- Kepiting kenari, atau kepiting kelapa, hidup di pesisir salah satu di Gorontalo. Satwa eksotik ini banyak jadi buruan untuk konsumsi maupun jual. Kini, kepiting kenari (Birgus latro), yang masuk satwa dilindungi ini makin langka.
- Mantan pemburu kepiting kenari bercerita, masa-masa ketika mereka sehari-hari berburu untuk konsumsi maupun jual dengan harga menggiurkan. Dulu, mudah mereka temukan kepiting kelapa.
- Kepiting kenari bukan sembarang crustacea. Ia adalah jenis kelomang darat terbesar di dunia, mampu tumbuh hingga berat empat kilogram, dan bisa hidup lebih dari 40 tahun.
- Moh. Rawal Juda, mantan pemburu kepiting kenari yang kini memilih menjadi pelindung makhluk langka itu. Bersama Kompak Barrier Reef, Awal menjadi penggerak yang aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, termasuk melindungi satwa-satwa langka. Kepiting kenari yang dulu dia buru, kini dia berupaya jaga.
Angin laut berembus lembut membawa bau asin dan nostalgia di pesisir Gorontalo, sore itu. Ombak bergulung tenang, memecah di antara batu karang, mengulang lagu lama yang tak pernah benar-benar usai. Di balik deburannya, tersimpan kisah yang tak banyak orang tahu, tentang perburuan, penyesalan, dan perjalanan menuju kesadaran.
Dulu, ketika malam turun dan lampu-lampu rumah mulai padam, ada sekelompok lelaki yang justru bersiap meninggalkan rumah. Senter tergantung di kepala, karung bekas gula mereka panggul di bahu.
Mereka berjalan ke hutan-hutan pesisir, menyusuri akar kelapa, memeriksa lubang-lubang batuan karang. Tujuannya satu, kepiting kenari (Birgus latro), makhluk malam yang sulit ditangkap, tetapi sangat berharga.
Kepiting kenari bukan sembarang crustacea. Ia adalah jenis kelomang darat terbesar di dunia, mampu tumbuh hingga berat empat kilogram, dan bisa hidup lebih dari 40 tahun.
Dengan capit kuat, ia bisa memecahkan tempurung kelapa, kemampuan unik yang membuatnya mendapat julukan “pencuri kelapa.” Tubuhnya besar, keras, dan warna-warni, mulai dari biru tua hingga ungu kehitaman.
Daging gurih, langka, dan harga tinggi, membuat kepiting kenari menjadi primadona tersembunyi di pasar gelap.
Di Gorontalo, terutama di desa-desa pesisir seperti Biluhu Timur, dan Botubarani, kepiting kenari pernah menjadi buruan. Permintaan datang tak hanya dari dalam kota, juga dari luar provinsi. Pemburu lokal tahu betul nilai ekonominya. Mereka tergoda.
“Awalnya cuma ikut-ikutan,” kata Musu Bilale, tersenyum samar, mengenang masa mudanya.
Lelaki dari Desa Biluhi Timur, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo ini kini nyaris berusia 65 tahun. Semangatnya saat bercerita masih menyala, seolah masa-masa itu belum terlalu jauh.
Awal 1980-an, saat usia belum genap 20 tahun, Musu mulai ikut para lelaki dewasa ke hutan kelapa dan tebing karang di pesisir desa untuk berburu kepiting kenari.
Saat itu, belum benar-benar paham apa yang dia kejar. Dia hanya tahu daging kepiting kenari sangat mahal, dan banyak yang cari, terutama para tengkulak dari kota.
Bagi masyarakat pesisir yang hidup seadanya, hasil berburu bisa menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan.
“Tiap malam kami bawa lampu petromaks atau hanya senter kepala, parang, karung goni. Kami tahu tempat-tempat mereka bersembunyi—di lubang-lubang pohon kelapa—, di antara bebatuan, atau di sela akar pohon besar,” cerita Musu.
“Tapi itu bukan pekerjaan mudah. Kadang kami harus memanjat, atau masuk ke hutan yang dalam. Tak jarang, kami digigit.”
Lebih dari separuh hidup dia habiskan untuk berburu kepiting kenari. Musu melewati banyak malam panjang di hutan dan tebing demi menangkap kepiting kelapa ini.
Dia hafal betul bagaimana ciri-ciri sarang yang masih aktif, suara yang menandakan kepiting sedang makan kelapa, dan lain-lain.
Tak jarang, Musu menghadapi gigitan bahkan cidera saat memanjat pohon atau menyusuri batu karang yang licin. Semua risiko itu terasa sepadan dengan hasilnya.
“Dalam sehari bisa dapat lama ekor besar. Harganya waktu itu ratusan ribu per ekor. Itu sudah cukup buat belanja seminggu. Kadang malah lebih.”
Musu adalah saksi hidup betapa berburu kepiting kenari bukan pekerjaan ringan. Selain keras dan penuh risiko, dia kini sadar pekerjaan itu turut merusak alam.
“Dulu, saya tidak pernah pikir soal kelestarian. Yang saya tahu, anak istri butuh makan. Kalau ada yang beli kepiting kenari mahal, kenapa tidak dijual? Apalagi pengepul datang langsung ke kampung,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, Musu mulai menyadari ada yang berubah. Kepiting kenari makin sulit. Lokasi-lokasi yang dulu ramai, kini sepi.
“Kami seperti mengejar bayangan. Dulu, sekali berburu bisa dapat lima sampai sepuluh ekor. Lama-lama, sehari semalam cuma satu pun susah.”
Hati kecilnya mulai gelisah. Dia pun mulai mendengar kabar tentang status kepiting kenari terancam punah, dan larangan-larangan mulai berlaku.
Awalnya, dia ragu, tetapi ketika melihat sendiri dampaknya—lingkungan rusak, dan satu demi satu keanekaragaman hayati hilang, Musu mulai mengambil jarak dari kebiasaan dulu.
Beberapa tahun terakhir, Musu memutuskan berhenti total berburu. Dengan suara tenang namun tegas, Musu berbagi kisah bukan hanya tentang bahaya kepunahan kepiting kenari, juga perjalanan panjang seorang manusia yang dulu menjadi bagian dari ancaman, kini menyesali perbuatannya.
“Saya menyesal, tapi saya juga bersyukur masih sempat berubah. Semoga yang muda-muda sekarang tidak perlu lewat jalan panjang seperti saya.”
Aruji Hasan, memiliki kisah tak jauh berbeda dari Musu, dalam perburuan kepiting kenari. Selama puluhan tahun, lelaki 55 tahun dengan empat anak ini hidup di tengah gelapnya malam, dan di tengah hutan kelapa.
Seperti Musu, Aruji berburu demi menyambung hidup. Hasil tangkapan mereka jual ke pengepul lokal. Meski tak seberapa, uang cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
“Saya dan Musu pernah menangkap 10 ekor dalam tiga malam. Semua dibayar hanya Rp1 juta oleh pengepul, kami bagi dua,” kenangnya.
Mereka tidak tahu kalau kepiting kenari satwa dilindungi. “Yang kami tahu, bisa dimakan dan dijual. Kami berburu demi ekonomi.”
Kala itu, rumah Aruji menjadi tempat penampungan kepiting kenari. Kandang-kandang darurat dia buat sebagai tempat sementara sebelum satwa ini dibawa pengepul.
Bersama Musu, Aruji dikenal sebagai pemburu andal yang mampu menyuplai banyak kepiting secara rutin.
Aruji bercerita, ada sekitar lima titik habitat kepiting kenari di desanya. Setiap sore, dia bersama Musu rutin membawa ampas kelapa sebagai umpan, dengan harapan kepiting-kepiting itu keluar dari lubangnya.
Saat malam tiba, tepat pukul 8.00, mereka berdua ke lokasi-lokasi itu untuk menangkap kepiting kelapa.
“Setiap pukul 8.00 malam, hampir selalu ada kepiting kenari yang kami temukan. Bahkan, dalam satu titik bisa ada hingga tiga ekor.”
Seiring waktu, Aruji mulai melihat sisi lain dari perburuan itu. Dia mendengar sang crustacea raksasa yang bisa memanjat pohon dan hidup puluhan tahun ini masuk dalam daftar satwa rentan menurut IUCN.
Dia pun mulai bertanya-tanya, ke mana kepiting-kepiting kelapa itu berakhir. Pertanyaan itu perlahan terjawab.
Pengepul yang rutin datang memiliki jaringan luas. Kepiting-kepiting itu mereka kumpulkan dari penangkap lalu ke Kota Gorontalo sampai Manado. Sebagian bahkan dia duga ke luar negeri, ke restoran-restoran eksotis yang menjual menu itu dengan harga fantastis.
“Di luar negeri, satu ekor bisa laku jutaan rupiah. Tapi di sini, kami cuma dapat uang seadanya. Risikonya besar—bisa ditangkap, bisa celaka saat memburuh.”
Bukan hanya faktor ekonomi yang membuat dia berhenti. Aruji menyaksikan perubahan drastis alam sekitarnya.
Populasi kepiting kenari di desanya menurun sangat drastis. Sarang-sarang kosong makin sering dia temukan, dan lokasi-lokasi yang dulu “pasti ada” kini tak lagi.
“Dulu, saya pikir ini soal perut. Sekarang saya sadar, ini soal masa depan. Anak-anak saya mungkin tak akan pernah melihat kepiting kenari kalau kami terus begini,” katanya pelan.
Aruji memilih berhenti berburu. Kini, dia memilih menghabiskan waktu melaut, mencari ikan, daripada kembali menjadi bagian dari rantai perdagangan kepiting kenari.
“Lebih baik saya mencari ikan daripada kembali ke pekerjaan yang justru merusak itu,” katanya.
Dari pemburu ke penjaga
Sore itu, desiran ombak lembut membelai pantai di Desa Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Angin laut membawa aroma asin yang khas, disertai suara camar terbang melintasi langit senja yang mulai menguning.
Di bawah naungan pohon kelapa yang rindang, seorang pemuda berdiri memandang ke arah laut lepas. Mata memancarkan sorot dalam, seolah menyimpan kisah panjang yang tak terucap.
Moh. Rawal Juda, mantan pemburu kepiting kenari yang kini memilih menjadi pelindung makhluk langka itu.
Awal, sapaan akrabnya, lahir dan besar di tengah keluarga pemburu kepiting kenari.
Ayahnya, dulu, menggantungkan hidup dari kepiting terbesar di dunia ini. Sekitar 15 tahun lalu, malam hari adalah waktu berburu bagi Awal dan sang ayah.
Dengan berbekal senter kepala, tali, buah kelapa, dan sebilah parang kecil, mereka menyusuri pantai dan hutan kecil di pesisir selatan Gorontalo.
“Rasanya seperti berburu harta karun. Kalau berhasil menangkap, kami sangat bangga. Apalagi kalau kepitingnya besar, bisa sampai lima kilo[gram],” katanya kepada Mongabay.
Berbeda dengan pemburu lain seperti Aruji dan Musu yang berburu untuk jual, Awal dan ayahnya untuk makan bersama keluarga.
“Sekitar tahun 2021, sekitar pukul 11 malam, saya sempat menemukan seekor kepiting kenari berada di tengah jalan raya. Hampir saja saya menabraknya dengan bentor (kendaraan bermotor roda tiga),” katanya.
Anehnya, kata Awal, kepiting itu justru sedang berjalan menuju laut bukan ke daratan yang selama ini menjadi habitat alaminya. Dia mulai menyadari, terjadi perubahan pada lingkungan tempat hidup kepiting. Wilayah yang dulu hutan kini banyak berubah.
Terakhir kali memburu hewan ini bersama ayahnya sekitar 2018. Waktu terus berjalan dan alam tak lagi seperti dulu. Kini, kepiting kenari kian sulit.
Hutan-hutan kecil di pesisir perlahan menghilang, tergerus pembangunan permukiman dan proyek-proyek wisata yang cenderung eksploitatif, terutama di pesisir Gorontalo.
Awal mulai menyadari perubahan—bukan hanya pada lanskap alam, juga populasi kepiting kenari. Itulah titik baliknya.
Sejak itu, Awal memutuskan berhenti berburu. Dia mulai membaca, belajar dari para peneliti, dan bergabung dengan Kelompok Penggerak Konservasi (Kompak) Barrier Reef di Botutonuo.
Kini, dia memahami bahwa menjaga alam bukan berarti melupakan masa lalu. Justru dengan memahami masa lalu, dia bisa memilih masa depan lebih bijak.
Bersama Kompak Barrier Reef, Awal kini menjadi penggerak yang aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, termasuk melindungi satwa-satwa langka. Kepiting kenari yang dulu dia buru, kini dia berupaya jaga.
Kini, di bawah pohon kelapa yang sama, dia berdiri bukan lagi sebagai pemburu, melainkan sebagai penjaga. Matanya tetap menatap lubang-lubang kepiting kenari, bukan untuk mencari jejak mangsa, tetapi untuk merawat harapan.
“Pengalaman saya hanya bisa menjadi pelajaran, bukan untuk diikuti. Agar anak-anak kelak bisa melihat kepiting kenari merayap bebas di tanah kelahirannya.”
Kepiting kenari, salah satu spesies endemik Indonesia kini perlahan mendekati jurang kepunahan.
Di Indonesia, kepiting kenari tersebar terbatas di wilayah timur, terutama di pulau-pulau kecil di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Mengingat sebaran yang sempit dan populasi terus menurun, pemerintah menetapkan berbagai regulasi perlindungan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/KPTS-II/1987 menjadi salah satu langkah awal untuk melindungi spesies ini. Ia masuk Daftar Merah Spesies IUCN dengan status rentan (vulnerable/vu).
Perlindungan itu diperkuat melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Juga, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018.
Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan kebijakan yang membuka peluang pemanfaatan terbatas kepiting kenari sebagai satwa buru, dengan sistem kuota tahunan.
Padahal, berbagai riset menunjukkan, populasi kepiting kenari makin menurun. Penangkapan ilegal dan perdagangan tidak terkendali menjadi penyebab utama.
Bahkan, di beberapa negara Pasifik, hewan ini bahkan sudah hilang dari habitat alaminya. Di Gorontalo pun mulai langka.
Musu, Aruji dan Awal, kini berbicara dengan nada sama, penyesalan dan menaruh harapan. “Semoga kepiting kenari tetap ada. Itu warisan terbaik yang bisa kami tinggalkan,” kata Musu.
*****
Kepiting Kenari, Satwa Dilindungi yang Terus Diburu di Maluku Utara