Mongabay.co.id

Berbagai Tantangan Menuju Keadilan Ekologis

  • Wahana Lingkungan Hidup Indonesia baru saja mendeklarasikan 20 September sebagai Hari Keadilan Ekologis. Mereka juga menyoroti banyaknya tantangan dalam memperjuangkan gagasan Keadilan Ekologis ini. Kebanyakan, berasal dari ulah pemerintah.
  • Misalnya, proyek-proyek yang pemerintah keluarkan. Bukannya menguntungkan rakyat, malah memperparah krisis ekologis dan hanya menguntungkan korporasi besar serta oligarki. Food Estate, salah satunya, menimbulkan deforestasi yang masif. Padahal, pemerintah gadang proyek ini sebagai solusi atas pangan. "Jelas, kami menolak kalau untuk bentuk-bentuk itu," kata Boy Jerry Even Sembiring, Direktur anyar Walhi
  • Walhi menilai krisis ekologi di Indonesia juga makin parah karena pemerintah kerap menelurkan regulasi destruktif yang pro-investasi. Misal, Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) dan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
  • Pantoro Tri Kuswardono, Dewan Nasional Walhi, menyebut, perlunya menerapkan narasi tandingan atas ekonomi pertumbuhan yang pemerintah gaungkan. Salah satunya dengan model ekonomi nusantara.

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) baru saja mendeklarasikan 20 September sebagai Hari Keadilan Ekologis. Mereka juga menyoroti banyaknya tantangan dalam memperjuangkan gagasan keadilan ekologis ini.

Kebanyakan, berasal dari ulah pemerintah. Misal, proyek-proyek yang pemerintah keluarkan. Bukan menguntungkan rakyat, malah memperparah krisis ekologis dan hanya menguntungkan korporasi besar serta oligarki.

Pengembangan pangan skala besar (food estate), salah satunya, menimbulkan deforestasi masif. Padahal, pemerintah gadang-gadang proyek ini sebagai solusi atas pangan.

Walhi mencatat dari 2.684.680,68 hektar lahan  food estate di Papua, 2 juta hektar adalah kawasan hutan.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) juga menunjukkan terdapat lebih dari 20.000  hektar hutan dan gambut hilang pada 2019–2021 karena proyek ini. Kemudian, Greenpeace Indonesia mencatat sejak 2020, sekitar 8.000 hektar hutan di Merauke masuk dalam area rencana food estate.

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menemukan penebangan hutan seluas 2 juta hektar di Merauke. Deforestasi ini berpotensi menciptakan gelombang penambahan emisi karbon sebesar 782,45 juta ton CO₂ atau setara kerugian karbon Rp47,73 triliun.

“Jelas, kami menolak kalau untuk bentuk-bentuk itu,” kata Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Nasional yang baru terpilih  September lalu.

Dia bilang, proyek hilirisasi nikel yang pemerintah promosikan justru memicu pencemaran, kerusakan pulau kecil, dan penghancuran ekosistem pesisir.

Walhi melihat tren peningkatan produksi nikel yang signifikan sejak 2020. Total produksi nikel pada tahun itu mencapai sekitar 32 juta ton.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menunjukkan jumlah tambang nikel Indonesia mencapai 520.870  hektar yang tersebar di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.

Seiring dengan itu, dampak buruk makin warga rasakan. Kawasan industri nikel PT Huabao Industrial Park (IHIP) di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, misal, pembangunannya merampas lahan masyarakat seluas 14 hektar.

Catatan Walhi Sulteng, Sungai di Desa Onepute dan Dampala, di kawasan industri nikel, terpapar kromium heksavalen dengan jejak 0,1 mg/L serta Sungai Desa Bahodopi dan Labota dengan jejak 0,075 mg/L.

Hal ini merembet pada dampak kesehatan warga yang tinggal di sekitar area itu. Dampak menghirup senyawa kromium heksavalen dapat menimbulkan ulserasi dan perforasi membran mukosa septum hidung, iritasi pada faring dan laring, bronkitis asma, bronkospasme, dan edema.

Boy bilang, di  Sulawesi Tenggara, Walhi menemukan pencemaran laut imbas industri nikel di Morosi-Motui-Batugong.

“Indonesia saat ini menghadapi krisis ekologis yang kian parah akibat arah pembangunan nasional yang berorientasi pada investasi ekstraktif,” katanya.

Laut Kabaena, yang tercemar limbah ore nikel. Gaung hilirissi nikel, menyebabkan eksploitasi nikel masif. Foto: Walhi Sultra


Regulasi destruktif

Walhi menilai, krisis ekologi di Indonesia juga makin parah karena pemerintah kerap menelurkan regulasi destruktif yang pro-investasi. Misal, Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) dan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Pasal 1 angka 35 UU Ciptaker, mengubah definisi izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Persyaratannya jadi mudah dengan persetujuan dari pemerintah pusat.

Kemudian, Pasal 23 & 24 mempersempit partisipasi elemen masyarakat dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Dalam pasal itu, penyusunan dokumen ini hanya melibatkan masyarakat terdampak langsung. Akademisi, pakar dan pendamping masyarakat tidak bisa lagi terlibat.

Pelemahan sanksi bagi pelanggar aturan lingkungan juga UU ini akomodir. Pasal 110A dan 110B, memberikan kesempatan atau pengampunan untuk perusahaan tambang, sawit, dan industri ilegal di dalam kawasan hutan.

Perusahaan-perusahaan itu cukup membayar sanksi dan membetulkan persyaratan administratif. Padahal, melakukan aktivitas ekstraktif di kawasan hutan saja sudah salah.

Belum lagi, pasal-pasal proyek strategis nasional (PSN). Pasal 173 menyatakan, pengadaan tanah bisa sebelum penetapan lokasi dengan penugasan pemerintah pusat. Pasal ini memperbolehkan badan usaha swasta untuk pengadaan tanah.

UU Minerba tak kalah parah. Dalam UU Minerba, perusahaan tambang besar bisa terus beroperasi meski terbukti merusak lingkungan, tanpa ada evaluasi serius.

Pasal 169A menyatakan, kontrak karya  dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang sudah ada dapat jaminan memperoleh perpanjangan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), masing-masing dua kali perpanjangan, dengan jangka waktu 10 tahun setiap kali perpanjangan.

Pasal 35 ayat (3) membuka peluang deforestasi masif di kawasan yang seharusnya terlindungi. Pasal itu mengatur IUP dan IUPK dapat berikan pada kawasan hutan produksi, hutan lindung setelah mendapat persetujuan penggunaan kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dan, atau wilayah penggunaan lain.

Spanduk penolakan RUU Cipta Kerja dalam aksi Gejayan Memanggil Lagi.

 

Kembali ke mandat konstitusi!

Stuasi saat ini kian parah dengan masifnya pembungkaman dan tindakan represif. Dia menilai, penyelesaian masalah ini harus kolektif, supaya perlawanan bernapas panjang.

Solidaritas warga, katanya, akan memberikan tekanan kuat pada pemerintah dan industri yang menindas. Sisi lain, dia juga mendorong pemerintah berbenah dan tidak lagi menggunakan pendekatan militeristik.

“Kami memaksa negara agar secara serius kembali pada mandat-mandat konstitusionalnya!”

Walhi, berkomitmen menunjukkan wajah seramnya bagi setiap kebijakan negara yang tidak pro rakyat dan lingkungan. Mereka akan menjadi bagian dari setiap gerakan yang menuntut keadilan.

Pada Forum PNLH XIV Walhi mendeklarasikan perlawanan terhadap sistem ekonomi kapitalistik ekstraktif dan oligarki politik yang menjadi akar kerusakan ekologis.

Pantoro Tri Kuswardono, Dewan Nasional Walhi, menyebut, perlu menerapkan narasi tandingan atas ekonomi pertumbuhan yang pemerintah gaungkan. Salah satunya dengan model ekonomi nusantara.

Torry, panggilan akrabnya, menyebut,  pembangunan ekonomi ini harus mengutamakan kepentingan bersama, tanpa mengorbankan satu hal. Tidak seperti ekonomi pertumbuhan pemerintah yang kerap mengorbankan lingkungan dan menciptakan ketidakadilan sosial.

Arah ekonomi nusantara, katanya, untuk memastikan kedaulatan pangan berbasis lokal, energi terbarukan yang berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya yang adil.

“Ini bukan tentang pertumbuhan, kekayaan, menikmati kekayaan dengan cara menindas orang lain dan merusak bumi kita sendiri.”

Aksi massa protes Perppu Cipta Kerja di DPR/MPR, akhir Februari lalu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

*****

Walhi Deklarasikan 20 September sebagai Hari Keadilan Ekologis

 

Exit mobile version