Mongabay.co.id

Membaca Tanda Alam Lewat Thotok Karimunjawa

  • Masyarakat di Desa Kemujan, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah memiliki kebiasaan mencari kerang atau biasa disebut thotok sebelum musim baratan datang. Tradisi ini lantas dikemas menjadi Festival Thotok Terusan dan dirayakan setiap tahun. 
  • Penting bagi warga Karimunjawa dalam membaca kondisi alam dan cuaca. Keberadaan mereka jauh dari kota. Kebutuhan utama seperti beras harus didatangkan dari kota sehingga sebelum musim baratan yang disertai gelombang tinggi, mereka harus segera membelanjakan tabungannya.
  • Widyo Babahe Leksono, Pegiat Seni dan Budaya di Karimunjawa mengatakan kegiatan berkesenian sangat erat kaitannya dengan lingkungan. Gagasan Festival Thotok Terusan, sebuah upaya mengingat kembali peristiwa yang dilakukan oleh leluhur atau nenek moyang yang tidak jauh dari penghargaan dan kecintaan terhadap alam.
  • Nurul Aini, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan praktik baik Festival Thotok Terusan memiliki fungsi ekologis, menjadi tanda bagaimana manusia hidup selaras dengan alam. Sesuatu yang penting untuk keberlangsungan manusia dan alam. Upaya menolak pandangan manusia yang antroposen. Pandangan bahwa manusia itu pusat semesta dan memiliki fungsi menguasai alam. 

Masyarakat Desa Kemujan, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah memiliki kebiasaan mencari kerang atau yang biasa mereka sebut thotok. Kebiasaan itu mereka lakukan jelang musim baratan datang, sekaligus menandai pergantian musim kemarau ke hujan.

Bagi masyarakat Karimunjawa, gelombang tinggi, angin kencang, dan curah hujan tinggi adalah penanda musim baratan.

Saat musim ini berlangsung, kondisi perairan membahayakan, sehingga aktivitas melaut terhenti. Warga harus bersiap dengan stok pangannya.

Lokasi Kepulauan Karimunjawa berada di Laut Jawa, sekitar 80 kilometer dari pusat kota Jepara. Secara administratif, Karimunjawa merupakan kecamatan di Kabupaten Jepara. Luasnya 111.625 hektar yang terdiri dari 1.285 hektar daratan dan 110.340 hektar lautan. Karimunjawa memiliki 27 gugusan pulau,  hanya lima berpenghuni.

Selama ini, suplai kebutuhan pokok warga dapatkan dari Jepara  di daratan utama Jawa, seperti beras atau kebutuhan sandang, elektronik, maupun bahan bangunan.  Kondisi cuaca sangat berpengaruh untuk menyeberangi lautan.

Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Dimas, turut meramaikan festival thotok dengna mencari kerang di pesisir Karimunjawa. Foto: Wulan Yanuarwati/Monganbay Indonesia.

Penanda pergantian musim

Dimas kecil sedang berjalan pelan di seputar kawasan mangrove di Desa Kemujan, Karimunjawa. Dia tampak begitu berhati-hati agar tidak menginjak anakan mangrove. Sejenak, dia terlihat membungkuk untuk mengambil kerang di balik timbunan pasir, lalu mengumpulkannya di lipatan kaosnya.

Pagi itu, Dimas yang berusia delapan tahun memang sedang libur sekolah. Tak seperti  bocah-bocah seusianya yang sibuk bermain gawai, Dimas memilih  ikut meramaikan Festival Thotok Terusan.

Cuaca sangat cerah, cenderung panas. Sesekali Dimas mengusap keningnya yang berkeringat.

“Sendiri. Pengen cari kerang nanti dimasak,” ujarnya sambil konsentrasi demi mendapatkan kerang lebih banyak.

Lain lagi dengan Solikah,   terlihat lihai mencari thotok. Tangan perempuan 47 tahun ini begitu cekatan menarik kerang dari satu titik ke titik lainnya.

“Gampang, mata mereka muncul di permukaan dan mudah dilihat.” Dia  mencari kerang sejak masih remaja.

Bagi saya yang ikut mencari thotok sangat kesulitan. Kendati sudah dapat  instruksi dan memperhatikan tanda-tanda keberadaan thotok selama kurang lebih dua jam, saya tetap tak bisa mengenalinya. Seringkali luput. Hal ini menunjukkan, kemampuan mengenali dan membaca kondisi alam memang tak mudah. Butuh keahlian tersendiri,  yang sudah lama warga Karimunjawa miliki.

Puluhan warga terlihat memeriahkan acara tahunan tersebut. Tua, muda, remaja, dan anak-anak turut berpartisipasi. Mereka sibuk dalam diam, khusyuk mencari thotok. Nantinya, thotok yang terkumpul akan panitia beli dan memasaknya bersama. Malamnya, warga menyantap makanan tersebut sambil menikmati pertunjukan seni oleh anak-anak warga Desa Kemujan.

Moh Sofi’i, penggagas festival, masih ingat betul saat masih kecil ikut orang tuanya mencari thotok di antara pohon mangrove di desanya. Katanya, saat peralihan dari angin timur ke barat akan ada jeda yang membuat sejumlah titik surut.

Di situlah ribuan thotok biasanya warga dapatkan. Selain menjadi penanda musim, biota laut tersebut juga jadi sumber pangan warga.

“Masa peralihan ini disertai munculnya thotok, nah saat itu jugalah alarm bagi warga untuk segera persiapan sebelum musim baratan datang,” katanya.

Kemunculan thotok menjadi informasi yang sangat penting. Tanda akan pergantian cuaca dan harus mempersiapkan kebutuhan pangan.

Apalagi pada zaman dahulu, warga pergi ke Kota Jepara menggunakan perahu layar sehingga harus pandai membaca tanda alam.

Makanya, penting untuk meneruskan tradisi ini melalui Festival Thotok Terusan yang kemudian dikemas dengan sejumlah pertunjukan seni pada malam harinya.

“Karena alarm, ya sekarang ini waktu yang baik ke Jepara, tabungan yang selama ini kita simpan, kita jajakan beras sebanyak mungkin. Angin timur sudah habis, angin barat belum muncul, thotok sudah muncul, ini alarm untuk segera memperbanyak stok pangan.”

Kerang yang dikumpulkan warga Karimunjawa di ajang Fetival Thotok. Foto: Wulan Yanuarwati/Mongabay Indonesia.

Padukan dengan kesenian

Widyo Babahe Leksono, Pegiat Seni dan Budaya di Karimunjawa mengatakan, berkesenian sangat erat kaitan dengan lingkungan.  Gagasan Festival Thotok Terusan pun memadukan antara kegiatan di alam dan berlanjut dengan kesenian adalah dua entitas yang tak dapat terpisahkan.

“Lingkungan pun juga punya energi. Dalam kondisi tertentu itu memang kepekaan manusia bisa memahami. Petani itu sangat memahami apa yang ia tanam. Nelayan juga memahami laut dan cuaca.”

Sedangkan sang kreator dan seniman, berkomunikasi dengan alam yang kemudian menghasilkan sebuah karya. Menurutnya, karena generasi sekarang semakin jauh dari lingkungan atau alamnya, maka perlu ditarik kembali melalui kesenian di festival tersebut.

“Mengingatkan kembali. Mengingat kembali karena ada banyak peristiwa yang pendahulu lakukan seperti leluhur atau nenek moyang kita yang tidak jauh dari alam.”

Apalagi, massifnya industri pariwisata di Karimunjawa kian menjauhkan anak-anak dari akarnya yang peduli dengan alamnya.

Pariwisata terkadang hanya melulu persoalan money oriented saja. Perlu adanya wisata berbasis budaya untuk bisa mengimbanginya. Untuk itu, kecintaan terhadap alam yang dikemas dalam bentuk festival, lomba, dan ada hadiah memang menarik. Selain itu, bisa menjadi daya tarik wisata berbasis budaya.

“Jangan-jangan ketika mereka tidak memahami kesenian, bukan berarti seniman ya. Mereka akan kehilangan akar untuk mencintai lingkungan.”

Seturut pengamatannya, semua ajaran nenek-moyang akarnya tidak lepas dari alam. Lalu terekspresi dalam bentuk tradisi turun temurun. Jadi tak melulu karya seni, namun juga dalam bentuk budaya.

“Nah, semacam mengelabui masyarakat untuk menggiring mereka dekat dengan alam. Ya, harapannya agar engkau bersahabat, akrablah dengan alam, apa pun itu.”

Para peserta meramaikan fetival thotok Karimunjawa. Foto: Wulan Yanuarwati/Mongabay Indonesia.

Ancaman pariwisata

Nurul Aini, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, ada banyak praktik baik di Indonesia berkaitan dengan ritual yang berhubungan dengan alam.

Praktik baik ini biasa memiliki fungsi ekologis, menjadi tanda bagaimana manusia hidup selaras dengan alam.

“Sesuatu yang penting untuk keberlangsungan manusia dan alam. Karena dia menolak pandangan yang antroposen, pandangan bahwa manusia itu pusat semesta dan memiliki fungsi menguasai alam,” katanya.

Jadi, tidak melihat alam dalam perspektif kekuasaan seperti kapitalisme global yang melihat bahwa manusia pusat semesta dan manusia memegang kekuasaan kepada alam. Jika itu terjadi, maka itu adalah eksploitasi.

“Adanya festival ini menunjukkan keselarasan manusia dan alam. Mereka hidup bersama alam bukan menguasai alam atau memerintah alam yang memang sudah dipraktikkan.”

Nurul mengatakan, praktik baik ini bisa tergerus dengan adanya pariwisata yang terlalu masif dan tak terkontrol.

Saat ini, Karimunjawa menjadi semakin populer karena era sosial media dan banyak pariwisata berlabel hidden gem memiliki efek over tourism.

Festival thotok ketika bisa mengundang banyak wisatawan mungkin memiliki efek baik karena bisa mengenalkan tradisi. Bagaimana masyarakat lokal mengenali musim dan menjadi tanda bersiap pada musim berganti bisa menjadi pelajaran berharga bagi wisatawan.

“Namun ketika ini diperdagangkan maka lambat laun akan memisahkan manusia dan alam ya karena festival ini hanya menjadi perayaan tanpa makna. Tak hanya marketisasi pariwisata. Ritual, alam dan budaya tak bisa dipisahkan. Pemerintah harus memikirkan over tourism.”

*****

 

Begini Model Baru Pengumpulan Data Biodiversitas Laut Karimunjawa

Exit mobile version