Mongabay.co.id

Kisah Adolof Wonemseba, Seorang Diri selama 17 Tahun Melestarikan Kima Raksasa di Wondama

 

Adolof Olof Wonemseba (44), warga Kampung Mena di Distrik Roon, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat bukanlah nelayan biasa. Di tengah rutinitas mencari ikan dan memanfaatkan sedikit hasil kebun untuk menghidupi keluarganya, bapak tujuh anak ini memilih jalan yang berbeda.

Selama 17 tahun terakhir, dia berjuang secara swadaya melestarikan kima (bahasa lokal bia)—biota laut langka yang semakin sulit dijumpai. Semuanya dia lakukan tanpa dukungan biaya dari pihak manapun, dengan penuh kesabaran dan komitmen

Di wilayah perairan Rouwno di Pulau Roon, ia membangun “kebun kima”, istilah yang dia gunakan untuk area perlindungan laut, sebuah praktik konservasi mandiri yang disebut yadup dalam bahasa setempat.

Kima, atau yang dikenal sebagai giant clam, merupakan salah satu biota laut yang dilindungi yang populasinya kian terancam akibat penangkapan berlebihan dan kerusakan habitat. Hewan bercangkang besar ini bukan hanya memiliki nilai ekologis yang penting sebagai penyaring alami yang menjaga kejernihan air laut, tetapi juga menjadi indikator kesehatan ekosistem karang.

Itulah sebabnya, kima termasuk dalam daftar spesies yang dilindungi oleh hukum nasional maupun konvensi internasional. Sebagai contoh, Jenis kima raksasa (Tridacna gigas) dimasukkan dalam daftar terancam punah (endangered) oleh organisasi konservasi internasional IUCN.

Kerja keras dan ketekunan Adolof akhirnya berbuah pengakuan. Pada tahun 2024, ia menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah dalam kategori Perintis Lingkungan. Bagi Adolof, penghargaan itu bukan semata pengakuan pribadi, tetapi simbol bahwa perjuangannya demi kima, demi laut, dan demi generasi mendatang mulai mendapat perhatian yang layak.

Mongabay Indonesia berkesempatan menemui Adolof di lokasi kebun kimanya di Rouwno, sebuah kampung pemekaran di Distrik Roon, Teluk Wondama, Papua Barat (20/08/2025). Berikut cuplikan wawancara yang tata bahasanya telah disesuaikan untuk kepentingan penyuntingan tulisan.

Adolof Olof Wonemseba (44), warga Kampung Mena di Distrik Roon, Teluk Wondama yang melestarikan kima di perairan Rouwno. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Mongabay: Apa yang membuat Anda tertarik dan memilih kima, mengapa bukan biota laut yang lainnya?

Adolof Wonemseba: Mengapa saya pilih kima? Karena kima atau bia itu biota laut yang proses perekembangbiakannya lambat. Jika ia sampai punah atau habis, tidak ada lagi kima di laut.

Padahal saya perhatikan, kima itu membuat air laut menjadi jernih. Ia seperti penyaring alam. Kima itu berfungsi menyerap limbah sehingga laut jadi bersih. Setelah ada kima, ikan-ikan lalu datang, makin lama makin banyak; karang juga tumbuh di tempat yang ada kimanya.

Mongabay: Bisa ceritakan bagaimana awal cerita Anda sampai mengembangkan ‘kebun kima’ di pesisir Kampung Rouwno?

Adolof Wonemseba: Saya ini orang asli [Pulau Roon], sebagai nelayan saya hidup dari hasil laut. Dalam prosesnya, saya lihat semakin lama biota laut ini makin berkurang. Orang-orang banyak yang ambil untuk dimakan. Akhirnya saya berinisiatif untuk datangkan beberapa kima dari Pulau Auri, untuk saya lestarikan di Rouwno.

Itu pertamakali saya lakukan di tahun 2008. Untuk lokasinya saya buat petak di laut yang luasnya 10 x 20 m2. Semakin lama makin berkembang. Setahun belakangan perkiraan saya sudah sekitar 100 x 100 m2.

Untuk kimanya sendiri, ada tujuh jenis kima di sini, yaitu kima raksasa (bahasa lokal: syan), kima raja (irem), bia tangga (senisef), bia kikis (rarwam), bia pasir (makpafen), bia batu (uni), dan bia batu (ubaken). Bia raja dan bia raksasa yang saya bawa itu, dulu ukuran [diameternya] 15-20 cm, sekarang sudah ada yang berkembang sampai ukuran sekitar 70-80 cm.

Hamparan lokasi ‘kebun kima’ yang dibangun Adolof Olof Wonemseba. Terdapat ratusan kima dari berbagai jenis yang sekarang ada di lokasi ini. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Mongabay: Berapa banyak kima yang Anda bawa waktu itu?

Adolof Wonemseba: Yang dulu saya bawa dari jenis bia raksasa itu ada dua belas [individu]. Kalau bia raja itu delapan. Sekarang sudah berkembang lumayan banyak. Kalau bia raksasa sekarang sudah lebih dari dua puluh.

Kalau yang jenis-jenis lain seperti bia tangga, bia kikis, bia pasir itu berkembang lebih cepat daripada bia raja dan bia raksasa. Sudah tidak bisa lagi dihitung, karena mereka itu masuk dalam celah-celath batu karang.

Mongabay: Tentu apa yang Anda kerjakan itu jadi perhatian. Apa tanggapan orang-orang saat Anda lakukan aktivitas ini?

Adolof Wonemseba: Apa yang saya lakukan di perairan Kampung Rouwno dengan pelestarian ini tentu banyak didengar orang. Ada juga yang tanya kenapa saya punya kegiatan buat kebun kima ini.

Saya bilang ke mereka, kita perlu lestarikan kima ini. Karena ke depan ini kalau biota laut laut ini habis, anak cucu tidak punya dan tidak bisa lihat lagi. Jadi saya kerja ini bukan untuk saya saja, tapi untuk kepentingan semua yang ada di Pulau Roon ini, untuk Kabupaten Teluk Wondama, bahkan mungkin untuk Provinsi Papua Barat.

Mongabay¿ Apakah jenis bia yang ada di kebun kima itu tetap dilestarikan atau juga dimakan?

Adolof Wonemseba:  Saya sampaikan ke masyarakat bahwa kima ini tidak boleh di-molo [di tangkap] tidak boleh diambil kimanya, karena saya datangkan dari Pulau Auri. Jadi kima-kima ini tidak dimakan, saya diamkan saja [untuk berkembang biak]. Sekarang warga juga sudah tahu, tidak ada yang makan kima lagi.

Adolof menunjukkan berbagai bia yang ada di lokasi kebun kimanya. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

Mongabay: Bisa diceritakan saat-saat Anda dapat Kalpataru, bagaimana prosesnya?

Adolof Wonemseba: Setelah ada kebun kima dan sejalannya waktu, saya lapor ke Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata, dan juga kepada Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC), waktu itu kepada bapak-bapak itu saya sampaikan kalau saya punya kegiatan kembangkan kebun kima.

Saya bilang ‘kalau bapak mau lihat barang itu, silakan dicek’. Itu saja. Jadi saya tidak pikir lebih jauh apa informasi saya itu akan ditanggapi atau tidak oleh pihak pemerintah.

Suatu ketika lalu ada tamu datang dari TN mau ketemu saya. Mereka bilang mau cek lokasi lapangan, mau lihat kebun kima saya untuk diikutkan lomba. Mereka bilang, dari 10 lokasi di kampung-kampung yang mereka nilai, saya ada di urutan satu. Setelah itu saya tidak dengar kabar lagi.

Baru lanjutannya, ada info bahwa saya akan berangkat ke Jakarta. Saya awalnya tidak percaya. Saya lalu berangkat didampingi pihak Balai TN, dan dapat penghargaan Kalpataru tanggal 5 Juni 2024 sebagai Perintis Lingkungan.

Pulang dari Jakarta, di Manokwari saya lalu diterima oleh Bapak Penjabat Gubernur Papua Barat waktu itu, Bapak Ali Baham Temongmere, setelahnya saya baru pulang ke kampung saya.

Mongabay: Apa perasaan Anda saat itu? Apa ada pesan-pesan yang Anda sampaikan kepada Pemerintah?

Adolof Wonemseba:  Iya saya senang, karena kegiatan saya itu tidak ada yang membiayai, semua murni swadaya saya sendiri, bukan pula karena dibantu oleh Pemerintah Daerah atau lembaga.

Waktu bertemu dengan Meneri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, saya minta supaya kegiatan-kegiatan ini dapat terus dikembangkan. Saya bilang, ini bisa dikembangkan sebagai ekowisata, turis bisa datang lihat, masyarakat bisa terbantu ekonominya.

Saat ketemu dengan Penjabat Gubernur di Manowari waktu itu saya katakan hal yang sama. Bapak Gubernur juga bilang waktu itu. “Pak Adolof kita perlu bekerja bersama-sama supaya ke depan kita punya potensi ekowisata di Kabupaten Teluk Wondama dapat berkembang.”

Adolof Olof Wonemseba menunjukkan Piagam Kalpataru yang dia peroleh di tahun 2024. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

Mongabay: Apa mimpi Anda dengan kebun kima ini ke depan?

Adolof Wonemseba:  Banyak orang cerita kalau di luar itu bagus, –di sana bagus, di sini bagus. Padahal kita punya potensi yang ada disini itu tidak kalah bagus daripada di tempat lain.

Kalau untuk potensi ekowisata lautnya, maka Kabupaten Teluk Wondama ini, saya rasa tidak kalah dengan Kabupaten Raja Ampat, bahkan mungkin lebih bagus. Ada Pulau Auri, Pulau Roon, belum lagi pesisir dan kawasan-kawasan lautnya yang masih terjaga dan jernih. Karang-karangnya masih oke, potensi daratnya juga kaya.

Saya pikir budidaya kima ini bisa juga jadi tujuan ekowisata. Ini bisa datangkan turis, banyak orang yang bakal datang. Kima ini bisa jadi ciri khas dari Pulau Roon, bahkan Kabupaten Teluk Wondama.

Mongabay: Bisa diceritakan yang Anda kerjakan saat ini?

Adolof Wonemseba:  Setelah saya menerima Kalpataru tahun lalu, sudah mulai ada turis-turis lokal yang datang ke sini, mereka minta diantar ke kebun kima. Kalau turis asing memang belum. Juga ada mahasiswa dari Manokwari yang melakukan kegiatan di sini, ada yang turun penelitian juga.

Lalu untuk bulan ini [September 2025] saya mulai kembangkan budidaya kebun kima juga di perairan lain Kampung Yende dan Kampung Mena, Distrik Roon. Lalu nanti berikutnya, rencana lanjut tanam kima di Pulau Rariei dan Pulau Mupur.

Tujuan penanaman ini apa? Karena saya lihat sekarang banyak warga yang belum tahu kima itu seperti apa. Jadi nanti mereka bisa lihat “Oo, seperti ini budidaya kima itu,” ini agar makin banyak warga yang paham pentingnya pelestarian kima.

Mongabay: Ada yang ingin Anda sampaikan kepada para pihak?

Secara khusus, kepada Pemda, –saya pernah bicara, untuk dapat dibantu. Saya sekarang ini tidak punya kendaraan [perahu motor], kalau punya akan lebih memudahkan saya. Saya biasa cari kima, bawa, taruh dan pulang pakai perahu pinjaman. Kalau ada uang lebih, saya sewa orang punya perahu.

Untuk warga yang mau mengikuti, pesan saya janganlah kita mulai bergerak kalau ada dana atau bantuan saja. Meski yang kita lakukan itu kecil, tetap jangan kita mundur. Tetap saja jalan dan tekuni.

Karena apa yang saya lakukan ini bukan untuk pribadi saya seorang, tapi untuk kepentingan banyak orang. Maka demi kepentingan banyak orang, saya harus siap dan berani untuk jalan.

*****

 

Dari Yadup & Kadup ke Perkam: Saat Warga Pulau Roon buat Peraturan Pengelolaan Sumber Daya Alam

 

 

Exit mobile version