Mongabay.co.id

Kuda-kuda Naas, Seumur Hidup Terjebak di Bawah Tanah

Seekor kuda tambang menarik gerobak batubara di lorong sempit tambang New Aberdeen, Nova Scotia, Agustus 1946. Hidup dalam kegelapan dan ruang serba rendah seperti ini adalah nasib ribuan kuda poni tambang (pit ponies) pada masa itu. Foto: National Film Board of Canada/Library & Archives Canada/PS-116676.

Seekor kuda tambang menarik gerobak batubara di lorong sempit tambang New Aberdeen, Nova Scotia, Agustus 1946. Hidup dalam kegelapan dan ruang serba rendah seperti ini adalah nasib ribuan kuda poni tambang (pit ponies) pada masa itu. Foto: National Film Board of Canada/Library & Archives Canada/PS-116676.

Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil tertua yang digunakan manusia. Ia mulai terbentuk ratusan juta tahun lalu pada Zaman Karbon, ketika hutan rawa purba yang lebat terkubur lapisan sedimen dan perlahan terkompresi menjadi batu hitam padat. Proses geologis panjang inilah yang menghasilkan batubara, sumber energi yang kemudian mengubah jalannya peradaban manusia.

Sejak masa prasejarah, manusia telah mengenal dan memanfaatkan batubara. Buktinya, kapak batu dari Zaman Perunggu pernah ditemukan tertanam dalam bongkahan batubara, menandakan bahwa bahan bakar ini telah digunakan jauh sebelum teknologi modern lahir. Namun, peran batubara benar-benar melesat pada abad ke-18 dan 19, saat revolusi industri menyapu Eropa. Mesin uap, transportasi massal, dan sistem pemanas rumah semuanya bergantung pada bahan bakar ini. Batubara menjadi urat nadi modernisasi, tapi juga memunculkan sisi gelap berupa eksploitasi manusia dan hewan.

Ketika permintaan melonjak, tambang-tambang batubara di Inggris menggeliat. Ribuan pekerja, mulai dari laki-laki dewasa, perempuan, hingga anak-anak, ‘diturunkan’ ke perut bumi untuk mengeruk bongkahan batubara. Mereka bekerja di lorong sempit yang panas, berdebu, dan gelap gulita. Anak-anak, karena tubuh mereka kecil, ditempatkan di lorong-lorong paling sempit untuk menarik gerobak atau membuka-tutup pintu ventilasi. Situasi tragis ini berlangsung hingga sebuah bencana besar di tahun 1838 mengguncang kesadaran publik.

Pemicu: Tragedi Huskar Colliery 1838

Pada 4 Juli 1838, hujan badai deras melanda kawasan Barnsley, Yorkshire, Inggris Utara. Hujan itu memicu banjir besar yang menyusup ke dalam Huskar Colliery, salah satu tambang batubara yang mempekerjakan puluhan anak saat itu. Air bah dengan cepat menggenangi lorong-lorong sempit. Panik melanda. Sebagian pekerja dewasa berhasil menyelamatkan diri, namun para pekerja cilik yang terjebak jauh di dalam lorong tidak sempat melarikan diri.

Ketika banjir telah susut, dan upaya penyelematan dilakukan, diketahui bahwa 26 anak berusia antara 7 hingga 17 tahun telah tewas. Mereka ditemukan dalam posisi berkelompok, sebagian masih saling berpegangan tangan, seakan mencoba saling menguatkan hingga detik-detik terakhir. Gambaran memilukan ini memicu gelombang kemarahan publik. Surat kabar menulis kisah tragis mereka dengan detail yang menyayat hati. Gereja-gereja mengangkatnya dalam khotbah sebagai simbol kebrutalan industri.

Monumen peringatan Tragedi Huskar Colliery 1838 di Barnsley, Yorkshire, Inggris. Sebanyak 26 anak berusia 7–17 tahun tewas tenggelam ketika banjir merendam lorong tambang pada 4 Juli 1838. Peristiwa ini mengguncang publik Inggris dan memicu lahirnya Mines and Collieries Act 1842, undang-undang yang melarang anak-anak bekerja di bawah tanah. Foto: Wendy North/CC BY-SA 2.0

Tekanan masyarakat akhirnya berbuah menjadi perubahan hukum. Parlemen Inggris merespons dengan menerbitkan Mines and Collieries Act 1842, yang melarang perempuan dan anak-anak di bawah usia 10 tahun bekerja di bawah tanah. Undang-undang ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perlindungan pekerja. Namun, larangan itu bukan berarti akhir dari penderitaan di tambang. Celah tenaga kerja yang ditinggalkan anak-anak segera diisi oleh makhluk lain: kuda dan kuda poni. Mereka menjadi “buruh baru” yang tak bisa bersuara dan protes, namun dipaksa bekerja seumur hidup di kedalaman bumi.

Baca juga: Mengenal Empat Spesies Kuda yang Telah Punah

Seumur Hidup dalam Kegelapan Lubang Tambang

Sejak pertengahan abad ke-18, ribuan kuda diturunkan ke tambang. Dalam literatur berbahasa Inggris, kuda tambang ini dikenal dengan sebutan pit ponies, merujuk pada kuda dan kuda poni berukuran kecil yang diturunkan ke lorong-lorong tambang batubara sejak abad ke-18. Tubuh kecil kuda poni membuat mereka cocok melewati lorong-lorong sempit yang tidak bisa diakses gerobak besar. Pada 1913, tercatat ada sekitar 70.000 kuda tambang di Inggris. Sebagian besar dari mereka tidak pernah lagi merasakan sinar matahari setelah diturunkan.

Riset mencatat bahwa pit ponies rata-rata hanya hidup 3–4 tahun di tambang, padahal di permukaan umur kuda bisa mencapai 20 tahun. Penyebab utamanya adalah paparan debu batubara yang menyebabkan penyakit paru-paru kronis, ditambah jam kerja ekstrem. Dalam satu shift, seekor kuda bisa mengangkut hingga 30 ton batubara selama 8–12 jam. Hidup mereka seakan dikorbankan total demi produktivitas industri.

Seekor kuda tambang (pit pony) sedang menarik gerobak batubara di sebuah tambang di Jerman, tahun 1894. Foto bersejarah ini diabadikan oleh Heinrich Börner (1864–1943), memperlihatkan betapa beratnya peran hewan pekerja dalam industri batubara pada masa itu. Sumber: Wikimedia Commons/Heinrich Börner/Public Domain

Kesaksian para pekerja tambang mempertegas kondisi mengerikan itu. Kepala kuda sering terluka akibat terbentur langit-langit rendah, kulitnya terkelupas hingga tulang terlihat. Luka-luka itu kemudian membusuk di udara lembap tambang. Perawatan pun seadanya—kadang hanya disiram minyak tanah untuk “menyedot” nanah. Jika cedera parah atau patah tulang, jalan keluarnya hanya satu: ditembak mati.

Banyak kuda yang benar-benar seumur hidupnya berada di dalam tambang—diturunkan saat muda dan mati di sana. Mereka hidup dalam kegelapan abadi, tak pernah merasakan lagi hangatnya sinar matahari atau segarnya udara terbuka.

Makin banyak kisah penderitaan kuda tambang yang muncul ke permukaan, makin besar pula tekanan publik. Pada 1870-an, Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA) mulai berkampanye agar pemerintah memperhatikan nasib pit ponies. Akhirnya, pada 1887 lahir Coal Mines Regulation Act 1887, yang mewajibkan inspektur khusus memantau kondisi hewan tambang.

Namun, regulasi tak serta merta menghapus penderitaan. Laporan resmi mencatat bahwa pada tahun 1924 saja, 47 dari setiap 1.000 kuda tambang tewas akibat kecelakaan, dan puluhan lainnya mati karena penyakit atau usia tua—angka yang meskipun menurun sedikit pada tahun-tahun berikutnya, tetap menunjukkan realita kelam eksploitasi hewan Bukti bahwa eksploitasi mereka berlangsung lama dan sistematis. Baru pada pertengahan abad ke-20 mekanisasi tambang benar-benar menggantikan peran kuda. Mesin konveyor, lokomotif bawah tanah, dan pengangkut otomatis mulai mengambil alih. Kuda tambang terakhir di Inggris pensiun pada 1999 dari tambang Panty Gasseg, Wales. Dengan itu, berakhirlah babak kelam eksploitasi hewan di jantung revolusi industri.

Masa Modern: Keledai Tambang di Pakistan

Meski pit ponies kini hanya tersisa dalam buku sejarah, kisah serupa masih nyata di belahan dunia lain. Hingga hari ini, ribuan keledai tambang di distrik Chakwal, Pakistan, masih dipaksa bekerja keras di tambang batubara Salt Range.

Organisasi The Brooke Hospital for Animals, mencatat ada sekitar 8.500 keledai yang digunakan di lebih dari 500 tambang. Mereka bekerja 10–11 jam sehari, melakukan 10–12 perjalanan keluar masuk lubang sempit berukuran hanya 5×5 kaki, memanggul hingga 1 ton batubara per hari. Umur kerja mereka rata-rata hanya dua tahun sebelum mati atau tidak mampu lagi bekerja.

Keledai tambang berjalan di lorong sempit dan gelap di kawasan Salt Range, distrik Chakwal, Pakistan. Ribuan keledai di wilayah ini masih dipaksa bekerja keras memanggul batubara setiap hari, mengulang kisah kelam pit ponies di Eropa satu abad silam. Foto: ©Freya Dowson/The Brooke.

Musim panas menjadi momok utama: di setiap lokasi tambang, 4–7 keledai mati akibat heat stress. Musim dingin pun tak kalah kejam: 5–10 ekor tewas karena perubahan suhu ekstrem. Sebagian besar menderita penyakit kulit, gangguan paru-paru, hingga kebutaan akibat debu batubara.

Situasi ini menjadikan keledai tambang Pakistan sebagai cermin hidup dari masa lalu Inggris. Bedanya, kisah kuda tambang di Inggris telah berakhir sejak 1999, sementara penderitaan keledai Pakistan masih berlangsung hingga kini. Kisah ini mengingatkan kita bahwa harga energi batubara tidak hanya diukur dengan emisi karbon dan kerusakan lingkungan, tetapi juga dengan penderitaan makhluk hidup yang dipaksa bekerja di kegelapan demi kebutuhan industri manusia.

Exit mobile version