- Ular sanca hijau adalah jenis ular piton yang sebagian besar waktunya dihabiskan di kanopi pohon dan hanya bisa ditemukan di Papua dan Australia.
- Meski demikian, sebutan “hijau” tidak selalu menghiasi seluruh tubuh jenis ular piton ini. Tubuhnya dihiasi bintik-bintik atau garis-garis putih tidak beraturan seperti kuas cat yang acak. Warna ini menambah kemampuan menyamarnya atau berkamuflase dengan mudah untuk mencari mangsanya.
- Sanca hijau adalah ahli strategi yang membagi waktunya dengan jelas. Pada malam hari, mereka berubah menjadi pemburu aktif, terutama menargetkan mamalia kecil. Sebaliknya, siang hari dihabiskan dengan berdiam diri dan berkamufase dengan sempurna di balik dedaunan untuk beristirahat.
- Keberadaan sanca hijau merupakan indikator kesehatan hutan. Dengan perilakunya itu, mereka sangat bergantung pada keberadaan kanopi hutan yang utuh untuk bertahan hidup, berburu, dan bereproduksi. Hilangnya pohon-pohon besar berarti hilangnya rumah dan sumber makanan mereka.
Di balik rimbunnya pepohonan hutan Papua, terdapat jenis ular yang dikenal ulung berkamuflase. Namanya ular sanca hijau (Morelia viridis) atau Green Tree Phytons. Berbeda dengan kerabat sanca lainnya yang hidup di lantai hutan, jenis ini dikenal sebagai arboreal atau sebagian besar hidupnya berada di atas pepohonan. Berkat warnanya, ia akan menyamar atau berkamuflase dengan mudah untuk mencari mangsanya.
Selain di Papua, sanca hijau juga bisa ditemui di semanjung utara Australia. Sesuai namanya, ciri paling mencolok adalah warnanya yang hijau. Meski demikian, sebutan “hijau” tidak selalu menghiasi seluruh tubuh. Pada dasarnya, ia memiliki spektrum hijau zamrud yang sering dihiasi bintik-bintik, atau garis-garis putih tidak beraturan seperti kuas cat yang acak. Warna ini menambah kemampuannya menyamar.
Uniknya, anakan sanca hijau tidaklah hijau. Mereka terlahir dengan warna kuning terang atau merah bata, yang kemudian berubah secara dramatis menjadi hijau setelah berusia beberapa bulan hingga setahun. Perubahan warna ini, diduga kuat merupakan adaptasi untuk berbaur dengan lingkungan berbeda, mulai dari daun-daun kering dan ranting di masa juvenil ke dedaunan hijau subur saat dewasa.
Berdasarkan penelitian berjudul “The adaptive significance of ontogenetic colour change in a tropical python”, disebutkan variasi pola dan corak sanca hijau dari merah atau kuning menjadi hijau memberikan kamuflase pada predator burung yang berorientasi visual di habitat berbeda, yang digunakan oleh individu muda dan dewasa.
“Hal ini mencerminkan perubahan perilaku pencarian makan dan kerentanan seiring pertumbuhan individu, serta memberikan contoh langka tentang nilai adaptif perubahan warna ontogenetik,” ungkap David Wilson dan kolega dalam penelitiannya.
Strategi menunggu
Sanca hijau adalah predator ambush (penyergap) sejati. Ia menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan melingkarkan tubuhnya erat pada dahan pohon, dengan kepala yang sering di tengah, siap memberikan serangan mematikan. Ular ini tidak memiliki racun dan akan memangsa dengan cara mengandalkan kecepatan luar biasa dan kekuatan lilitannya.
Begitu mangsanya, biasanya mamalia kecil seperti tikus pohon atau kelelawar, serta kadal dan burung, lewat di jangkauannya, ia akan menyambar dengan kepala, lalu segera melilit mangsanya dengan beberapa gulungan kuat dari tubuhnya yang berotot. Lilitan ini bukan untuk menghancurkan tulang, melainkan untuk menghentikan peredaran darah dan pernapasan, menyebabkan mangsa mati lemas dalam hitungan detik.
Studi yang dilakukan oleh Natusch dan Lyons (2014) mengungkapkan bahwa sanca hijau adalah ahli strategi yang membagi waktunya dengan jelas. Malam hari, mereka berubah menjadi pemburu penyergap yang aktif, terutama menargetkan mamalia kecil. Sebaliknya, siang hari dihabiskan dengan berdiam diri dan berkamufase dengan sempurna di balik dedaunan untuk beristirahat.
“Uniknya betina dewasa menunjukkan perilaku lebih fleksibel, terkadang masih memanfaatkan siang hari untuk menangkap kadal atau burung,. Ini merupakan strategi yang diduga untuk memenuhi kebutuhan energi tinggi dalam mempersiapkan reproduksi,” tulis laporan tersebut.
Lokasi penelitian Natusch dan Lyons menjangkau populasi sanca hijau dari berbagai penjuru, termasuk Kepulauan Aru, Pulau Biak, dan daratan Papua bagian selatan Indonesia, serta wilayah Papua Nugini bagian utara dan Semenanjung Cape York di Australia.
Dalam penelitian mereka dijelaskan bahwa ular sanca hijau diketahui nokturnal. Namun ketika siang hari, ia akan menghabiskan waktunya untuk istirahat dengan melingkarkan tubuhnya di dahan atau sulur pohon.
Posisi ini sekaligus bentuk kamuflase sempurna, membuatnya menyatu dengan dedaunan. Ular ini mungkin juga melakukan thermoregulasi pasif dengan menempatkan diri di lokasi yang terkena sinar matahari tidak langsung untuk menjaga suhu tubuhnya, tanpa harus aktif berpindah tempat.
Ular yang dilindungi
Keberadaan sanca hijau merupakan indikator kesehatan suatu hutan. Mereka sangat bergantung pada keberadaan kanopi hutan yang utuh untuk bertahan hidup, berburu, dan bereproduksi. Hilangnya pohon-pohon besar, berarti hilangnya rumah dan sumber makanan mereka.
Sebagai predator puncak di rantai makanan kanopi, mereka memainkan peran krusial dalam mengontrol populasi hewan pengerat dan mamalia kecil lainnya. Tanpa kehadiran pemangsa seperti sanca hijau, populasi tikus dan hewan kecil dapat meledak dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Ular sanca hijau termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106 Tahun 2018. Statusnya dalam IUCN Red List adalah Least Concern, namun populasinya di alam liar mengalami tren penurunan.
Ancaman terbesarnya adalah kehancuran habitat akibat deforestasi, alih fungsi hutan untuk perkebunan, dan pertambangan. Ancaman signifikan lainnya adalah perdagangan ilegal untuk dijadikan hewan peliharaan eksotis (exotic pet) karena keindahan warnanya. Perdagangan ini sangat merugikan populasi alam karena seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlangsungan hidup spesies tersebut di alam bebas.
Referensi:
IUCN Red List. Morelia viridis. Diakses dari https://www.iucnredlist.org (Status: Least Concern).
Natusch, D. J., & Lyons, J. A. (2014). Geographic and sexual variations in body size, morphology, and diet among five populations of Green Pythons (Morelia viridis). Journal of Herpetology, 48(3), 317-323.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Wilson, D., Heinsohn, R., & Endler, J. A. (2007). The adaptive significance of ontogenetic colour change in a tropical python. Biology Letters, 3(1), 40-43.
*****