Mongabay.co.id

Tutupan Mangrove di Sumatera Selatan Bertambah?

Hamparan mangrove yang kuat berfungsi seperti benteng, melindungi masyarakat dari badai ekstrem. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

  • Tutupan mangrove di Sumatera Selatan bertambah luas. Dari 168,5 ribu hektar pada 1990, menjadi 170,2 ribu pada 2024. Penambahan tutupan terjadi pada wilayah konservasi.
  • Meskipun wilayah konservasi bertambah tutupannya, tapi sekitar 50 ribu mangrove yang terbuka masih belum berubah. Masih dijadikan tambak udang, permukiman, dan wilayah terbuka.
  • Diharapkan pemerintah melakukan upaya restorasi mangrove di wilayah yang sudah rusak, tapi tidak mengganggu ekonomi masyarakat di sekitar mangrove.
  • Hubungan masyarakat dengan mangrove di Sumatera Selatan, diperkirakan sudah berlangsung selama puluhan abad. Mangrove menjadi sumber pangan, obat-obatan, papan, dan ekonomi.

Sumatera Selatan merupakan daerah yang menjadi target restorasi mangrove di Indonesia. Di Sumatera Selatan terdapat hutan mangrove luas, yakni Taman Nasional Sembilang yang ditetapkan UNESCO pada tahun 2018 sebagai Cagar Biosfer Dunia bersama Taman Nasional Berbak [Jambi]. Bagaimana kondisi mangrove di Sumatera Selatan saat ini?

“Berdasarkan kajian kami, sejak 1990 hingga 2024 terjadi penambahan luasan tutupan mangrove di Sumatera Selatan, sekitar seribu hektar lebih,” kata Adios Syafri, Direktur Riset dan Kampanye Hutan Kita Institute (HaKI), Kamis (13/11/2025).

Pada 1990-an, luas tutupan mangrove di Sumatera Selatan mencapai 168,5 ribu hektar, yang membentang di sepanjang Pesisir Timur Sumatera. Tahun 2024 lalu, luasannya menjadi 170,2 ribu hektar.

“Kajian tutupan mangrove yang dilakukan HaKI, menggunakan platform Mapbiomas Indonesia,” katanya.

Penambahan tutupan terjadi di wilayah konservasi, yakni Taman Nasional Sembilang. Pada 2010 atau sebelum ditetapkan sebagai taman nasional dan cagar biosfer, wilayah tersebut luasnya sekitar 92,8 ribu hektar. Pada 2024 bertambah menjadi 94,4 ribu hektar. Penambahan tutupan juga terjadi pada hutan lindung mangrove, yang sebelumnya 54,1 ribu hektar, menjadi 54,9 ribu hektar.

Namun, kawasan mangrove di APL (Area Penggunaan Lain) mengalami penurunan, dari 11 ribu hektar menjadi 10,7 ribu hektar. Tubuh air juga mengalami penurunan, dari 39,4 ribu hektar menjadi 20, ribu hektar. Sementara, hutan produksi tetap pada kisaran 10 ribu hektar.

“Dengan kondisi ini, kami mengapresiasi apa yang sudah dilakukan pemerintah, pegiat lingkungan, akademisi, dalam upaya menjaga dan mengembalikan kawasan mangrove di kawasan lindung dan konservasi,” kata Adios.

Hutan mangrove berperan penting sebagai benteng wilayah pesisir sekaligus mencegah abrasi pantai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Taman Nasional Sembilang memiliki beragam jenis tanaman mangrove, termasuk yang langka, seperti Kandelia candel

Sarno, peneliti mangrove dari Universitas Sriwijaya, kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu, menjelaskan ada 28 jenis mangrove di Taman Nasional Sembilang. Data ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Sriwijaya dengan JICA dan Taman Nasional Sembilang selama lima tahun, 2010-2015.

Jenis mangrove itu antara lain jeruju putih (Acanthus ebrachteotus), jeruju (Acanthus ilicifolius), piai raya (Acrosthicum aureum), piai lasa (Acrosthicum speciosum), gigi gajah (Aegiceras corniculatum), api-api (Avicennia alba), api-api abang (Avicennia marina), api-api daun lebar (Avicennia officinalis), burus (Bruguiera gymnorrhiza), pertut (Bruguiera parviflora), bius (Bruguiera sexangula), tancang-sukun (Bruguierra cylindrical), dan kenyonyong (Ceriops decandra).

Upaya menyelamatkan mangrove di Sumatera Selatan sudah dilakukan sejak tahun 2000-an. Beberapa pegiat lingkungan hidup, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah, melakukannya dalam berbagai skema. Terakhir dilakukan SMART [Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism] pada 2021 dan BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove), yang dibubarkan pemerintah pada Mei 2025 lalu.

Selain itu, lanskap Sembilang yang memiliki 70 sungai, setiap tahun menjadi persinggahan burung migran dari Asia Timur menuju Australia.

“Kami juga menjalankan sejumlah program terkait mangrove, terutama terkait Taman Nasional Sembilang,” kata Adios.

Akar napas atau pneumatofor memungkinkan mangrove untuk bernapas ketika tergenang air laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Selamatkan mangrove yang rusak

Tahun 1990-an, luas mangrove di Sumatera Selatan sekitar 225 ribu hektar. Sekitar 50-an ribu hektar mengalami kerusakan. Seperti menjadi lahan terbuka, tambak ikan dan udang, tanah timbul, dan abrasi.

“Kondisi mangrove yang rusak tidak mengalami perubahaan signifikan. Ini menandakan upaya restorasi mangrove bersama masyarakat belum berjalan baik, sebab berubahnya kawasan mangrove tersebut akibat aktivitas manusia,” kata Adios.

Jadi, pemerintah harus merestorasi mangrove di wilayah yang sudah rusak tersebut. “Tapi, tidak mengganggu ekonomi masyarakat, seperti tambak udang dan ikan. Konsepnya silvofhisery, yakni rehabilitasi mangrove yang terintegrasi dengan tambak udang atau ikan.”

Hutan mangrove memberi keuntungan bagi kehidupan manusia dan melindungi pesisir dari abrasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Yulian Junaidi, peneliti lingkungan dan pertanian dari Universitas Sriwijaya, menolak mempertahankan tambak yang berada di wilayah mangrove.

“Untuk kawasan mangrove sebaiknya tidak ada budidaya (tambak), karena akan menimbulkan kerusakan. Ada wilayah terbuka,” katanya, Kamis (13/11/2025).

Untuk mengembangkan ekonomi masyarakat di sekitar mangrove, Yulian lebih mendorong tradisi ekonomi yang selama ini sudah berkembang, seperti  penangkapan ikan, kepiting,  kerang, dan lainnya yang berkembang biak alami.

“Mungkin kegiatan rekayasa yang dapat dikembangkan adalah lebah madu mangrove, sebab tidak menebang pohon, dan justru mempertahankan hutan. Misalnya yang dikembangkan sejumlah kelompok tani di Lalan, Musi Banyuasin, yang berada di belakang Taman Nasional Sembilang,” ujarnya.

“Saya pikir banyak kearifan lokal, baik terkait kuliner, dan obat-obatan dapat dikembangkan sebagai potensi ekonomi masyarakat sekitar mangrove. Tidak harus tambak udang atau ikan, yang juga sangat membutuhkan modal besar.”

Peta potensi sebaran mangrove yang terbuka atau digunakan untuk tambak udang, permukiman dan lainnya. Peta: HaKI

Hadirnya tambak udang di Sumatera Selatan dimulai dari dibangunnya pertambakan udang PT Wachyuni Mandira (WM) pada 1995 milik Sjamsul Nursalim, konglomerat yang menjadi buronan Pemerintah Indonesia. Pertambakan itu memiliki empat blok. Setiap blok terdapat 161 kanal. Jumlah petambaknya sekitar 2.500 orang, dan bersama keluarganya menjadi sekitar 3.500 jiwa.

Pada 15 November 1998, ribuan petambak melakukan aksi protes di lokasi perusahaan. Penyebabnya, tidak jelasnya pembagian bagi hasil antara perusahaan plasma (petambak). Puluhan petambak dipenjara karena dituduh pelaku pengrusakan dan provokator aksi tersebut, dan ratusan petambak plasma lainnya kehilangan pekerjaan.

Tahun 1999, sekitar 9.000 petambak plasma PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) di Rawajitu, Kabupaten Tulangbawang, Lampung, yang saat itu juga masuk kelompok PT Gajah Tunggal, protes dengan meninggalkan lokasi tambak. Sebab, tuntutan mereka soal transparansi harga udang windu dan cicilan utang yang mereka tuntut sejak 1996 belum juga menemui kejelasan.

Selanjutnya, bekas plasma di PT WM maupun PT DCD akhirnya dikembangkan menjadi tambak udang di sepanjang Pesisir Timur Sumatera. Dimulai Lampung Timur, Tulangbawang, Ogan Komering Ilir (OKI), hingga Banyuasin. Bahkan, sebagian juga mengembangkan tambak udang di Pulau Bangka.

Menjaga dan memulihkan mangrove dapat bermanfaat bagi jutaan masyarakat pesisir di Indonesia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Mangrove dan manusia

Hubungan masyarakat dengan mangrove di Sumatera Selatan, diperkirakan sudah berlangsung selama puluhan abad, dari masa prasejarah hingga saat ini. Mangrove menjadi sumber pangan, obat-obatan, papan, dan ekonomi.

Mengutip Ary Prihardhyanto Keim, Etnobiolog dan Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evaluasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kepada Mongabay Indonesia, beberapa waktu lalu bahwa leluhur manusia Indonesia adalah bangsa Austronesia dari Asia Tengah, Denovisian.

Sekitar 25 ribu tahun sebelum masehi (SM), mereka menuju ke anak benua Sundaland. Leluhur Austronesia ini terpisah dengan saudaranya Mongoloid Utara pada masa yang sama. Wilayah Sundaland ini berada di Indonesia.

Di Sundaland, yang terdapat banyak pulau, bangsa Austronesia beradaptasi dengan alam, terutama dengan mangrove. “Sejumlah jenis bakau yang dimanfaatkan bangsa Austronesia, mulai dari bangunan, kapal, makanan serta obat-obatan,” jelasnya.

Selain itu, bangsa Austronesia juga menemukan berbagai tanaman yang memiliki manfaat bagi manusia yakni rempah-rempah, seperti cengkih dan kayu manis.

Kapal, makanan, dan obat dari bakau, serta produk rempah-rempah dari daratan ini mendorong bangsa Austronesia menjelajah ke berbagai wilayah di dunia. Baik Afrika, Timur Tengah, India dan Tiongkok.

 

*****

 

Lanskap Sembilang: Mangrove, Harimau, dan Harapan Nyata Masyarakat

Exit mobile version