasir darat. Seperti terjadi di banyak tempat, tutupan hutan di pulau ini pun nyaris habis dibabat untuk memberi akses tambang. Tak pelak, material sisa-sisa tambang pun meluncur ke laut membawa sedimen lumpur.
“Kalau kita perhatikan dampak tambang pulau ini, warna coklat, apabila hujan datang semua sedimen masuk laut menutupi terumbu karang dan lamun di sekeliling pulau,” kata Ahmad Aris, Direktur Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP, saat sidak ke Pulau Citlim belum lama ini.
Dia mengatakan, sidak untuk melihat bekas pertambangan pulau kecil yang terlarang. Aturan itu tertuang dalam putusan perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023 perihal Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 1/2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27/ 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 21 Maret 2024.
“Secara aturan harus dapat rekomendasi KKP, sampai saat ini pelaku usaha belum pernah mengurus rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil ke KKP,” kata Aris.
Selain tambang, dia juga menyoal reklamasi ilegal di Pulau Citlim.
Luas Pulau Citlim hanya 22,94 kilometer persegi, tak sampai 100 kilometer persegi hingga masuk kategori pulau sangat kecil. Hasil sidak KKP temukan ada tiga konsesi tambang di sana. Satu masih aktif, dua habis masa operasi.
KKP sejatinya berwenang memberi izin bagi penanam modal asing (PMA) maupun rekomendasi bagi penanaman modal dalam negeri (PMDN) saat melakukan pemanfaatan pulau kecil pada areal penggunaan lainnya (APL). Namun, syaratnya ketat mulai pengelolaan lingkungan, kemampuan daya dukung, serta menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Muhammad Darwin, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kepri, mengatakan, IUP Citlim ada sejak 2010 dari pemerintah kabupaten. Pasir-pasir Citlim untuk menyuplai kebutuhan pembangunan di Karimun dan Batam.
Terkait status Citlim sebagai pulau kecil, katanya, bila penetapan tambang oleh Menteri ESDM. “Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait ini. Saat ini, tim kami ke lapangan (Pulau Citlim),” katanya.
Sebelumnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) merilis beberapa pulau kecil yang masuk dalam konsesi tambang di Kepulauan Riau. Salah satunya, Pulau Citlim yang KKP sidak.
Jatam mencatat, terdapat dua perusahaan yang mendapat konsesi di pulau itu, yaitu PT Jeni Prima Sukses (JPS) seluas 50 hektar dan PT Asa Tata Mardivka (ATM) seluas 36 hektar. Pemerintah memperpanjang izin keduanya, meski aturan melarang penambangan di pulau kecil.
Alfarhat Kasman, juru Kampanye Jatam mempertanyakan perpanjangan izin oleh pemerintah. “Kenapa pemerintah mengeluarkan izin ini sedangkan aturan hukumnya jelas. Ini jelas perbuatan melawan hukum,” katanya, merujuk perpanjangan izin JPS dari 2023-2028.
Keputusan itu, katanya, sebagai bentuk perlawanan hukum secara nyata oleh pemerintah. ”Padahal, pemerintah menyadari ketika ditambang, pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan iklim. Artinya, ketika terjadi bencana akibat krisis iklim, itu karena pemerintah yang mengundangnya.”
Puluhan konsesi
Laporan Jatam berjudul “Nestapa Pulau Kecil Indonesia, alam dijarah, penduduknya dimiskinkan, dan dikriminalisasi,” terdapat 218 IUP beroperasi di 34 pulau kecil di Indonesia, termasuk di Kepri. Dari ratusan IUP itu, total konsesi mencapai 274.549,57 hektar.
Di Kepri, sebut Jatam, IUP-IUP yang beroperasi menyasar pasir kuarsa atau silika. Beberapa pulau kecil di Kepri yang masuk konsesi di antaranya: Pulau Serasan -yang merupakan bagian dari Pulau Natuna- seluas 44,72 kilometer persegi atau 4.472 hektar dengan konsesi tambang untuk PT Bina Perkasa Natuna seluas 99 hektar.
Pulau Subi Besar, di Natuna lebih parah lagi. Dengan luas 11.000 hektar, pulau ini terbebani 10 IUP pasir kuarsa dengan total luas 7.978,69 hektar. Begitu juga di Pulau Karimun Besar. Dengan luas 12.649,7 hektar, pulau yang memiliki sebutan Pulau Nuwi ini terbebani sembilan izin. Ada juga Pulau Bela, Karimun, terbebani dua izin tambang.
Beberapa pulau kecil lain yang juga turut ditambang adalah Pulau Parit yang memiliki luas 1.800 hektar, Pulau Combol (5877,02 hektar), Pulau Telan (1592 hektar), dan Pulau Selayar (4.029 hektar). Juga, Pulau Bakung (5.716 hektar), Pulau Sebangka (14.367,53 hektar) dan Pulau Bintan (120.389,69 hektar atau 1.203,89 km2).
Makin rentan
Alfarhat mengatakan, tambang akan meningkatkan resistensi pulau-pulau kecil akibat perubahan iklim dan meningkatnya muka air laut. Selain itu, fungsi ekologis pulau juga akan berkurang. “Tidak tertutup kemungkinan bahkan dampak tambang di pulau-pulau kecil menenggelamkan pulau tersebut.”
Selain itu, tambang di pulau kecil juga akan menyebabkan banjir bandang, pesisir tercemar, terumbu karang rusak, sebagaimana terjadi di Raja Ampat.
“Banyak temuan Kementerian Lingkungan Hidup kemarin, bahwa sudah disampaikan sudah terjadi sedimentasi di atas terumbu karang, itu tentu akan berdampak ke pendapatan nelayan sekitar,” katanya.
Alfarhat juga mengkritisi soal standar pulau-pulau kecil yang ditetapkan dalam aturan KKP tersebut. Yaitu pulau kecil itu kriterianya berada di bawah 2000 kilometer persegi. Standarisasi itu cenderung jadi jebakan.
“Problemnya disitu, karena melebihi 2000 meter persegi dia tidak dikatakan kategori pulau-pulau kecil, padahal daya rusak sama saja dengan pulau di bawah 2000 meter persegi.”
Mestinya, kata Jatam, parameter yang dipakai adalah daya dukung dan daya tampung pulau.
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menjelaskan, riset Greenpeace memperlihatkan negara bisa mendapatkan pendapatan dua kali lebih besar jika menerapkan pembangunan tanpa pertambangan.
“Kalau kita beralih dari industri ekstraktif ini ke industri yang lebih hijau, maka dalam waktu 10 tahun akan menghasilkan GDP (gross domestic product) hampir dua kali lipat, bahkan bisa sampai membuka 19 juta lapangan pekerjaan,” katanya dalam acara di Kompas TV.
Parid Ridwanuddin, Direktur Kelautan Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, pemerintah seharusnya melihat pulau kecil sebagai kesatuan ekosistem. Dengan begitu, upaya pemanfaatan melalui pendekatan yang kompehensif.
“Soal pulau kecil tidak bisa dilihat hanya dari angka luasan saja, tetapi harus dilihat kesatuan ekosistem, ekosistem yang terhubung antar pulau,” katanya.
Secara geopolitik, katanya, pulau-pulau kecil di Kepri juga erat kaitan dengan kedaulatan negara karena berada di wilayah perbatasan negara. Ketika pulau hilang karena ditambang, secara otomatis, batas-batas negara juga akan terpengaruh.
Karena itu, Parid mendesak agar cabut izin konsesi tambang di pulau-pulau kecil yang lain juga. “Jika yang di Raja Ampat dicabut karena melanggar Undang-undang, maka seyogyanya kebijakan sama juga berlaku untuk tambang di pulau-pulau kecil lainnya. Jangan tebang pilih.”
*****
Belajar dari Nikel Raja Ampat, Saatnya Setop Tambang di Pulau Kecil