Mongabay.co.id

Suarakan Persoalan Masyarakat, Koalisi Geruduk Forum Panas Bumi

 

 

Seruan keras terdengar di halaman Jakarta Convention Centre (JCC), Rabu (17/9/25). “Forum ini adalah forum yang merencanakan pembunuhan terhadap rakyat!” pekik para pemuda yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil sembari membentangkan poster bertuliskan “Geothermal Is Killing Us.”

Koalisi ini terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Lembaga Terranusa Indonesia, Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT), dan Jaringan Advokasi Tanah Adat (JAGAD). Mereka menggelar aksi di sela pembukaan Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) kesebelas yang dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM Bahlil Lahadalia itu.

“Forum ini bukan sekadar konferensi, tapi arena yang merayakan kekerasan, perampasan ruang hidup, dan kematian akibat industri kotor geothermal,” kata Alfarhat Kasman, Divisi Kampanye Jatam di sela aksi.

Dia katakan, dengan dalih transisi energi, pemerintah gencar mengembangkan energi panas bumi, tetapi mengabaikan masalah warga. Bahkan, sejumlah warga yang hendak menyampaikan kesaksian langsung dalam forum itu alami kekerasan, kena  pukul, dorong, dan dipaksa keluar.

“Sikap ini menunjukkan negara tidak hanya menutup telinga dari suara korban, tapi  aktif menyingkirkan kebenaran yang tidak sesuai dengan narasi transisi energi,” katanya.

Ketika suara warga, negara  anggap ancaman, katanya, transisi energi itu bukan solusi, melainkan proyek kekuasaan yang menindas.

Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), telah menetapkan 356 prospek panas bumi di berbagai lokasi di Indonesia.

Per September 2025, ada 63 wilayah kerja panas bumi (WKP) yang mencakup 3,57 juta hektar, sebagian besar berada di kawasan hutan, yang menjadi ruang hidup masyarakat adat dan petani juga  kaya keanekaragaman hayati.

Demo menolak Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi. Foto: Sunspirit for Justice and Peace

Catatan hitam panas bumi

Koalisi mencontohkan berbagai bencana di proyek geothermal. Di Mandailing Natal, delapan warga tewas dan ratusan lainnya jalani perawatan akibat keracunan gas H2S dari operasi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP). Di Dieng, operasi PT Geo Dipa menewaskan dua orang dan berulang kali menyebabkan kebocoran gas beracun.

Peristiwa tragis juga terjadi di Cibitung, Pengalengan, Jawa Barat (Jabar) 2015. Longsor besar memicu ledakan pipa geothermal PLTP Wayang Windu, menewaskan enam warga, melukai belasan, dan memaksa ratusan orang mengungsi.

“Meski korban berulang, Kementerian ESDM tidak pernah menghentikan operasi perusahaan. Nyawa warga kalah penting dibanding investasi,” ujar Alfarhat.

Di Mataloko, Flores, semburan lumpur panas dari proyek PT PLN Geothermal mencemari kebun, sawah, hingga permukiman warga. Aroma belerang menyengat tiap dini hari, menimbulkan penyakit kulit dan kerusakan tanah.

Sejak 2017, Flores ditetapkan sebagai “Pulau Panas Bumi” oleh KESDM. Sejak itu, konflik merebak di berbagai desa, seperti,  Sokoria, Wae Sano, Mataloko, hingga Poco Leok. “Status ini harus dicabut,” kata Ricardo, pemuda Poco Leok. Menurutnya, panas bumi bukan solusi iklim, tapi cara baru mengorbankan rakyat dan alam.”

Ricardo menyebut,  warga di lingkar proyek geothermal menghadapi intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan bersenjata. Di Poco Leok, sedikitnya 22 warga, termasuk jurnalis mengalami kekerasan selama tiga tahun terakhir.

Dalam situasi seperti itu, negara justru memposisikan rakyat sebagai ancaman dan melindungi korporasi.

Prosesi pembukaan kegiatan di EkSPO. Foto: Christ BelseranMongabay Indonesia.

Kolonialisme baru

Koalisi menilai proyek geothermal tak ubahnya bentuk kolonialisme baru. Perampasan hutan adat, sumber air, dan situs sakral tidak hanya soal lahan, tetapi juga penghancuran sistem kehidupan masyarakat adat.

“Ketika ruang adat terampas, kedaulatan komunitas terlucuti, mereka kehilangan hak menentukan cara hidup, nilai, dan masa depan,” tegas Alfarhat.

Celakanya, praktik perampasan itu justru makin kuat berkat regulasi. UU Panas Bumi 2014 yang menghapus geothermal dari kategori pertambangan, memungkinkan eksploitasi di hutan konservasi. Peraturan Menteri LHK 2016 dan 2019 memperluas legitimasi pemanfaatan geothermal di taman nasional. Padahal, menurut Alfarhat, panas bumi sejatinya aktivitas penambangan, “Bukan jasa lingkungan.”

Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM saat pembukaan IGCE 2025 di Jakarta, menegaskan kembali ambisi pemerintah mempercepat pemanfaatan energi panas bumi sebagai energi masa depan. Apalagi, dari cadangan panas bumi yang capai 27 gigawatt (GW), baru 10% yang termanfaatkan.

Menurut dia, energi panas bumi akan menjadi kunci daya saing Indonesia dalam perdagangan global. “Energi baru terbarukan sekarang menjadi syarat global untuk produk hijau. Ini kesempatan besar bagi Indonesia,” katanya.

Masalahnya, kata Alfarhat, di berbagai wilayah pengembangan, proyek panas bumi justru memicu konflik lahan, protes masyarakat adat, hingga kerusakan ekosistem.

Warga Poco Leok di Manggarai, masyarakat adat di Buru, hingga komunitas di Sulawesi dan Maluku menghadapi tekanan serupa,. Investasi berlabel energi “hijau”ini  tak jarang berujung pada pelanggaran hak-hak dasar.

Koalisi mempertanyakan klaim “kesempatan besar” oleh Bahlil. Meski energi terbarukan memang menjadi syarat global bagi produk hijau, tetapi tanpa penyelesaian persoalan sosial dan ekologis, transisi energi justru berpotensi melanggengkan praktik ekstraktif lama berwajah baru.

Pembangkit panas bumi di Dieng. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Lelang proyek

Sejumlah agenda strategis mewarnai penyelenggaraan IIGCE 2025 antara lain, peluncuran lelang WKP dan penawaran wilayah survei pendahuluan dengan nilai investasi yang mencapai triliunan rupiah.

Acara itu mencakup telekonferensi dengan berbagai pihak di lokasi proyek panas bumi, penandatanganan pencapaian proyek baru, hingga peresmian PLTP Lumut Balai Unit 2.

Selain itu, ada juga penandatanganan nota kesepahaman dan kerja sama strategis antara pemerintah, BUMN energi, universitas, serta perusahaan swasta mulai dari pengembang panas bumi di Nusa Tenggara Timur, kolaborasi studi green hydrogen, hingga kerja sama pembangunan PLTP di beberapa wilayah Indonesia.

Pemerintah juga umumkan sederet proyek PLTP bernilai miliaran dolar. Mulai dari lelang wilayah kerja baru, telekonferensi dengan lima lokasi proyek geothermal, hingga penandatanganan komitmen investasi senilai Rp80 trilun dan peresmian PLTP Lumut Balai Unit 2.

Enia Listiana Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), menyampaikan situasi dan perkembangan terbaru pengembangan panas bumi Indonesia. Dia bilang, potensi panas bumi nasional kini mencapai 27 gigawatt (GW), dengan kapasitas terpasang meningkat dari 2,6 GW menjadi 2,71 GW.

Pemerintah menargetkan tambahan kapasitas hingga 5,2 GW dalam 10  tahun mendatang, bahkan optimistis melampaui Amerika Serikat sebagai negara dengan kapasitas panas bumi terbesar di dunia.

Dari sisi investasi, katanya, penunjukan wilayah kerja panas bumi telah menambah 350 MW listrik dengan nilai investasi dua miliar dolar AS, sekaligus menyerap 1.533 tenaga kerja.

Selain soal kapasitas dan investasi, kata Enia,  pentingnya edukasi publik mengenai pemanfaatan energi panas bumi untuk mendukung ketahanan pangan. “Uap panas bumi bisa dimanfaatkan untuk pengeringan hasil pertanian. Indonesia punya potensi besar, dan kita bisa menjadi pusat pembelajaran dunia dalam pengembangan panas bumi,” kata Enia.

Bahlil bilang, lambannya pengelolaan geothermal di Indonesia karena dua faktor utama, yakni, tingginya biaya investasi (capital expenditure) dan regulasi  berbelit. Karena itu, dia klaim sejak menjabat sudah pangkas aturan penghambat investasi.

“Semakin rumit aturannya, semakin tidak disukai investor. Maka kita sederhanakan,” katanya.

Selain regulasi, masalah infrastruktur juga jadi kendala. Banyak lokasi potensi panas bumi belum terhubung jaringan transmisi listrik. Untuk itu, pemerintah menyiapkan pembangunan jaringan 48.000 km sirkuit transmisi dalam RUPTL 2025–2035.

Dari sisi keekonomian, pemerintah menetapkan harga listrik panas bumi  US$9,5 sen perkWh untuk 10 tahun pertama, lalu turun jadi  US$7,5 sen perkWh periode berikutnya. Skema itu dia nilai  masih kompetitif.

“Kalau dikelola efisien, break-even point bisa dicapai 8–9 tahun.”

Aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil saat memprotes kehadiran proyek panas bumi di ajang IIGCE. Foto: Tangkapan layar video.

Target bauran energi

Bahlil menargetkan,  71% bauran energi dalam RUPTL 2025–2034 berasal dari energi terbarukan, termasuk panas bumi, surya, air, dan angin. Saat ini, pemerintah  merancang pembangunan 80–100 gigawatt solar panel dengan konsep “satu desa, satu megawatt.”

Bahkan, di tengah kritik terhadap negara-negara besar yang meninggalkan Paris Agreement, Bahlil menegaskan Indonesia tetap konsisten. “Kita hidup bukan hanya untuk diri kita, tapi juga untuk anak cucu kita. Indonesia tidak sebesar Amerika, tapi kita bisa tunjukkan konsistensi.”

Koalisi menilai, narasi positif Bahlil akan energi panas bumi kontras dengan kondisi di lapangan. Di Poco Leok, Manggarai, NTT, aparat menangkap dan memukuli puluhan orang saat menolak pengukuran lahan untuk proyek panas bumi PLN Ulumbu.

“Warga dituduh anti pembangunan, padahal kami hanya takut kehilangan air dan tanah kami,” kata Kristian, aktivis lingkungan di NTT.

Cerita serupa datang dari Mandailing Natal, Sumatera Utara, tempat proyek geothermal Sorik Marapi berulang kali menelan korban.

Tahun 2021, lima warga tewas akibat kebocoran gas H2S di area pengeboran. “Pemerintah bilang ini energi bersih, tapi anak saya mati karena racunnya,” cerita seorang ayah yang kehilangan putranya akibat proyek  itu.

Di luar gedung JCC, suara-suara itu berbaur dengan poster yang dibentangkan para aktivis. Bagi mereka, klaim geothermal sebagai energi bersih oleh pemerintah layak dipertanyakan. Di berbagai wilayah, petani justru mengeluh karena irigasi rusak, air tercemar, dan lahan produktif hilang akibat proyek geothermal.

Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM ( di tengah) saat hadiri pertemuan dan pameran panas bumi di Jakarta. Foto: Christ belseran/Mongabay Indonesia

*****

 

Waswas Proyek Panas Bumi Picu Bencana di Flores

Exit mobile version