Mongabay.co.id

Ular Karung: Predator Sungai Purba yang Seolah Memakai Baju Gombrong

  • Acrochordus javanicus (Ular Karung) adalah spesies ular akuatik primitif yang memiliki kulit longgar ("gombrong") dan sisik kasar granular tanpa sisik perut, sebuah adaptasi evolusioner khusus untuk mencengkeram mangsa licin dan bergerak efisien di habitat sungai berlumpur.
  • Spesies ini menghadapi tekanan eksploitasi tinggi untuk industri kulit, di mana riset menunjukkan adanya bias perburuan terhadap betina dewasa yang berukuran jauh lebih besar daripada jantan, yang secara langsung mengancam kemampuan reproduksi dan pemulihan populasi di alam liar.
  • Meskipun berstatus Least Concern secara global, populasi lokal di Indonesia rentan terhadap degradasi habitat dan over-eksploitasi, padahal spesies ini memegang peran penting sebagai predator puncak yang menjaga keseimbangan populasi ikan di ekosistem perairan tawar Nusantara.

Sungai-sungai berarus lambat dan wilayah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa menjadi habitat bagi salah satu spesies reptil paling unik di Indonesia, yakni Acrochordus javanicus. Dikenal secara luas dengan nama Ular Karung atau Elephant Trunk Snake, spesies ini memiliki morfologi yang sangat berbeda dibandingkan ular pada umumnya. Tidak memiliki sisik yang licin dan tubuh yang ramping, Acrochordus javanicus justru memiliki kulit yang sangat longgar, berlipat-lipat, dan bertekstur kasar. Penampilan visual ini memberikan kesan seolah ular tersebut mengenakan kulit yang terlalu besar untuk tubuhnya, atau seperti memakai baju yang “gombrong”.

Penampilan fisik yang tidak lazim ini merupakan bentuk adaptasi evolusioner yang spesifik. Ular karung adalah spesies yang sepenuhnya akuatik, menghabiskan seluruh siklus hidupnya di dalam air. Kulit yang longgar tersebut memfasilitasi pergerakan yang efisien di dalam air dan memungkinkan ular ini bermanuver di celah-celah akar bakau atau bebatuan sungai tanpa mengalami cedera gesekan. Secara taksonomi, mereka mewakili garis keturunan ular primitif yang telah beradaptasi secara khusus dengan lingkungan perairan tawar dan payau di Asia Tenggara, menjadikannya fosil hidup yang penting bagi ilmu pengetahuan.

Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Acrochordus javanicus di habitat perairan dangkal. Warna tubuhnya yang gelap dan tekstur kulit yang menyerupai lumpur memberikannya kamuflase sempurna saat berburu di sungai yang keruh. Kredit Foto: Thai National Parks

Namun, karakteristik fisik yang menjadi keunggulan biologis ini kini menjadi faktor utama ancaman terhadap kelestarian populasinya. Kulit ular karung yang unik memiliki nilai ekonomi tinggi dalam industri penyamakan kulit reptil global. Permintaan pasar yang konstan mendorong aktivitas perburuan intensif di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai keberlanjutan populasi spesies ini di alam liar, mengingat peran ekologisnya yang signifikan sebagai predator puncak di habitat perairan keruh.

Adaptasi Kulit Granular dan Mekanisme Berburu

Secara biologis, kulit longgar pada ular karung memiliki fungsi mekanis yang krusial dalam strategi bertahan hidup. Acrochordus javanicus adalah predator penyergap (ambush predator) yang aktif di malam hari (nokturnal). Mangsa utama mereka adalah ikan dan amfibi yang memiliki permukaan tubuh licin. Untuk berburu mangsa seperti ini, ular karung tidak mengandalkan bisa (venom) ataupun kecepatan, melainkan gesekan.

Kulit ular ini dilengkapi dengan sisik-sisik kecil meruncing (granular) yang disebut tubercle. Saat menyergap, ular ini melilitkan tubuhnya pada mangsa. Kulit yang longgar memungkinkan tubuh ular untuk melipat dan mencengkeram mangsa dengan erat, sementara sisik kasarnya bertindak seperti perekat (velcro) yang mencegah ikan meloloskan diri. Tanpa adaptasi kulit ini, ular karung akan kesulitan melumpuhkan mangsa di lingkungan air.

Gambaran morfologi Acrochordus javanicus atau Ular Karung. Gambar detail (kanan atas) menunjukkan struktur kepala dan sisik granular yang unik. Kredit Ilustrasi: J.F. Obbes

Ketergantungan ular ini pada air bersifat mutlak. Tidak seperti ular sanca atau kobra, ular karung tidak memiliki sisik perut yang lebar (ventral scales) yang diperlukan untuk merayap di tanah. Akibatnya, jika berada di daratan, ular ini nyaris tidak berdaya karena berat tubuhnya sendiri akan membebani organ dalamnya, membuat pergerakan menjadi sangat lambat dan sulit. Keterbatasan ini menjadikan mereka sangat rentan jika habitat air mereka menyusut atau saat mereka tidak sengaja terbawa arus ke daratan kering.

Dampak Perdagangan Komersial

Pemanfaatan ular karung sebagai komoditas ekspor kulit reptil telah menjadi subjek penelitian konservasi sejak lama. Riset fundamental mengenai biologi dan pemanfaatan komersial spesies ini dilakukan oleh Richard Shine, Peter Harlow, dan J. Scott Keogh yang diterbitkan dalam Journal of Herpetology dengan judul “Biology and Commercial Utilization of Acrochordid Snakes, with Special Reference to Karung (Acrochordus javanicus)”.

Studi tersebut menyoroti masalah spesifik dalam pola panen ular karung, yaitu adanya bias seleksi terhadap jenis kelamin tertentu. Dalam spesies ini, terjadi dimorfisme seksual yang ekstrem di mana ukuran tubuh betina jauh lebih besar dan lebih berat dibandingkan jantan. Industri kulit menetapkan harga berdasarkan lebar kulit, semakin lebar kulit, semakin tinggi harganya. Akibatnya, para pengumpul dan pemburu secara sistematis menargetkan ular-ular betina dewasa yang berukuran besar.

Tampilan detail kepala Ular Karung (Acrochordus javanicus) memperlihatkan lipatan kulit longgar di belakang lehernya. Karakteristik inilah yang membuatnya dijuluki ular yang memakai ‘baju gombrong’ atau kebesaran Foto: Averroes Oktaliza (CC BY-NC) via iNaturalist.

Implikasi dari preferensi pasar ini sangat serius bagi demografi populasi. Peneliti mencatat bahwa perburuan yang secara disproporsional menargetkan betina dewasa dapat memangkas potensi reproduksi spesies ini secara drastis. Acrochordus javanicus berkembang biak dengan cara melahirkan (vivipar) dengan siklus reproduksi yang lambat. Hilangnya individu betina produktif dalam jumlah besar akan menurunkan laju pemulihan populasi (recovery rate) secara signifikan, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan stok di alam liar.

Meskipun IUCN (International Union for Conservation of Nature) saat ini mengategorikan Acrochordus javanicus dalam status Least Concern (Risiko Rendah) secara global karena sebaran geografisnya yang luas, kondisi di tingkat lokal bisa berbeda drastis. Ancaman tidak hanya datang dari perburuan langsung untuk kulit, tetapi juga dari degradasi habitat sungai. Sedimentasi tinggi, pencemaran limbah domestik dan industri, serta konversi lahan rawa menjadi area pertanian atau perkebunan sawit, semakin mempersempit ruang hidup spesies ini.

Keberadaan ular karung memiliki fungsi ekologis penting sebagai pengendali populasi ikan di sungai. Dengan memangsa ikan yang sakit, lemah, atau berpopulasi berlebih, mereka membantu menjaga kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan secara keseluruhan.

Exit mobile version