Mongabay.co.id

Padi Lokal Sumatera Barat dan Masa Depan Pangan Indonesia

Tradisi Sakke Hudali merupakan warisan leluhur masyarakat Pantis, Tapanuli Utara, usai menanam padi yang terus dipertahankan hingga saat ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Setiap kali pengunjung melintasinya, untuk masuk ke ruang pameran seni rupa, Kulilik berteriak. Terdengar seperti suara bayi, terompet, atau lengkingan perempuan, yang menyebar ke seluruh gudang, yang dulunya tempat penyimpanan seng, di tengah Kota Padang, Sumatera Barat.

“Saya tidak tahu bunyi apa ini. Tapi terasa tidak asing. Mungkin suara teriakan bayi atau perempuan tua,” kata Dona (20), mahasiswa dari Universitas Andalas, yang ingin mengunjungi pameran seni rupa pada Pekan Nan Tumpah 2025 yang digelar Komunitas Seni Nan Tumpah di Fabriek Bloc, Kota Padang, Sumatera Barat, Kamis (29/8/2025) lalu.

Dapat dipastikan oleh Muhammad Giffary, sang pengkarya Kulilik, hampir semua pengunjung Pekan Nan Tumpah tidak memahami bunyi yang disajikannya.

“Padahal karya ini mengambil seni Pupuik Gadang, yakni teknik permainan lidah dalam memainkan nada batang padi, yang merupakan tradisi bunyi-bunyian masyarakat Minanngkabau saat musim panen padi,” jelasnya.

Tapi tradisi ini mulai hilang, sejalan hilangnya jenis padi lokal yang disebut “padi lamo”.

Padi lamo adalah padi merah yang masa tanamnya enam bulan dan tingginya hingga 1,5 meter. “Hanya batang padi lamo yang dijadikan Pupuik Gadang.”

Dijelaskan Giffany yang melakukan penelitian Pupuik Gadang di Paringanan, Pasaman, Agam, dan Solok, padi lamo menghilang bersama padi lokal lainnya, sejalan dengan program swasembada pangan yang dijalankan pemerintahan Orde Baru. Mereka meminta masyarakat menanam sejumlah jenis padi hibrida, yang dapat ditanam hingga tiga sekali setahun. Akibatnya bukan hanya kehilangan padi lokal, juga tradisi, seperti seni Pupuik Gadang.

“Padahal seni Pupuik Gadang merupakan pertanda gotong royong masyarakat dalam melakukan panen, serta pesta rasa syukur kepada Tuhan. Kini, tradisi itu hilang bersama hilangnya gotong royong masyarakat. Sawah sekarang sudah dikerjakan oleh sekelompok orang yang diberi upah atau bagi hasil oleh pemiliknya.”

Karya Kulilik, kata Giffany, semacam penanda tentang sesuatu yang hilang, yang sebelumnya memberikan berbagai pengetahuan dan kearifan dalam memberlakukan bumi.

“Saya percaya, sawah yang dipaksa untuk memproduksi padi sepanjang tahun akan mengalami kelelahan, dan akhirnya tidak mampu menyediakan pangan.”

Dikutip dari rri.co.id, selama rentang 2021-2024, Sumatera Barat kehilangan sawah sekitar delapan ribu hektar. Saat ini, tersisa 188 ribu hektar sawah. Diperkirakan, penyusutan tersebut karena alih fungsi lahan menjadi permukiman dan perkantoran.

“Di Sumatera Barat, seperti Kota Padang ini banyak persawahan yang hilang. Sawah berubah fungsi menjadi permukiman, perkantoran, dan gudang. Perkembangan kota, dan banyak masyarakat tidak mau lagi bersawah, penyebab sawah berubah fungsi,” kata Hermawan, sastrawan dan akademisi dari Universitas Rokania, Rokan Hulu, Riau.

Padi sebagai tanaman sumber pangan bagi masyarakat Indonesia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pangan hilang

Komunitas Seni Nan Tumpah mengkritisi gaya hidup manusia hari ini, yang dinilai telah mengubah pangan berkualitas menjadi pangan berbasis rasa dan citra. Dampaknya, pangan bergantung pada industri pangan dan plastik. Pangan tidak lagi menjaga alam atau lingkungan berkelanjutan. Sebaliknya, pangan turut mencemari lingkungan dan tubuh manusia. Residu plastik yang meresap ke tanah, laut, dan perut manusia.

Gaya hidup tersebut bukan hanya dikarenakan oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, juga berbagai kebijakan pembangunan yang antropogenik tapi membangun narasi kemakmuran.

Gambaran tersebut disajikan Komunitas Seni Nan Tumpah melalui pertunjukan teater berjudul “Indomiii Rasa Rendang/Sambil Menyelam Minum Plastik” pada Minggu (24/8/2025).

“Makanan adalah politik paling nyata. Apa yang kita telan, siapa yang memberi makan, dari mana asalnya, itu semua menentukan siapa kita. Makan bisa jadi cinta, bisa jadi propaganda, bisa juga jadi alat kontrol. Ironi inilah yang kami mainkan di panggung,” jelas Mahatma Muhammad, selaku sutradara pertunjukan.

Pertunjukan tersebut menampilkan sejumlah tokoh zombie. Sosok sebagai pernyataan bahwa manusia hari ini adalah zombie, sebab tidak lagi punya kuasa menentukan pangannya.

“Saat tanah digusur, laut dan  tanah penuh plastik, janji makan bergizi berubah jadi utang dan keracunan, tubuh yang makan dan minum mikroplastik, bukankah itu membuat kita berjalan tapi mati rasa?” kata Mahatma.

Tanah adalah tubuh kita yang lebih besar, alam, ibarat ibu. Tanah memberi pangan, tapi juga jadi arena perebutan. Plastik, makanan instan, itu tanda zaman kita yang cepat, manis, instan, tapi juga rapuh. Yang lambat, seperti menanam padi, justru makin tersingkir. Sebuah paradoks.

Selain persoalan politik pangan, karya ini juga menyinggung krisis ekologi. Dari plastik sekali pakai yang mengotori laut, hingga relasi manusia dengan tanah yang kian terputus.

“Pangan menjadi pintu masuk untuk membaca persoalan lebih luas; siapa yang memegang kendali atas tubuh kita, atas tanah kita, dan atas masa depan generasi berikutnya.”

Dengan menggabungkan isu pangan, tanah, zombie, dan budaya konsumsi, pertunjukan tersebut seakan mengajak publik untuk memikirkan ulang kebiasaan sehari-hari. Misalnya melalui tradisi makan siang, manusia diajak menelusuri kompleksitas ekonomi, politik, hingga ekologi.

Padi yang menguning siap digiling untuk diambil berasnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Masa depan pangan Indonesia

Hilangnya varietas padi lokal dan berkurangnya persawahan di Sumatera Barat, tentu mengancam ketahanan pangan masyarakat Minangkabau. Berbagai upaya dilakukan untuk menjamin ketersediaan pangan. Misalnya, mengembangkan varietas padi lokal unggul dan varietas padi sawah baru.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wahyu Wibawa dari BRIN, di Sumatera Barat tercatat sekitar 24 varietas padi lokal. Sebagian varietas unggul. Misalnya, Anak Daro (Solok), Kuruik Kusuik (Agam), Junjung (50 Kota), Ceredek Merah (Solok), Saganggam Panuah (Padang), Siarang (Solok), Sigudang (Pasaman), dan Bawaan (Pesisir Selatan).

Selanjutnya Bujang Marantau (Tanah Datar), Gadang Rumpun Kambayau (Sawahlunto), Harum Solok (Solok), dan Ampek Angkek (Agam), Putiah Papanai (Pariaman) dan Marapulai (Bukittinggi).

Beras merupakan komoditas unggulan masyarakat Sumatera Barat. Tujuh kabupaten dan kota yang menjadi sentra produksi padi, antara lain Tanah Datar, Solok, Agam, Pesisir Selatan, Pasaman, Lima Puluh Kota, dan Padang Pariaman. Pada tahun 2020 produksi beras di Sumatera Barat mencapai 799.122,62 ton.

Masa depan pangan Indonesia bergantung pada pengembangan dan pengelolaan varietas padi lokal unggul. Foto: Chairul Saleh/Mongabay Indonesia

 

Pengembangan varietas padi baru yang tahan hama dan memiliki produksi tinggi, juga terus dikembangkan oleh berbagai pihak di Indonesia. Tujuannya sebagai upaya menjaga ketahanan pangan nasional.

Misalnya IPB University, yang terus mengembangkan dan melepaskan varietas padi sawah baru. Dikutip dari ipb.ac.id, pada Mei 2025 diluncurkan varietas padi IPB yang ke-15. Beberapa varietas yang sudah dilepas dan banyak dimanfaatkan para petani, misalnya IPB 1R, IPB 3S, dan IPB 9G.

Varietas padi sawah baru ini hasil kerja peneliti dan dosen IPB University dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, yakni Hajrial Aswidinnoor dan Willy Bayuardi Suwarno. Mereka telah melepas empat varietas terbaru padi sawah IPB.

Hajrial menjelaskan, keempat varietas ini memiliki ketahanan yang baik terhadap hama wereng batang coklat (WBC) biotipe 1, 2, dan 3. Varietas IPB 12S dan IPB 13S bereaksi agak tahan terhadap semua ketiga biotipe hama WBC. Sementara, varietas IPB 14S dan IPB 15S bereaksi agak tahan terhadap biotipe 1 dan 2.

“Tingkat ketahanan ini merupakan karakter sangat unggul jika dibandingkan dengan padi varietas nasional yang banyak dibudidayakan petani saat ini,” tegasnya.

 

*****

 

Sungai, Perubahan, dan Pulau Sumatera

Exit mobile version