- Cumi vampir (Vampyroteuthis infernalis) adalah fosil hidup berusia lebih dari 30 juta tahun yang hidup di kedalaman 600–1.200 meter, di zona laut dengan kadar oksigen sangat rendah. Ia bertahan bukan dengan berburu, tetapi dengan metabolisme super rendah, tubuh lembut, dan kemampuan bioluminesensi untuk bertahan di kegelapan ekstrem.
- Sebarannya hampir global, meliputi Samudra Atlantik, Pasifik, dan Hindia, serta perairan Jepang, Filipina, dan Laut Tiongkok Selatan. Penelitian terbaru (2024) menemukan spesies baru, Vampyroteuthis pseudoinfernalis, yang memperluas pemahaman tentang keragaman cumi vampir dan menjadikannya indikator penting bagi studi perubahan iklim laut dalam.
- Studi terkini juga mengungkap fosil leluhur dari masa Jurassic, menunjukkan bahwa cumi vampir berevolusi dari predator aktif menjadi makhluk pasif yang sangat efisien secara energi. Dengan habitat yang sulit dijangkau dan kondisi ekstrem, cumi vampir menjadi simbol ketahanan hidup dan misteri laut dalam yang belum sepenuhnya terungkap.
Laut dalam adalah dunia yang penuh misteri, dingin, gelap, dan bertekanan tinggi, tempat sinar matahari berhenti menembus dan kehidupan berlangsung dengan cara yang nyaris asing bagi manusia. Di wilayah ekstrem ini, suhu bisa turun hingga mendekati titik beku, dan tekanan air bisa seribu kali lebih besar daripada di permukaan. Namun, meski tampak sunyi dan tak ramah, lautan bagian terdalam justru menjadi rumah bagi sejumlah makhluk paling luar biasa di Bumi, organisme yang seolah menentang batas-batas kehidupan itu sendiri.
Salah satu makhluk yang paling menarik perhatian ilmuwan adalah cumi vampir, atau Vampyroteuthis infernalis. Namanya terdengar menyeramkan (“cumi-cumi dari neraka” dalam bahasa Latin) namun wujud dan perilakunya jauh dari kesan predator buas. Tidak seperti rekan-rekannya yang lincah berburu di perairan dangkal, cumi vampir lebih memilih bertahan hidup dengan cara hemat energi, lembut, dan penuh efisiensi. Ia adalah contoh nyata bagaimana evolusi tidak selalu menghasilkan makhluk yang lebih kuat, tetapi makhluk yang paling mampu beradaptasi.
Cumi vampir hidup di kedalaman sekitar 800 hingga 1.000 meter, di zona laut yang disebut oxygen minimum zone (wilayah dengan kadar oksigen sangat rendah), yang bagi sebagian besar makhluk lain bersifat mematikan. Namun, bagi cumi vampir, tempat itu justru menjadi perlindungan alami dari predator dan gangguan luar. Tubuhnya yang lembut berwarna gelap, mata besar, dan selaput tipis di antara lengannya membentuk siluet khas seperti jubah, membantu menyamarkannya di antara kegelapan laut. Di dunia tanpa cahaya, ia tidak sekadar bertahan, tapi berkembang dengan cara yang luar biasa efisien.
Baru-baru ini, perhatian ilmuwan kembali tertuju padanya setelah muncul temuan spesies baru dari kelompok yang sama. Pada pertengahan 2024, peneliti dari South China Sea Institute of Oceanology, Chinese Academy of Sciences mengumumkan penemuan Vampyroteuthis pseudoinfernalis, kerabat cumi vampir klasik, di kedalaman sekitar 800–1.000 meter di Laut Tiongkok Selatan.
Adaptasi dan Kehidupan di Dunia Tanpa Cahaya
Cumi vampir (Vampyroteuthis infernalis) hidup di lautan tropis dan subtropis di seluruh dunia. Habitat idealnya berada di kedalaman 600–1.200 meter, di mana suhu berkisar antara 2–6°C dan kadar oksigen sangat rendah. Di lapisan laut itu, tekanan mencapai lebih dari seratus kali lipat dibanding permukaan, sementara cahaya matahari nyaris tak pernah menembus. Kondisi ekstrem ini menuntut strategi bertahan hidup yang tidak biasa.
Berbeda dari cumi-cumi aktif yang lincah di lapisan atas laut, cumi vampir justru hidup dengan ritme lambat. Metabolismenya sangat rendah, yakni hanya sebagian kecil dari hewan laut pada umumnya, sehingga ia bisa bertahan hidup dengan energi minimal. Struktur tubuhnya ringan, ototnya lembut, dan ia mampu melayang di air dengan sedikit usaha. Strategi ini menjadikannya salah satu contoh efisiensi energi terbaik di dunia hewan.
Salah satu kemampuan paling menarik adalah bioluminesensi, yaitu kemampuannya memancarkan cahaya melalui organ kecil bernama photophore yang tersebar di seluruh tubuh. Cumi vampir menggunakan cahaya ini untuk bertahan hidup: kadang untuk mengelabui predator, kadang untuk berkomunikasi, atau sekadar menyamarkan diri di kegelapan. Tidak seperti cumi-cumi lain yang menyemburkan tinta untuk melarikan diri, cumi vampir memiliki cara yang lebih halus, ia mengeluarkan awan lendir bercahaya, menciptakan tirai cahaya yang membuat musuh kehilangan jejaknya.
Secara geografis, spesies ini ditemukan di Samudra Atlantik, Pasifik, dan Hindia, termasuk perairan Jepang, Filipina, California, Meksiko, hingga Atlantik tengah. Penelitian dari Monterey Bay Aquarium Research Institute (MBARI) menunjukkan bahwa cumi vampir paling sering muncul di wilayah dengan suhu rendah dan oksigen di bawah 3%. Menariknya, studi pada 2023 mendapati bahwa pola pergeseran distribusinya berkaitan dengan perubahan iklim laut. Saat suhu laut meningkat dan kadar oksigen menurun, cumi vampir berpindah ke lapisan yang lebih dalam untuk mencari kestabilan. Karena itu, ilmuwan kini melihatnya sebagai salah satu indikator biologis alami perubahan iklim di laut dalam.
Penemuan Vampyroteuthis pseudoinfernalis pada 2024 juga memberi petunjuk bahwa kelompok ini memiliki jangkauan lebih luas dari yang diduga. Wilayah Laut Tiongkok Selatan dan Samudra Hindia barat laut kini diperkirakan menjadi habitat baru bagi kerabat dekat cumi vampir klasik. Fakta ini membuka kemungkinan adanya keanekaragaman genetik yang lebih besar pada kelompok Vampyromorphida, yang selama ini dianggap relatif homogen.
Pola Makan, Reproduksi, dan Evolusi yang Efisien
Meskipun menyandang nama “vampir,” cumi vampir sama sekali bukan pemangsa darah atau pemburu ganas. Justru sebaliknya, ia dikenal sebagai pemakan detritus laut, atau “pemulung” dari sisa-sisa kehidupan yang melayang turun dari permukaan laut. Makanannya terdiri dari partikel halus yang disebut marine snow , yakni campuran sisa plankton, bangkai mikroorganisme, dan serpihan bahan organik yang tenggelam perlahan.
Untuk mengumpulkan makanan ini, cumi vampir memiliki dua filamen panjang seperti benang sensorik yang dapat dijulurkan dari tubuhnya. Filamen ini digunakan untuk menangkap partikel yang melayang di air, lalu dibersihkan menggunakan lengan yang dilapisi lendir sebelum dimakan. Teknik ini sangat hemat energi.
Dalam hal reproduksi, cumi vampir juga berbeda dari kebanyakan cephalopoda. Betina dapat menyimpan sperma jantan dalam tubuhnya selama berbulan-bulan sebelum membuahi telur, memungkinkan mereka menunggu waktu yang paling tepat untuk bertelur. Setelah telur dilepaskan ke laut dalam, tidak ada perawatan lanjutan; anak-anak cumi vampir harus bertahan sendiri sejak awal. Meskipun tampak sederhana, strategi ini terbukti efektif di lingkungan ekstrem. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa spesies ini dapat hidup hingga delapan tahun — usia yang tergolong panjang untuk sejenis cumi-cumi.
Penelitian paleontologi terbaru memberi gambaran bagaimana cumi vampir mencapai bentuknya yang sekarang. Pada Februari 2024, tim dari University of Zurich menemukan fosil Simoniteuthis michaelyi di Luxembourg, spesies kuno berusia sekitar 180 juta tahun yang masih satu garis keturunan dengan cumi vampir modern. Fosil tersebut menunjukkan bahwa nenek moyang cumi vampir pernah hidup sebagai predator aktif, lengkap dengan sisa mangsa di lengannya. Selama jutaan tahun, garis keturunan ini berevolusi , dari pemburu cepat menjadi makhluk laut dalam yang pasif, hemat energi, dan sangat efisien.
Perubahan ini memberi pelajaran penting bagi dunia sains: evolusi tidak selalu mengarah pada kekuatan atau kecepatan, tetapi pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan paling keras di planet ini. Di tengah tekanan, kegelapan, dan kelangkaan oksigen, cumi vampir menjadi contoh luar biasa tentang bagaimana kehidupan bisa menemukan cara untuk bertahan.