Mongabay.co.id

Pendanaan Seret, Target Transisi Energi Bersih Bakal Meleset?

Insalasi panel surya atap di Vinilon Group di Mojokerto. Perlu dorong makin banyak industri beralih dari penggunaan energi ke terbarukan, salah satu lewat sdurya atap. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Transisi energi bersih di Asia Tenggara terancam oleh aksi penarikan Amerika Serikat dari skema pendanaan bagi Indonesia, Vietnam, dan FIlipina. Padahal, laporan Financial Times menyebut, Negeri Paman Sam ini menjanjikan pendanaan sebesar US$45 miliar bagi tiga negara itu.

Mundurnya donor utama ini memberi sinyal melemahnya komitmen global terhadap transisi energi. Padahal, di Indonesia, ada target penurunan emisi hingga 31,9% pada 2030. Target ini menuntut percepatan pembiayaan dan implementasi proyek energi bersih agar sejalan dengan agenda iklim global.

Sejauh ini, proyek percontohan pun tak kunjung berjalan. Laporan yang sama menyebutkan Indonesia hanya menerima 2% dari total investasi energi bersih dunia, padahal kebutuhan mencapai US$190 miliar per tahun hingga 2030.

Penyaluran dana Just Energy Transition Program (JETP) hingga kini masih berjalan lambat, membuat proyek percontohan tak kunjung terealisasi. Keraguan terhadap efektivitas skema ini pun muncul.

Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, bahkan menyebut program tersebut gagal karena belum ada satu dolar pun yang cair dari pemerintah AS.

“Ternyata hanya omong kosong belaka,” ujarnya dalam Indonesia Business Post.

Sikap itu memicu kekhawatiran mengenai strategi transisi energi Indonesia dan keselarasannya dengan tujuan iklim global. Potensi ambisi yang Indonesia sampaikan di panggung dunia lewat Nationally Determined Contributions (NDCs) dan net-zero emissions (NZE) tahun 2060 jauh dari harapan.

Kincir angin menyuplai energi untuk kebutuhan energi listrik di daerah pesisir Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando/Mongabai Indonesia

 

Laporan Prospek Transisi Energi di Indonesia mengungkap sisi lain energi di Indonesia. Tertulis di sana, Indonesia masuk sebagai salah satu dari sepuluh penghasil emisi terbesar di dunia. Tahun 2018, misalnya, emisi bersih Indonesia hampir 2 miliar ton karbon dioksida per tahun atau setara 4% emisi global.

Sektor energi secara signifikan menyumbang 650 juta ton. Artinya, mundurnya upaya transisi energi akan memiliki dampak signifikan terhadap pencapaian target iklim dunia.

Masalahnya, laporan itu  menyebut persoalan transisi energi Indonesia terletak pada kebijakan fiskal yang masih bias energi fosil. Misal, subsidi energi mencapai Rp134 triliun pada 2022 hanya menjaga harga bahan bakar dan listrik tetap rendah.

Kebijakan ini memang menahan inflasi, tetapi membuat harga listrik dari energi terbarukan sulit bersaing. Sisi lain, lebih dari 61% kapasitas listrik nasional masih berasal dari batubara, hingga Perusahaan Listrik Negara (PLN) terikat pada kontrak jangka panjang take-or-pay yang mewajibkan pembayaran meski pasokan tidak terserap penuh. Kondisi ini menciptakan “kurungan struktural” yang membuat PLN enggan membeli listrik dari sumber energi terbarukan.

“Transisi energi Indonesia bukan hanya soal mengganti batu bara dengan energi terbarukan, tetapi juga membongkar struktur insentif listrik. Tanpa reformasi tarif dan penghentian subsidi energi, investasi energi bersih akan selalu berada di posisi kalah saing,” kata Budy P. Resosudarmo, ekonom lingkungan, Australian National University, yang juga merupakan penulis laporan itu.

Masalah mendasar lain yang Budy sorot adalah struktur biaya pembangkit listrik yang tidak transparan. Regulasi tarif saat ini membuat PLN tidak leluasa menyesuaikan harga jual listrik dengan biaya produksi yang sebenarnya.

Padahal, data terakhir menunjukkan biaya pokok penyediaan listrik (LCOE) PLTU batubara rata-rata sekitar US$50–60 per MWh, sedangkan PLTS skala besar di Indonesia sudah menurun hingga US$45–55 per MWh dan diproyeksikan terus turun dalam 5–10 tahun ke depan.

Ironisnya, meski biaya energi bersih semakin kompetitif, PLN tetap terikat kontrak jangka panjang dengan PLTU, sehingga harus tetap bayar kelebihan pasokan listrik batubara walaupun tidak terserap.

Ketimpangan harga ini membuat skema transisi seperti JETP menjadi kurang menarik bagi investor. Margin keuntungan tipis membuat blended finance sulit mencapai kelayakan komersial.

Dampaknya terlihat nyata pada rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 (660 MW) yang membutuhkan kompensasi sebesar US$250–300 juta. Tanpa reformasi tarif yang mencerminkan biaya riil, biaya transisi akan terus membengkak dan peluang mempercepat peralihan ke energi terbarukan bisa terhambat.

Laporan itu  mengungkap aspek politik menjadi lapisan tantangan berikutnya. Setiap upaya menaikkan tarif listrik atau mengalihkan subsidi dipandang berisiko memicu resistensi publik, apalagi di tengah kebutuhan menjaga daya beli masyarakat.

Operator membersihkan saringan ke pipa menuju turbin PLTMH. Foto: Jaka HB?Mongabay Indonesia

 

Cari dana

Meski begitu, Indonesia ingin tetap melanjutkan proyek ambisius tersebut dengan bernegosiasi mencari donor lain, untuk menutup celah pembiayaan. Meski masih ada peluang kredit dari skema JETP.

Paul Butarbutar, Pelaksana Tugas Kepala Sekretariat JETP Indonesia, mengatakan, ada peluang pendanaan, setengah dari US$2 miliar jaminan kredit dari AS sudah final dan masih bisa dimanfaatkan. “Dampak langsung penarikan AS tidak separah yang dibayangkan,” katanya dalam Reuters.

Selain itu, pembiayaan multilateral terus mengalir. Pada September 2024, Asian Development Bank (ADB) menyetujui pinjaman US$500 juta guna memperkuat kerangka kebijakan energi bersih.

“Pinjaman ini mendukung pengembangan kebijakan kolaboratif untuk mempercepat peralihan dan pembangunan ,” ujar Jiro Tominaga, Country Director ADB untuk Indonesia (Reuters).

Meski jalur pendanaan terbuka, tantangan implementasinya tetap jadi pekerjaan rumah yang berat. Contoh, sektor panas bumi yang harapannya jadi tulang punggung energi bersih Indonesia, realitanya terhambat karena minimnya skema de-risking sehingga membuat investor ragu.

Apalagi sebagian masyarakat menolak proyek karena khawatir dampak lingkungan. Maka pendanaan saja tidak cukup tanpa tata kelola transparan dan pelibatan publik sejak awal.

Laporan Mekanisme Transisi Energi ADB menekankan, transisi energi butuh sinergi kebijakan dan kesiapan teknis serta tata kelola yang transparan. Dengan kata lain, transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber listrik,  juga membangun kepercayaan publik agar proses peralihan berjalan mulus.

Aksi Bersihkan Indonesia, pesan aksi, tinggalkan energi batubara beralih ke energi terbarukan yang melimpah di Indonesia. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

*****

Konsorsium Energi Bersih Laporkan Tiga PLTU di Sumatera ke PBB, Mengapa?

Exit mobile version