Mongabay.co.id

Topeng Monyet, Atraksi yang Renggut Kesejahteraan Satwa

 

 

Seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dipaksa berjalan di atas egrang menggunakan topeng. Atraksi ini dikenal luas dengan sebutan topeng monyet.

Elisabet R.R.B. Hutabarat, Asisten Manager Konservasi Macaca Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), menjelaskan dari perspektif kesejahteraan satwa, praktik itu tidak seharusnya dilakukan.

Monyet yang memiliki peran penting di hutan, seharusnya hidup bebas di alam liar.

“Itu yang membuat efek traumatis dan menghilangkan etika kesejahteraan satwa,” ujarnya, usai memberikan kuliah umum konservasi satwa di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Atraksi topeng monyet memaksa satwa ini beraksi sebagaimana kehendak pawangnya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Video “Cerita Dibalik Kekejaman Topeng Monyet” garapan Kementerian Kehutanan dan Yayasan Jaringan Satwa Indonesia, mempertegas realitas kelam di balik aksi itu. Monyet-monyet yang akan dijadikan pemain, dirantai dengan cara seperti dipasung, tanpa celah untuk menekuk kaki, dibiarkan dalam kondisi kotor di bawah sinar matahari. Tangannya diikat, membatasi seluruh geraknya.

“Seorang pawang memberikan rasa takut sebagai senjata untuk membuat monyet patuh,” ujar narator dalam video yang dipublikasikan Juni 2025.

Gigi monyet yang terlihat ompong, sengaja dipotong agar tidak bisa menggigit saat marah atau melawan, sesuai insting alaminya. Bila dianggap tak lagi mampu bekerja, sang monyet dibiarkan terpuruk, kurus, hingga akhirnya mati dengan perut kempis dan tubuh lemah.

Praktik topeng monyet keliling, kerap menuai protes dari organisasi lingkungan karena dianggap mengeksploitasi hewan demi hiburan. Sejak Maret 2022, IUCN menetapkan Macaca fascicularis berstatus Genting (Endangered/EN), dengan prediksi penurunan populasi hingga 40% dalam 42 tahun terakhir.

Atraksi topeng monyet, ditinjau dari perspektif kesejahteraan satwa, seharusnya tidak dilakukan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Regulasi belum maksimal

Populasi yang terancam akibat perdagangan ilegal, terganggunya habitat, dan konflik yang terjadi dengan manusia merupakan persoalan utama kehidupan monyet ekor panjang di Indonesia.

Elisabet menuturkan, di Jakarta pertunjukan topeng monyet sudah dilarang dan dianggap ilegal sejak 2013. Dasar hukumnya jelas, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 302, terkait tindakan penyiksaan terhadap hewan.

Pijakan lain, Peraturan Kementan Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Ada juga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 66 Ayat 2 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Serta, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies dan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 Pasal 11 Ayat 2 tentang Ketertiban Umum juga memperkuat pelarangan tersebut.

“Walau belum maksimal penerapannya.”

Selain melanggar hukum, praktik topeng monyet juga bersumber dari perburuan monyet di alam liar. Anak-anak monyet ditangkap, dipisahkan dari induk dan kelompok sosialnya.

“Tidak semua bertahan hidup. Ada yang sangat sensitif ketika ditinggal induknya dan tidak semuanya mampu beradaptasi.”

Dua bayi monyet tanpa induknya diperdagangkan di kegiatan pasar malam. Praktik memelihara primata umumnya melibatkan perburuan liar yang melanggar hukum dan prinsip kesejahteraan satwa. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tingginya tingkat stres, trauma, dan kematian pada bayi monyet, menjadi perhatian serius Angelina Pane, pendiri Animal Friends Jogja (AFJ). Berdasarkan pengalamannya melihat langsung di lapangan, praktik pemeliharaan monyet -baik untuk topeng monyet maupun hewan peliharaan- umumnya dilakukan dengan cara-cara kejam dan melanggar etika kesejahteraan satwa.

Hampir semua anakan primata yang dijual di pasar hewan maupun secara daring, berasal dari perburuan liar, bukan dari penangkaran legal. Data Action for Primates mencatat, Indonesia mengekspor 990 monyet ekor panjang ke Amerika Serikat untuk penelitian, termasuk 879 ekor hasil tangkapan alam dan 120 ekor generasi pertama.

“Seharusnya, tidak ada satwa liar yang diperdagankan maupun dirantai,” jelasnya.

Kajian Putri dan kolega di Jurnal Biologi Indonesia (2023) tentang “Pengamatan Perilaku Grooming pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata Tlogo Putri Kaliurang dan Kaitannya dengan Isu Eksploitasi” menjelaskan bahwa praktik ekploitasi sangat berpengaruh terhadap perilaku dan kondisi psikis monyet.

Eksploitasi kerap menyiksa, apalagi banyak individu hanya dipelihara sendirian tanpa pasangan. Kondisi tersebut berdampak pada perilaku keseharian mereka, terutama perilaku grooming. Monyet yang hidup sendirian hanya bisa melakukan autogrooming (membersihkan diri sendiri), padahal secara alami mereka memerlukan allogrooming (saling membersihkan antarindividu) untuk menjangkau bagian tubuh tertentu, seperti punggung dan kepala bagian belakang, area yang justru paling banyak kotoran dan parasit.

“Akhirnya, menyiksa kesehatan monyet, baik secara fisik maupun psikis.”

Perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan merupakan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan monyet ekor panjang saat ini. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Hilangnya potensi reproduksi alami

Ilham Kurnia, Manager Program The Long-Tailed Macaque Project, menuturkan dampak pemeliharaan monyet yang tidak hanya bersifat individu, tetapi juga sistematik.

“Ketika diambil satu individu dari alam, baik jantan maupun betina, maka perannya dalam rantai reproduksi tercabut. Kita kehilangan satu bagian dari potensi regenerasi populasi.”

Dalam konteks primata seperti monyet ekor panjang yang merupakan spesies sosial, dampaknya signifikan, karena pola kawin mereka bergantung pada interaksi kelompok.

Ketika satu individu diambil dari habitatnya untuk dijadikan peliharaan, yang hilang bukan hanya individu tersebut, tetapi juga potensi keturunannya.

“Juga, mengganggu struktur sosial kelompok.”

Di sisi lain, bila sudah lama hidup dalam asuhan manusia, meski sudah direhabilitasi tetap tidak mudah untuk dilepasliarkan ke alam.

“Tingkat keberhasilannya rendah.”

Monyet dalam kerangkeng besi. Memelihara monyet ekor panjang berisiko tinggi menularkan penyakit zoonosis. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Fahma Wijayanti, pengajar Primatologi UIN Jakarta, menjelaskan seperti primata lainnya, monyet ekor panjang punya peran penting di alam. Mereka adalah penebar biji alami, karena sering memakan buah dan memancarkan melalui kotoran, serta jadi bagian pengendali serangga tertentu.

Kehadirannya juga menjaga keseimbangan populasi spesies lain melalui mekanisme kompetisi.

“Tidak selalu harus memangsa. Kadang cukup sebagai kompetitor saja. Kalau ada spesies yang populasinya terlalu tinggi bisa merusak tumbuhan atau menghabiskan serangga, maka ada pesaingnya. Itu mekanisme keseimbangan alam,” ujarnya, Rabu (10/9/2025).

Dengan peran penting itu, monyet tidak seharusnya diambil dari alam untuk dipelihara atau dijadikan atraksi hiburan. Karena, selain mengeksploitasi satwa, pertunjukan topeng monyet juga berisiko menularkan penyakit zoonosis seperti rabies dan TBC dari monyet ke manusia. Pun sebaliknya. Banyak bukti ilmiah telah menunjukkan resiko ini, salah satunya terlihat dari munculnnya pandemi COVID-19.

“Aturan yang ada perlu dimaksimalkan dan edukasi kepada berbagai kalangan harus ditingkatkan.”

Hidup monyet ekor panjang di hutan, habitat alaminya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Nunu Anugrah, Direktur Konservasi Spesies dan Genetik, Kementerian Kehutanan mengatakan, Red List Index (RLI) akan digunakan untuk memantau status keterancaman spesies secara berkala dan ilmiah.

“Ini penting sebagai alat ukur yang membantu merancang kebijakan konservasi yang tepat dan berbasis sains,” jelasnya, saat seminar “Langkah Strategis Menuju Konservasi Macaca di Indonesia” pada 18 Maret 2025 lalu.

Kedepan, investasi konservasi spesies akan lebih sistematis.

“Pemerintah dan semua pihak, akan bersama meninggikan dan menguatkan upaya-upaya konservasi yang dibutuhkan,” tegasnya.

 

Referensi:

Putri, A. K., Handayani, A., Kusumawati, I., Isti’ana, R.A., Nafazya, U.S., & Handziko, R.C. (2023). Pengamatan Perilaku Grooming pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata Tlogo Putri Kaliurang dan Kaitannya dengan Isu Eksploitasi. Jurnal Biologi Indonesia, 19 (2): 111-117 https://jurnalbiologi.perbiol.or.id/storage/journal/c212333a-9407-4411-a478-f53d8a2e1fee/journal-04092023043547.pdf

 

*****

 

Topeng Monyet Keliling: Jeritan Satwa Atas Nama Ekonomi

Exit mobile version