Mongabay.co.id

Menanti Jerat Pidana Perusak Lingkungan Pulau Kabaena

 

 

Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bentukan Presiden Prabowo Subianto menyegel lahan pertambangan nikel PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) yang beroperasi di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra), 11 September 2025.

Satgas memasang segel plang besi di areal TMS dengan tulisan, “Areal pertambangan PT Tonia Sejahtera seluas 172,82 hektar dalam penguasaan Pemerintah Republik Indonesia c.q Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), berdasarkan Peraturan Presiden No.5/ 2025 tentang Penertiban Hutan.”

Satgas PKH melarang segala aktivitas di kawasan itu  tanpa izin.

Mongabay berusaha mengkonfirmasi penyegelan ini  ke Anang Supriatna, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepala Seksi (Kasi) Penkum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra, Rahman, pada Senin (22/9/25) tetapi  tak mendapat respons.

Mengutip pemberitaan media ini di Sultra, tindakan penyegelan dipimpin Ketua Satgas PKH juga Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah.

Andi Rahman, Direktur Eksekutif Walh  Sultra mengkritik kinerja satgas yang terkesan setengah hati. Dia menilai, Satgas hanya melihat pelanggaran yang terjadi sebagai peluang menuntut ganti rugi dan mengabaikan aspek pidana lingkungan.

Sebelumnya, Walhi Sultra sudah  menyampaikan laporan ke Satgas PKH atau ke Kejagung terkait aktivitas pertambangan, termasuk TMS yang menyalahi aturan hingga menyebabkan negara merugi sekitar Rp200 triliun.

Laut Kabaena, yang tercemar limbah ore nikel. Gaung hilirissi nikel, menyebabkan eksploitasi nikel masif. Foto: Walhi Sultra

Rahman melihat,   satgas salah satunya, bertujuan mengejar kerugian negara dari industri nikel dan perkebunan, yang ibaratkan hanya “mencari cuan.”

“Satgas ini menggunakan Undang-undang Cipta Kerja, khusus Pasal 100A dan 100B, dengan target administrasi pemutihan, bukan pidana,” katanya.

Pasal 100A mengatur tentang sertifikasi standar sebagai pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar usaha untuk melakukan kegiatan usahanya.  Pasal 100B soal  sertifikat standar usaha yang  pemerintah pusat atau pemerintah daerah terbitkan, berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh pelaku usaha.

Pemerintah, kata Rahman,  seharusnya menggunakan dua aturan: selain mengejar kerugian dan sanksi administrasi, juga UU  Kehutanan dan atau UU  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  terkait tindak pidananya.

Dia khawatir upaya pemerintah yang hanya fokus menerapkan sanksi administrasi di kasus-kasus serupa akan menjadi praktik “bagi hasil terselubung” dari kegiatan ilegal. “Begitu ganti rugi dibayar, lalu dilakukan pemutihan. Ini sama artinya melegalisasi sesuatu yang sebelumnya ilegal.”

Dia contohkan skema penyelesaian di perkebunan, di mana pemutihan berarti perusahaan hanya wajib mengganti rugi, lalu mendapat izin untuk melanjutkan kegiatannya. Kalau  itu yang terjadi,  keberadaan satgas hanya untuk mencari uang ketimbang memulihkan lingkungan yang rusak dan menjerat pidana pelakunya.

“Pelaku usaha nakal akan diuntungkan karena tidak ada sanksi pidana yang mereka dapatkan, hanya bagi hasil,” katanya.

Rahman pun mempertanyakan langkah konkret Prabowo dalam mengejar 1.063 penambang ilegal.

Aktivitas TMS di Pulau Kabaena sarat dengan kritik karena meninggalkan jejak kerusakan yang berdampak luas secara ekologis dan sosial.

Riset oleh Walhi Sultra dan Satya Bumi menyebut, aktivitas TMS  mendorong hilangnya tutupan hutan seluas 285 hektar dari total 3.374 hektar hutan di pulau ini sepanjang 2012-2022.

Bukan hanya daratan yang terdampak, limbah tambang yang mengalir ke sungai dan laut memicu pencemaran berat: logam seperti nikel dan kadmium melampaui ambang batas aman.

Air laut yang keruh dan sedimen beracun kini mengancam keberlanjutan ekosistem laut, termasuk terumbu karang yang menjadi sumber penghidupan warga.

Sungai-sungai di Kabaena tercemar berast akibat aktivitas tambang nikel. Foto: Satya Bumi

Ancam Suku Bajo

Bagi masyarakat lokal,  termasuk Suku Bajo dan Moronene,  perubahan ini terasa langsung. Laut yang dulu menjadi sumber pangan utama kini makin miskin ikan, membuat nelayan kehilangan mata pencaharian.

Hasil tangkapan merosot drastis, dan banyak warga mulai mengalami masalah kesehatan seperti iritasi kulit, infeksi saluran pernapasan, hingga penyakit terkait kualitas air.

Aktivitas tambang juga menciptakan ketegangan sosial karena sebagian warga menolak operasi TMS, sementara sebagian lain bekerja di perusahaan demi bertahan hidup.

Dhany Alfalah, peneliti Satya Bumi yang menyusun dua laporan mengenai dampak penambangan nikel di Kabaena mengapresiasi langkah pemerintah  menyegel aktivitas TMS. Namun, jauh lebih penting adalah tindak lanjut dari penyegelan itu.

 “Memang plang itu tuh dipasang di sana, tapi pada praktiknya pekerja-pekerja itu sudah mulai masuk lagi.  Manajemennya pun baru. Nah, ini perlu digali lebih dalam,” katanya kepada Mongabay, (Senin 22/9/25).

Dia juga mempertanyakan langkah satgas yang hanya menyegel TMS. Padahal,  ada banyak perusahaan lain di Kabaena yang juga beroperasi di hutan lindung. Data Satya Bumi menyebut,  setidaknya 16 perusahaan tambang nikel  beroperasi di Kabaena. Penyegelan TMS dia nilai sebagai tindakan tebang pilih pemerintah.

Aktivitas pengangkutan ore bikel oleh sejumlah tongkang di pesisir Kabaena. Foto: Satya Bumi.

TMS yang beroperasi di Desa Lengora Pantai, bagian timur Kabaena, dituding berkontribusi besar terhadap rusaknya lingkungan laut. Pengelolaan limbah yang buruk menyebabkan sedimentasi di laut.

Selain itu, penambangan di lintasan bukit membuat area itu  rawan longsor. Pada  2021, penambangan TMS mengganggu pasokan air di sekitar Kabaena Timur, menyebabkan warga kesulitan mendapatkan air bersih.

Sanksi administrasi dianggap tidak cukup untuk TMS, mengingat perusahaan ini diduga menambang dan mengirimkan sekitar 4.000 tongkang nikel sejak awal operasinya, dengan potensi pengiriman 80 tongkang per bulan, masing-masing berisi hingga 10.000 ton.

Satya Bumi mendorong,  agar kerusakan lingkungan  dampak operasi TMS masuk hitungan berdasarkan kerugian ekologis dan harus pemulihan.

Bagi Satya Bumi, tidak ada alasan untuk tetap melanjutkan perizinan menambang di Kabaena yang termasuk pulau kecil.  UU  Nomor 27/ 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K), diperkuat  Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PPU-XXI/2023  melarang tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil. Karena berisiko menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible).

*****

 

Nasib Suku Bajo di Kabaena Terenggut Ambisi Kendaraan Listrik

Exit mobile version