- Di Desa Ilomata, Gorontalo, terdapat sebuah sungai yang diberi nama Sungai Ibilisi oleh warga setempat. Sungai ibilisi artinya sungai iblis. Warga meyakini hal-hal terlarang di sungai dan hutan sekitar.
- Berkat sungai itu, kawasan hutan sekitarnya terjaga dengan baik dan menjadi kepatuhan ekologis untuk mencegah tindakan destruktif seperti menebang pohon di sempadan sungai, menangkap ikan dengan racun, atau membuang sampah sembarangan.
- Dalam sebuah penelitian, penamaan sungai iblis adalah bagian dari konsep ekologi mistik, di mana sistem pengetahuan dan etika lingkungan yang bersumber dari nilai-nilai spiritual dan diwujudkan dalam praktik pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
- Di banyak tempat, wajah sungai di Indonesia, terutama di kawasan urban kondisinya memprihatinkan. Beberapa masalah utama adalah pencemaran limbah, baik aktivitas industri ekstraktif maupun limbah domestik.
Di Desa Ilomata, wilayah kawasan penyangga Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Gorontalo, mengalir sebuah sungai dengan nama yang terdengar menyeramkan: Sungai Ibilisi.
Dalam lidah masyarakat setempat, “ibilisi” adalah sebutan untuk “iblis.”
“Sungai ibilisi artinya sungai iblis. Warga di sini meyakini hal-hal terlarang di sungai dan hutan sekitar,” ungkap Rahman Mooduto, warga Desa Ilomata, Kecamatan Bulango Ulu, Kabupaten Bone Bolango, Minggu (28/9/2025).
Pada 2014, puluhan mahasiswa dan komunitas pencinta alam melakukan upacara 17 Agustusan di Gunung Pilomatea yang ada di Desa Ilomata. Ketika turun, seorang mahasiswa pecinta alam hilang selama 9 hari. Peristiwa ini menurut warga Ilomata berkaitan dengan wilayah sakral yang ada di hutan dan sungai iblis.
Bagi dunia moderen, narasi ini bisa saja dianggap tidak rasional. Namun bagi masyarakat Ilomata, hal ini merupakan sistem manajemen risiko dan konservasi lingkungan melalui bahasa budaya dan spiritual.
Di Nusantara, ada pola serupa ketika alam dijaga oleh sebuah sistem kepercayaan mistis. Penelitian yang dilakukan oleh Frengki Nur Fariya Pratama (2022) yang mengkaji Telaga Ngebel melalui narasi Serat Centhini, memperkenalkan konsep “Ekologi Mistik”.
Penelitian tersebut mendefinisikan ekologi mistik sebagai sistem pengetahuan dan etika lingkungan yang bersumber dari nilai-nilai spiritual dan diwujudkan dalam praktik pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Kepercayaan terhadap penunggu gaib, larangan-larangan tertentu, dan ritual-ritual adat telah menciptakan sebuah “zona sakral” yang secara de facto berfungsi sebagai kawasan konservasi.
Ekologi mistik ini menjadi semacam kekuatan kultural yang mampu mengontrol hasrat eksploitasi manusia terhadap alam.
“Kekuatan itu dianggap efektif karena bersumber dari keyakinan yang hidup dalam masyarakat, bukan sekadar aturan formal,” jelas laporan tersebut.
Dalam perspektif ekologi mistik di Desa Ilomata, sungai ibilis yang diterjemahkan sebagai tempat setan atau roh penunggu, telah menjadi mekanisme kultural untuk menanamkan rasa takut dan hormat.
Rasa takut ini merupakan bentuk kepatuhan ekologis yang mencegah tindakan destruktif seperti menebang pohon di sempadan sungai, menangkap ikan dengan racun, atau membuang sampah sembarangan.
Berdasarkan laporan baseline yang dilakukan Japesda dan Yayasan Planet Indonesia (2022), Desa Ilomata dilintasi beberapa sungai besar dan banyak anak sungai. Secara umum, masyarakat menamai tiga sungai besar, yaitu Sungai Posolo, Sungai Ibilisi, dan Sungai Talabui atau Sungai Pilomateya.
Pemanfatan sungai, baik besar maupun kecil, tidak terbatas pada air bersih dan kebutuhan harian. Masyarakat juga menggunakan air sungai sebagai pengairan kolam ikan, pertanian, ternak, bahkan sebagai objek wisata dengan dibangunnya River Camp atau kegiatan berkemah di pinggir sungai, sebagai kawasan ekowisata arung jeram dan perahu kano.
“Sungai adalah nadi kehidupan. Kami melakukan Smart Patrol, untuk memantau kondisi hutan dan keanekaragaman hayati serta kondisi sungai, agar tidak terjadi kerusakan,” ungkap Rahman Mooduto.
Berdasarkan laporan Japesda, khusus mamalia, di Desa Ilomata ditemukan 13 jenis mamalia yang 92,31% (12 jenis) merupakan sepesies endemik Sulawesi. Bahkan, terdapat 2 jenis endemik Gorontalo dan Sulawesi Utara.
Seluruh jenis mamalia tersebut berdasarkan status keterancaman secara global, masuk dalam Daftar Merah IUCN. Selanjutnya, terdapat 4 jenis yang dilindungi berdasarkan PERMEN LHK Nomor 106 Tahun 2018, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), anoa pegunungan (Bubalus quarlesi), musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroeki), dan kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis).
Mikroplastik sebagai ancaman sungai
Secara historis, sungai adalah nadi peradaban masyarakat Indonesia. Kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit, tumbuh berkat akses dan penguasaan mereka terhadap sungai. Sungai selain sebagai transportasi dan perdagangan, juga sumber air untuk pertanian, bahan pangan, dan budaya.
Namun di banyak tempat juga, wajah sungai di Indonesia, terutama di kawasan urban kondisinya memprihatinkan. Beberapa masalah utama adalah pencemaran limbah domestik dan industri.
Pada tahun 2024, berdasarkan temuan Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) yang dilakukan Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), sebanyak 37 Wilayah Sungai Lintas Provinsi (WSLP) dan Wilayah Sungai Strategis Nasional (WSSN) di seluruh Indonesia dalam keadaan darurat pencemaran sampah dan mikroplastik. Kedaruratan ini karena ditemukan sampah sebanyak 25.733 bungkus pada 64 lokasi sungai.
“Hasil uji laboratorium kontaminasi mikroplastik pada 82 lokasi sungai seluruh Indonesia menunjukkan, kontaminasi tertinggi di Sungai Brantas, Jawa Timur sebanyak 636 partikel/liter. Berikutnya, 3 sungai di Sumatera Utara sebanyak 520 partikel/liter, 7 sungai di Sumatera Barat sebanyak 508 partikel/liter, 8 sungai di Bangka Belitung sebanyak 497 partikel/liter, dan sungai di Jawa Tengah sebanyak 460 partikel/liter,” tulis Ecoton.
Menurut Ecoton, ada beberapa faktor penyebab pencemaran sungai terjadi. Yaitu, penegakan hukum terkait lingkungan hidup dan sumber daya air masih lemah, kebiasaan membuang sampah ke sungai masih berlangsung, serta minimnya kesadaran untuk mengolah limbah industri dan limbah rumah tangga sehingga dibuang ke sungai.
Ekspedisi Sungai Nusantara juga melakukan survei persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sungai di Indonesia, dengan 1.148 responden berdomisili di 166 kota dalam 30 provinsi. Hasilnya, sebanyak 92% responden menyatakan bahwa ekosistem sungai sangat penting bagi kehidupan manusia dan menunjang pembangunan Indonesia, namun 82% menyatakan Pemerintah Indonesia masih mengabaikan pengelolaan sungai di Indonesia.
Referensi:
Ecoton. (2024, Oktober 1). Release: Sungai-sungai Indonesia tenggelam dalam sampah plastik, Ecoton somasi Jokowi (Siaran pers). Ecoton.or.id. Diakses pada 28 September 2025, dari https://ecoton.or.id/release-sungai-sungai-indonesia-tenggelam-dalam-sampah-plastik-ecoton-somasi-jokowi/
Japesda & Yayasan Planet Indonesia. (2022). Laporan baseline studi ekologi, keanekaragaman hayati, dan degradasi lahan di Desa Ilomata. Gorontalo: Japesda & Yayasan Planet Indonesia.
Pratama, F. N. F. (2022). Ngebel dan isu krisis ekologis: pelestarian lingkungan melalui pendekatan ekologi-mistik dalam narasi Serat Centhini. Ansoruna: Journal of Islam and Youth Movement, 1(1), 73-88.
*****
