- Hutan Desa Bukit Gajah Berani terjarah tambang emas. Pohon-pohon yang masuk kawasan hutan produksi dan izin hutan desa yang pemerintah keluarkan untuk warga di sana pun mulai bertumbangan. Aris Adrianto, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Bukit Gajah Berani resah melihat hutan yang dulu hijau berubah penuh lubang. Air sungai berubah keruh kecoklatan. Laporan dan keluhan kepada pihak berwenang tak mendapat tanggapan berarti.
- Hutan Desa Bukit Gajah Berani merupakan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), rumah bagi satwa-satwa langka seperti harimau sumatera, beruang madu dan berbagai jenis burung endemik.
- Hutan Desa Bukit Gajah Berani merupakan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), rumah bagi satwa-satwa langka seperti harimau sumatera, beruang madu dan berbagai jenis burung endemik.
- Nexus3 Foundation, lembaga independen yang fokus pada isu lingkungan dan kesehatan masyarakat menyebut, paparan merkuri dari limbah pengolahan tambang emas tradisional dapat menyebar melalui air, udara, tanah, penyerapan oleh tumbuhan dan bioakumulasi pada rantai makanan. Persebarannya dapat mempengaruhi kadar merkuri di dalam kompartemen lingkungan yang pada akhirnya memberikan risiko kepada kesehatan manusia.
Suara alat berat bergemuruh memecah kesunyian Hutan Bukit Gajah Berani di Desa Birun, Kecamatan Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi.
Siang dan malam, selama berbulan-bulan alat berat itu merobohkan ribuan pohon, mengaduk-aduk tanah demi butiran emas. Tak ada papan izin, tak ada batas kawasan. Di sini, “aturan” ditentukan oleh siapa yang punya modal.
Aris Adrianto, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Bukit Gajah Berani, geram melihat hutan yang dulu hijau berubah penuh lubang. Air sungai berubah keruh kecoklatan.
“Kami sudah lapor ke KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi) dan kehutanan provinsi, tapi tak ada hasil,” katanya.
“Mereka terus jalan, seolah tak takut apapun.”
Sejak 2016, tambang emas ilegal mulai menjarah kawasan hutan produksi di sana. Sampai dengan pertengahan 2024, mereka mulai menembus ke hutan desa di Birun.
Saat itu, para penambang sudah diperingatkan agar tak menggarap kawasan hutan, tetapi tak digubris. Mereka terus beroperasi sampai sekarang.
Hutan Desa Bukit Gajah Berani merupakan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), rumah bagi satwa-satwa langka seperti harimau sumatera, beruang madu dan berbagai jenis burung endemik.
Sebelum tambang datang, hutan ini memberi kehidupan bagi masyarakat kampung. Mereka mengambil rotan, damar dan buah tempayang untuk tambahan ekonomi. Di zona pemanfaatan, masyarakat menanam kopi, kulit manis, dan pinang.
“Dulu, warga hidup dari hasil hutan bukan kayu,” kata Deri Sopian, pendamping pengelolaan hutan desa.
“Sekarang, sekitar 30 hektar hutan itu rusak akibat peti (pertambagan emas tanpa izin).”
Penambangan emas ilegal yang merusak kawasan hutan desa oleh warga dari luar. “Kalau dibiarkan, ini bisa memicu konflik antarwarga karena Desa Birun dan Kampung Limo bertetangga,” katanya.
Pada 11 Oktober 2025, Mongabay menghubungi Rusnal, Kepala UPTD KPHP Merangin terkait tambang emas dalam kawasan hutan desa di Birun. Pesan dan panggilan telepon Mongabay tak mendapat respon.
Mongabay kemudian menghubungi Bambang Yulisman, Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan dan Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Jambi, tetapi tak menjawab pesan untuk permintaan wawancara.
Rantai dagang emas ilegal
Jumat dini hari, 19 September lalu, beberapa kilomter dari hutan desa, sebuah mobil Avanza silver melaju pelan di antara perbukitan. Sorot lampu memecah gelap Jalan Raya Bangko–Kerinci di Desa Birun, yang berselimut kabut tipis.
Aparat Subdit IV Tipidter Polda Jambi memaksa mobil itu berhenti. Beberapa polisi bergegas mendekat. Mereka menggeledah mobil yang MWD, RN dan RBS tumpangi. Hasilnya, ada 16 keping emas seberat 1,7 kilogram. Emas bernilai Rp3,23 miliar itu dicurigai hasil tambang emas ilegal.
Kombes Pol Taufik Nurmandia, Direktur Reskrimsus Polda Jambi, mengatakan, emas itu milik MWD, warga Dusun Batu lumut, Desa Aur Duri, Kecamatan Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh.
Emas ilegal itu dibeli sehari sebelumnya, di dua lokasi berbeda. Sebanyak 1,3 kg dari seorang perempuan berinisial DMY di Desa Perentak, Kecamatan Pangkalan Jambu. Sebanyak 400 gram dari RB di Simpang Parit, Kecamatan Renah Pembarap, Merangin, kini jadi buronan polisi.
“Emas ini rencananya mau dijual ke Padang, Sumatera Barat,” kata Taufik.
MWD bukan pemain baru dalam perdagangan emas ilegal. Dia sudah 10 kali menjual emas serupa ke Padang, Sumatera Barat.
Emas-emas itu dia beli dari tauke dan para penambang emas ilegal di Merangin, berbatasan dengan Kerinci. Lalu mengirimnya ke Padang malam hari, menembus jalur darat yang sunyi.
Selain emas, polisi juga menyita mobil Toyota Avanza silver metalik BA-1459-AE atas nama Helmi, dan empat handphone.
Taufik mengatakan, ketiga tersangka dijerat Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar.
Menurut dia, perdagangan emas ilegal adalah salah satu faktor yang membuat aktivitas tambang emas di Jambi sulit setop.
“Selama ada yang membeli, tambang tanpa izin tidak akan berhenti. Karena itu, kami tidak hanya menindak pelaku di lapangan, juga rantai distribusi dan penampung hasil tambang ilegal.”
Dia mengimbau, masyarakat tidak terlibat dalam aktivitas tambang emas maupun peredarannya. Polda Jambi berkomitmen memberantas praktik pertambangan emas tanpa izin yang merugikan negara serta merusak lingkungan.
“Kami peringatkan, siapa pun yang menampung, mengolah, mengangkut, atau menjual hasil tambang ilegal akan kami tindak!”
Sebelumnya, pada 24 Mei 2025, jajaran Polda Jambi juga berhasil menggagalkan upaya pengiriman 1,2 kg emas ilegal ke Padang, Sumatera Barat.
Ahmadin Nuri, warga Dusun Kebun Nanas, Kelurahan Kungkai, Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin, disergap polisi saat hendak naik travel ke Padang. Dia ditangkap di Jl. Jenderal Sudirman, Pematang Kandis, Kec. Bangko pukul 19.30 Wib. Polisi menemukan 1,2 kg emas illegal tersimpan dalam jok motor.
Emas ilegal itu milik Syamsir, warga Kelurahan Pasar Rantau Panjang, Kecamatan Tabir. Ahmadin diminta mengantarkan emas itu kepada pembeli di Padang, dengan upah Rp2,5 juta.
Syamsir mengaku, emas itu dari para penambang dan pengepul lokal di wilayah Tabir, Kabupaten Merangin. Sejak awal 2025, dia sudah 10 kali mengirim emas ilegal ke Sumatera Barat.
Pada 30 September 2025, Syamsir dan Ahmadin kena vonis 11 bulan penjara, denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Bangko.
Pada 2016-2025, Polda Jambi dan jajarannya berhasil menggagalkan penyelundupan 21 kg emas ilegal. Tetapi, operasi masih belum mampu menyentuh aktor besar atau jaringan pendukung yang lebih tinggi.
Tambang emas illegal di Merangin terang-terangan. Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) mencatat, ada 6.845 titik tambang emas di Jambi.
Lebih dari 1.000 titik berada di Merangin. Ribuan tambang ini memproduksi 20 kg emas ilegal setiap harinya.
Dari situlah rantai bisnis emas ilegal dimulai. Butiran emas dijual ke pengepul kecil di desa, lalu ke pembeli besar di Bangko hingga Sungai Penuh.
Sebagian emas itu jadi perhiasan. Sebagian lagi menempuh perjalanan senyap menuju Padang, Sumatera Barat dan pasar lain di Sumatera.
Cemaran merkuri dan ancaman pangan
Tambang emas ilegal tumbuh subur di Kecamatan Pangkalan Jambu, Merangin. Bahkan, sebagian besar ekonomi warga bergantung dari hasil tambang emas. Tambang ilegal yang tidak terkendali perlahan menggerus sumber pangan.
Pada 2022, Pemerintah Merangin mencatat 3.920 hektar sawah di Merangin rusak akibat tambang emas.
Lima tahun terakhir, produksi gabah di Merangin terus menurun. Data BPS menunjukkan, pada 2020 produksi gabah kering giling (GKG) 386.413 ton. Pada 2023, anjlok menjadi 275.950 ton. Luas panen juga berkurang dari 84.773 hektar jadi 61.240 hektar.
Riset R. Ningsih dari Universitas Jambi menyebut, luas panen di Kecamatan Pangkalan Jambu pada 2020 menyusut 268 hektar dibanding 2019, mencapai 1.181 hektar.
Jika kondisi ini terus berlanjut, tambang emas bukan hanya menggerus lahan pangan, juga masa depan ekonomi masyarakat pedesaan.
Pemulihan lahan pascatambang pun perlu biaya tinggi dan waktu yang panjang.
Risiko tambang emas tidak berhenti hanya pada hilangnya sawah dan anjloknya pasokan beras lokal di Merangin, tetapi juga acaman kesehatan serius akibat cemaran merkuri.
Nexus3 Foundation, lembaga independen yang fokus pada isu lingkungan dan kesehatan masyarakat menyebut, paparan merkuri dari limbah pengolahan tambang emas tradisional dapat menyebar melalui air, udara, tanah, penyerapan oleh tumbuhan dan bioakumulasi pada rantai makanan.
Persebarannya dapat mempengaruhi kadar merkuri di dalam kompartemen lingkungan yang pada akhirnya memberikan risiko kepada kesehatan manusia.
Dalam laporan Nexus3 Foundation yang dirilis pada 2018 menemukan, kadar merkuri di sungai-sungai di wilayah Pangkalan Jambu, Sungai Manau, Tabir Barat dan Batang Masumai mencapai 0,01–0,02 mg/liter, melebihi baku mutu air bersih.
Berdasarkan PP 82/2021 mengenai Pengendalian Pencemaran Air dan Pengelolaan Kualitas Air, baku mutu merkuri dalam air adalah 0,001 mg/L. Untuk air baku Kelas I dan baku mutu merkuri di dalam sungai sedimen adalah 0,17 mg/kg.
Kandungan merkuri juga ditemukan pada tanaman pangan, seperti genjer, terong, daun singkong, dan kacang panjang. Bahkan, beberapa warga juga mengkonsumsi beras dengan kandungan merkuri yang melewati baku mutu.
Sukmareni, Koordinator Kominikasi KKI Warsi menyebut, dampak tambang emas ilegal bukan sekadar rusaknya hutan, juga konflik sosial hingga hilangnya masa depan generasi muda.
“Anak-anak kehilangan sumber belajar dari alam, kehilangan lahan warisan, dan mewarisi beban ekologis yang berat. Mereka tumbuh di lingkungan rusak dan beracun,” katanya.
Tambang emas telah memberikan tekanan luar biasa terhadap ekosistem di Jambi. Hingga 2024, aktivitas ilegal itu telah merusak lebih dari 54.341 hektar lahan, dan meninggalkan lahan kritis yang sangat luas—termasuk di hutan dan sempadan sungai.
“Air sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan masyarakat kini banyak tercemar, ikan berkurang, dan kualitas air menurun drastis.”
Tambang emas juga mempercepat erosi serta sedimentasi di daerah aliran sungai (DAS), terutama di Batanghari. Akibatnya, daya dukung lingkungan melemah, krisis air bersih dan risiko bencana ekologis seperti banjir dan longsor terus meningkat.
Dia mengatakan, pemerintah perlu membangun kesadaran dan memperkuat alternatif ekonomi seperti perhutanan sosial dan hasil hutan bukan kayu. Jadi, masyarakat tidak bergantung dari hasil tambang emas.
“Kopi hutan, madu hutan, dan rotan terbukti bisa memberi penghasilan tanpa merusak alam.”
Pemerintah juga harus perkuat penegakan hukum dan tata kelola izin. Menurut Reni, selama perburuan hanya menyasar penambang rakyat, sementara pemodal besar lolos dari jerat hukum, lingkaran kerusakan tak akan berhenti.
Sungai akan tetap keruh, hutan terus bolong, dan warga akan terus terjebak dalam kemiskinan ekologis.
Muncul usulan ‘solusi’ dengan izin pertambangan rakyat (IPR), Reni mengingatkan, IPR bukan solusi permanen. Karena banyak tambang rakyat masih sulit memenuhi standar teknis dan lingkungan, ujung-ujungnya tambang dikelola pemodal dan masyarakat tetap jadi pekerja.
Selain itu, kemampuan untuk merestorasi areal yang rusak tidak sebanding dengan pembukaan areal baru. Akhirnya, tambang rakyat tetap menyisakan kerusakan dan sumber penghidupan generasi mendatang akan hilang.
Ilusi WPR
Pemerintah sudah menyiapkan jalur legal melalui wilayah pertambangan rakyat (WPR). Pada April 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menetapkan 117 titik WPR di Jambi seluas 7.030,46 hektar.
Pada 2024, dokumen pengelolaan yang baru sah di blok Merangin: Desa Sekancing, Kecamatan Tiang Pumpung dan Desa Rantau Bidaro, Rantau Panjang, Pulau Ramang di Kecamatan Muara Siau, seluas 358 hektar.
Hingga kini, tak satu pun masyarakat di Jambi yang mendapatkan izin pertambangan rakyat. “WPR hanya di atas kertas,” kata Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau.
“Fakta di lapangan sekarang, wilayah itu sudah digarap penambang ilegal.”
Feri mendesak Gubernur Jambi, Al Haris bersikap tegas. Sebab makin lama tambang ilegal dibiarkan, kerusakan lingkungan akan terus meluas. Pemerintah, katanya, harus segera keluarkan semua alat berat tambang emas ilegal di dalam kawasan hutan.
Dia sadari, pemerintah menghadapi dilema, menutup tambang berarti mematikan ekonomi ribuan warga, membiarkan berarti memperparah kerusakan.
“Masalahnya, bukan rakyat, tapi sistem yang dikuasai pemodal,” tegas Feri. “Tanpa regulasi yang adil, WPR hanya menjadi ilusi.”
Menurut dia, yang perlu sekarang adalah kerangka hukum kuat untuk mengendalikan tambang emas skala kecil ini, namun tetap mengutamakan aspek keadilan secara sosial dan lingkungan bagi masyarakat kelas bawah.
“Intinya, tambang emas ini perlu diatur, bagaimana proses penambangannya, kemudian pengolahan emasnya sampai distribusinya ke pasar. Semua harus diatur.”
*****