Mongabay.co.id

Lahan Pertanian di Banten Tercemar Dampak Karut Marut Kelola Sampah

 

 

 

  

Udara terik bercampur bau busuk sampah menusuk hidung ketika melewati lahan pertanian di Kelurahan Cilowong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Banten, siang itu.

Kemasan susu, diapers, makanan instan, sampai botol plastik minuman sekali pakai berserakan di sekitar irigasi sawah.  Air irigasi berwarna hitam, berbau busuk.

Tirah, petani  ini masih setia menanam padi dan merawat kebunnya di saat banyak petani lain memilih melepas lahan kepada pemerintah kota. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Serang berencana memperluas Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Cilowong,

Tirah bertahan.

Perempuan paruh baya itu memilih menjaga tanah warisan keluarga, meski bau busuk sampah menggangu dan mencemari udara maupun irigasi sawahnya.

“Ini tanah warisan keluarga. Kalau saya jual, ke mana lagi saya bisa bertani?” katanya lirih. Dia menunjuk petak sawah kecil yang bersebelahan langsung dengan gunungan sampah.

Sejak lahan tercemar sampah, panen padi merosot drastis. Dari modal Rp5 juta untuk sekali musim tanam, Tirah hanya bisa hasilkan satu karung beras, jauh dari cukup untuk menutup biaya dan kebutuhan hidup sehari-hari.

“Dulu, sawah ini bisa memberi makan keluarga besar. Sekarang, malah bikin rugi.”

Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Cilowong, Banten. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia

Ancaman nyata pangan

Indonesia menghasilkan sekitar 6,8 juta ton sampah plastik setiap tahun, dengan lebih 60% tak masuk ke proses daur ulang. Tak pelak, sebagian besar sampah berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) atau mencemari lingkungan, mulai dari tanah, air hingga udara.

Di Kota Banten  sekitar tempat  Tirah, ketika matahari terik, bau busuk makin menyebar hingga ke dalam rumah.

“Kalau angin kencang, baunya seperti ikut masuk ke badan. Susah tidur, susah makan,” katanya, sambil menutup hidung dengan ujung kerudungnya.

Bau dan pencemaran itu juga bikin lahan makin sulit mereka jual dengan harga layak. Banyak petani terpaksa menjual tanah dengan harga murah, baik karena tekanan ekonomi maupun karena kondisi lahan sudah tidak subur ksrena tercemar sampah TPSA Cilowong.

Sawah yang dulu produktif kini berubah jadi tumpukan sampah plastik dan organik yang setiap hari dibawa truk-truk dari kota.

Para petani yang sudah melepas tanah pun mengaku tidak punya pilihan lain selain bekerja serabutan atau pindah ke tempat lain.

Kondisi itu juga dialami Abdul Sukur, petani 63 tahun ini terpaksa menjual kebun seluas 50 meter hanya Rp5 juta. Dia bilang, UPT TPSA Cilowong hanya menghargai Rp50.000 untuk satu meter.

Sedang Abdul berharap sebidang tanah bisa Rp150.000 per meter.

Maarif, anak Abdul menceritakan, pada 2023, ayahnya terpaksa menjual tanah lantaran lahan pertanian sudah tak produktif. Sumber mata air pun sudah tercemar.

“Karena sudah tertimbun longsoran sampah, akhirnya terpaksa saya jual tanah itu. Lingkungan sekitar juga sudah tidak layak dan tidak aman,” kata pria 36 tahun ini kepada Mongabay.

Tirah mengaku sempat mendapat tawaran TPSA Cilowong untuk menjual sawah Rp25.000 per meter. Dia tolak mentah-mentah.

“Terlalu kecil, tidak sebanding dengan jerih payah dan sejarah keluarga saya di tanah ini.”

Air Irigasi pertanian warga pun jadi warga hitam dan bau busuk. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia

Pengelolaan sampah masih tersendat

Selama ini  TPSA Cilowong jadi lokasi pembuangan akhir sampah dari Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan. Sejak akhir 2023, masa kontrak kerja sama antara kedua pemerintah daerah itu berakhir.

Meski begitu, perluasan area pembuangan dalam beberapa tahun terakhir sudah menggerus lahan pertanian milik warga sekitar.

Tubagus Udrasengsana , Ketua Komisi II DPRD Kota Serang, mengaku,  tak tahu lahan pertanian warga tercemar limbah TPSA Cilowong.

“Kami juga baru mengetahui ada persawahan atau perkebunan yang terganggu TPSA Cilowong. Ini akan saya sampaikan ke Dinas Pertanian agar lebih diperhatikan terhadap nasib petani maupun pekebun di sekitar lokasi,” katanya.

DPRD akan memanggil Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Hidup untuk minta keterangan.

“Kami akan komunikasikan isu lingkungan ini agar bisa dibenahi satu per satu. DPRD terbuka bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, baik melalui audiensi maupun forum lainnya, supaya kami tahu permasalahan intinya,” katanya.

Agam, Kepala UPT TPSA Cilowong, mengatakan, pengolahan sampah di lokasi itu pakai sistem controlled landfill. Sistem ini, katanya,  dengan cara menimbun, meratakan, dan memadatkan sampah, lalu menutupi dengan lapisan tanah pada waktu tertentu.

Namun, pengelolaan masih menghadapi kendala serius. Mesin pencacah sampah (pyrolysis) yang mereka beli menggunakan dana APBD Kota Serang belum berfungsi optimal untuk mengolah timbunan sampah di Cilowong.

“Untuk pemilahan sampah, kami kekurangan petugas, dan anggaran juga terbatas,” ujar Agam.

Arief Syahrul Hakim,  Kepala Seksi Penyuluh Lingkungan Hidup DLH Kota Serang, mengatakan, secara bertahap melengkapi sarana dan prasarana TPSA Cilowong.

Beberapa infrastruktur sudah dibangun antara lain hangar, gudang bengkel, tempat penyimpanan B3, drainase, bronjong sebagai pengaman sampah, pos jaga, dan jembatan timbang.

Untuk penanganan sampah plastik, DLH menggunakan mesin IPI AWS 100 dan 150. “Sebagian sampah, seperti plastik, sudah diolah dengan mesin tersebut,” kata Arief.

Untuk mengatasi air lindi, DLH membagi aliran ke tujuh kolam dengan fungsi berbeda. Secara berkala, lindi ditangani dengan menggunakan tawas dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Mengenai lahan pertanian warga yang terdampak perluasan TPSA, katanya, dinas melakukan appraisal atau penilaian tanah untuk menentukan harga ganti rugi.

“Dalam perluasan area TPAS, kami lakukan appraisal atas hak tanah tersebut untuk menilai dan menentukan harga tanah. Prosesnya dilakukan pihak independen agar hasilnya terukur sesuai harga pasar, kondisi, dan lokasi,” katanya.

Lahan pertanian warga yang berbatasan langsung dengan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Cilowong, Banten. Foto: Anggita raissa/Mongabay Indonesia

Karut marut tata kelola sampah

Masalah yang warga Cilowong alami hanya satu potret kecil dari persoalan karut marut yang menimpa ribuan bahkan mungkin jutaan petani di sekitar tempat pembuangan sampah di Indonesia.

Kondisi ini, sebut Greenpeace Indonesia, menunjukkan kegagalan sistem pengelolaan sampah yang masih bergantung pada perluasan lahan pembuangan.

“Dampak jangka panjang pastinya menurunkan kualitas tanah dan hasil pertanian. Air lindi serta cemaran lain dari tumpukan sampah membuat lahan tidak lagi produktif untuk pertanian,”  kata Ibar Akbar, Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia kepada Mongabay.

Ibar mengatakan, solusi tidak cukup hanya dengan memperluas lahan pembuangan. Pemerintah harus mendorong pemilahan sampah dari sumber, memperbesar alokasi anggaran pengelolaan sampah, serta memperkuat regulasi pembatasan plastik sekali pakai.

Sebenarnya,  Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah menegaskan, pengelolaan sampah harus menyeluruh, berkelanjutan, dan berbasis pada prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).

Dalam aturan itu juga menyebutkan kewajiban pemerintah daerah mengurangi sampah sejak dari sumbernya, bukan hanya membuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Namun, katanya, implementasi dari regulasi itu tak sesuai kenyataan. Pada Kasus TPSA Cilowong, alih-alih mendorong sistem pemilahan dari rumah tangga, pemerintah daerah justru memilih membeli lahan warga untuk jadi area pembuangan baru.

Ibar berpendapat hal itu bertentangan dengan arah regulasi nasional maupun mandat global.

“Sistem pengelolaan sampah seharusnya berlandaskan zero waste hierarchy. Kalau hanya perluasan TPA, kita tidak pernah menyentuh akar masalah,” katanya.

Mesin pencacah sampah (Pyrolysis) yang belum beroperasi maksimal di TPSA Cilowong tampak beroperasi. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia

Komitmen Indonesia sampai global masih lemah

Persoalan sampah tak hanya berhenti pada tingkat lokal, di panggung internasional melalui perundingan Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5.2), ambisi penyetopan plastik juga lemah. Indonesia pun gagal menunjukkan sikap ambisius dalam penyusunan Global Plastic Treaty.

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), jaringan organisasi yang mengkampanyekan konsep zero waste, menilai,  Draft INC-5.2 yang Ketua INC, Luis Vayas Valdivieso, rilis 15 Agustus lalu di Jenewa, masih lemah.

Draf tidak menekankan pasal penting terkait pengendalian produksi plastik, penghapusan bahan kimia berbahaya, dan pencegahan emisi sepanjang siklus hidup plastik.

Dokumen ini juga gagal menghadirkan aturan global yang mengikat untuk membatasi produksi plastik, padahal persoalan utama justru ada di sana.

Sebaliknya, draf lebih berfokus pada solusi daur ulang dan ekonomi sirkular. Pendekatan ini dia nilai tak cukup menghentikan laju pencemaran plastik, bahkan memberi ruang bagi industri untuk terus memperluas produksi dengan dalih keberlanjutan.

Nindhita Proboretno,  Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), menilai,  perjanjian plastik global hanya akan efektif bagi Indonesia jika fokus pada pengendalian produksi di hulu, bukan sekadar menekankan solusi hilir yang mahal dan berisiko.

Menurut dia, akar persoalan terletak pada kelebihan produksi plastik dan terbatasnya kemampuan penanganan sampah di dalam negeri.

“Seharusnya, Indonesia menggunakan momentum ini untuk mendorong pasal-pasal penting menjadi lebih tegas, agar kebijakan nasional tidak lagi terjebak pada solusi semu seperti refuse derived fuel.”

Indonesia, katanya, perlu benar-benar beralih ke sistem pengelolaan sampah yang berbasis pengurangan dari sumber, pemilahan, serta dukungan bagi komunitas dan pemerintah daerah.

Posisi pemerintah Indonesia dalam negosiasi Perjanjian Plastik Global terlihat tidak berpihak pada salah satu blok negara, baik kelompok ambisius maupun negara penghasil minyak dan petrokimia (like-minded countries).

Di tingkat nasional, Indonesia menetapkan target ambisius, seperti menghentikan polusi plastik pada 2029, melarang impor plastik, serta menerapkan kebijakan tanggung jawab produsen (extended producer pesponsibility/EPR).

Namun, katanya, intervensi Indonesia dalam justru memperlihatkan kecenderungan mendukung kepentingan industri petrokimia. Terlihat dari penolakan terhadap klausul pembatasan atau pengurangan produksi plastik, dorongan perjanjian berbentuk framework convention ala Paris Agreement. Juga penolakan terhadap mekanisme voting.

Sikap ini, katanya, menunjukkan ketidaksinkronan antara ambisi nasional dengan posisi Indonesia yang tidak mendorong hadirnya perjanjian global yang kuat.

Pemerintah juga lebih menekankan solusi hilir, seperti ekonomi sirkular, daur ulang, RDF, dan insinerator, sambil mengabaikan isu mendasar di hulu, yakni pembatasan produksi plastik dan penghapusan bahan kimia berbahaya.

Sikap ini selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) dan rencana induk pembangunan industri nasional (RIPIN). Kedua poin itu menempatkan petrokimia sebagai sektor strategis.

Dengan kata lain, katanya, Indonesia berusaha tampil progresif, namun saat sama tetap mengamankan kepentingan industri domestik yang justru berpotensi menghambat solusi global yang ambisius.

Padahal, mandat United Nations Environment Assembly (UNEA) 5/14 jelas menekankan pentingnya pengaturan penuh atas siklus hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Aktivitas petugas sampah dan para pencari barang bekas yang sibuk memilah plastik di area TPSA Cilowong. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia

Tak cukup daur ulang

Torry Kuswardono, Direktur Yayasan Pikul sekaligus anggota Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), menekankan,  persoalan plastik tak bisa hanya lihat dari sisi limbah. Menurut dia, akar masalah justru terletak pada tahap produksi.

“Kalau kita cuma ngurus masalah limbah sampah, yang artinya di hilir saja, itu repot banget,” ujarnya dalam diskusi Plastik Meracuni Bumi dan Manusia.

Sejak awal,  proses produksi plastik hingga akhirnya menjadi limbah, hanya sedikit yang benar-benar dapat terkelola. Sebagian besar justru terbuang ke alam atau dibakar hingga menimbulkan polusi udara.

Masalah plastik makin pelik karena bahan baku dari energi fosil. Proyeksi penggunaan pun terus meningkat dari waktu ke waktu.

Plastik juga berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca. Emisi tidak hanya datang dari pembakaran bensin, juga dari seluruh siklus hidup plastik.

Data menunjukkan, pada 2019, seluruh siklus hidup plastik menghasilkan sekitar 1,8 miliar ton CO₂-eq, setara 3,4% dari total emisi global. Dari angka itu, sekitar 90% dari tahap produksi, yaitu, pengubahan bahan bakar fosil menjadi plastik. Sisanya, dari pembuangan.

Pada tahap ekstraksi, pengeboran minyak dan gas melepaskan metana, gas rumah kaca sangat kuat. Pada tahap penyulingan dan manufaktur, energi besar untuk mengubah minyak dan gas menjadi plastik, juga hasilkan emisi signifikan.

Pada tahap pembuangan, plastik yang berakhir di TPA melepaskan gas rumah kaca saat terurai, atau mengeluarkan lebih banyak emisi saat dibakar.

“Jadi, di semua titik penggunaan plastik mulai dari produksi sampai jadi limbah, itu semua menghasilkan emisi dan berkontribusi pada pemanasan global.”

Torry bilang, daur ulang bukanlah solusi utama. Sebab, tak semua plastik dapat proses ulang. Sejak awal, sebagian plastik memang untuk tidak pakai ulang.

Tanpa perancangan ulang bahan, plastik tetap akan berakhir sebagai limbah. Bahkan plastik yang bisa daur ulang pun kualitasnya menurun, hingga akhirnya kembali jadi sampah.

Studi lain mencatat, produksi plastik “virgin” pada tahun yang sama menyumbang 2,24 miliar ton CO₂-eq, atau 5,3% dari total emisi gas rumah kaca global.

“Daur ulang saja tidak cukup. Sebagian besar plastik baru tetap dibuat dari bahan bakar fosil virgin, dan sebagian besar plastik tidak layak secara ekonomi maupun teknis untuk didaur ulang,” katanya.

Kalau mau serius mengurangi emisi dari plastik, bukan hanya di hilir, harus berani membatasi produksi di hulunya.

“Tanpa itu, krisis plastik dan krisis iklim akan terus berjalan beriringan,” kata Torry.

 

 

*****

Pesimis Target Pengurangan Sampah Laut Bakal Tercapai

 

 

Exit mobile version