Mongabay.co.id

Ketika Hutan Rusak, Ajak Orang Kota Peduli Orangutan

 

 

 

Spanduk raksasa membentang dari jembatan penyeberangan orang (JPO) Phinisi, Karet, Jakarta Pusat, 24 Agustus lalu. Warga yang ramaikan car free day (CFD) saat itu, seketika terperangah menatap foto orangutan dan seruan “Save, Love, Protect” yang tercetak di atasnya.

Para pengguna jalan makin antusias ketika hadir dua boneka orangutan dengan ukuran  lebih tinggi dari tubuh orang dewasa. Banyak yang menyempatkan foto dengan sosok raksasa itu dan jadikan spanduk kampanye penyelamatan orangutan sebagai latar dokumentasi.

Ada juga ratusan pesepeda yang kenakan seragam, bentangkan spanduk, dan poster. Mereka melintasi area CFD untuk peringati Hari Orangutan Sedunia. Kegiatan bertajuk Bike for You 2025 ini inisiasi Satya Bumi yang berkolaborasi dengan komunitas sepeda Chemonk dan Kamerawan Jurnalis Indonesia (KJI).

Agustinus Gusti Nugroho atau Nugie, penyanyi dan pegiat lingkungan, terlihat di antara ratusan pesepeda. Dia putuskan ikut Bike for You 2025, karena dorongan untuk ikut melindungi orangutan dan habitatnya.

Orangutan itu, dari saya blusukan tahun 1990-an, ternyata ancamannya masih antara perkebunan, pertambangan dan perburuan,” katanya.

Baginya, kampanye penyelamatan orangutan penting jadi pengingat bahwa manusia tidak bisa hidup di atas ekosistem yang hancur, dan sangat bergantung dengan jasa-jasa lingkungan yang hutan hasilkan.

Primata ini dan habitatnya punya fungsi penting, seperti menyediakan air, pangan, hasilkan oksigen, hingga menyerap karbon. Jadi, upaya menyelamatkan orangutan juga menyelamatkan hutan tropis di Indonesia sama dengan menyelamatkan kehidupan itu sendiri.

“Kalau kita mau selamatkan dunia, cukup selamatkan hutan. Saya ingin, kita menyatukan suara untuk jaga hutan, jaga orangutan.”

Penyanyi yang rilis album trilogi Bumi (1995), Air (1996) dan Udara (1998), ini menyatakan, seturut kesadaran itu, warga kota seharusnya jadikan keberlanjutan orangutan dan habitatnya sebagai kebutuhan primer.

Jika masyarakat menganggap keberlanjutan lingkungan sama pentingnya dengan kebutuhan makan, rumah, pakaian dan energi, katanya, maka peluang mengubah cara pikir pembuat kebijakan akan makin besar.

“Lakukanlah itu secara pribadi masing-masing, dengan profesi apapun. Itu akan representasikan orangutan, badak, gajah, burung enggang, terumbu karang,” kata Nugie.

“Kalau itu jadi kesepakatan komunal yang kuat, bahwa menjaga alam Indonesia sebagai kebutuhan primer, mau tidak mau, itu akan jadi sebuah kebijakan.”

Musikus Nugie menyanyikan lagu dalam peringatan Hari Orangutan 2025. Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia


Deforestasi habitat, perlu partisipasi warga kota

Persatuan internasional untuk konservasi alam (IUCN) menyebut, tiga spesies orangutan yakni orangutan sumatera, orangutan tapanuli dan orangutan kalimantan, semua berstatus sangat terancam punah.

Di Indonesia, ketiga spesies itu telah berstatus satwa dilindungi, dengan penetapan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106/2018. Meski begitu, ancaman terhadap mereka masih terus berlangsung sampai sekarang.

Catatan Satya Bumi, sekitar 19.014 hektar habitat orangutan terdeforestasi setiap tahunnya. Angka itu hampir setara dengan 1,5 kali luas Jakarta Selatan. Degradasi habitat itu karena berbagai aktivitas pembangunan seperti tambang, perkebunan industri, hingga permukiman.

Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi, bilang, warga kota harus tahu aktivitas konsumsi mereka sangat berdampak pada keberlangsungan hidup spesies payung tersebut.

“Orang-orang harus tahu kaitan antara deforestasi dengan hilangnya habitat orangutan. Kami suarakan itu di car free day, supaya masyarakat melihat, menyadari, dan bisa ambil tindakan.”

Dia menilai, warga kota bisa berpartisipasi dengan mengatur pola konsumsi harian. Misal, kurangi kebutuhan yang mengandung minyak sawit maupun komoditas hasil deforestasi. Serta, mendesak pemerintah untuk bikin kebijakan yang lindungi habitat primata besar ini.

“Kita sebagai orang yang tinggal di kota, urban, bisa lakukan itu (lindungi orangutan) dengan kepedulian kita. Kita bisa mendesak negara atau siapapun yang punya kewenangan di daerah untuk lindungi orangutan,” katanya.

Borlan, anggota komunitas sepeda Federal bilang, sebagai warga kota yang jauh dari habitat orangutan, dia ingin terlibat selamatkan primata terancam punah itu. Tindakan paling minimal, katanya, membagikan informasi kepada masyarakat terkait ancaman yang hewan ini hadapi.

“Saya sebagai pekerja di kota tidak bisa berbuat banyak, yang bisa saya perbuat ya ikut kampanye dengan teman-teman, sebagai salah satu bentuk kepedulian.”

Dia berharap, langkah kecil itu, bisa mengajak lebih banyak orang peduli, lalu bergerak lindungi orangutan. Juga, mendorong pemerintah hasilkan kebijakan-kebijakan yang lebih kuat.

“Harapan dari kegiatan ini, save, love and protect orangutan. Tetap menjaga, mencintai dan menjaga kelangsungan hidupnya,” tambah Borlan. “Mudah-mudahan kampanye ini bisa didengar pemerintah dan kementerian.”

Satya Bumi berkolaborasi dengan komunitas sepeda Chemonk dan Kamerawan Jurnalis Indonesia (KJI) menyelenggarakan kegiatan Bike for You 2025. Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia.


Kerabat dekat manusia

Indira Nurul Qomariah, Asisten Direktur Center for Orangutan Protection (COP) bilang, hewan ini punya kemiripan DNA dengan manusia hingga 97%. Kedekatan genetik ini, timbulkan banyak kesamaan yang bisa ilmuwan pelajari untuk keberlangsungan hidup manusia.

Dia menyebut, orangutan juga rasakan penyakit manusia. COP  pernah temukan orangutan yang mengidap hepatitis, ada juga yang menderita demam berdarah maupun malaria.

Dari kemiripan DNA itu, katanya, manusia bisa belajar cara orangutan bertahan hidup. Misal, meneliti tumbuh-tumbuhan yang mereka gunakan untuk obati sakit.

“Kemarin yang baru terbit jurnal tentang orangutan mengobati luka di badannya pakai daun akar kuning. Dikunyah kemudian ditempelkan ke lukanya, dan lukanya cepat sembuh. Ternyata daunnya ada khasiat sebagai anti inflamasinya.”

Orangutan juga punya sifat perhatian. Ia mengasuh anak hingga usia tujuh tahun, setiap malam mereka akan bikin sarang. Perilaku ini, katanya, berbeda dengan aktivitas tidur yang primata lain lakukan.

Tidak hanya itu, ketika punya anak, mereka akan menganyam daun untuk jadi selimut dan bikin semacam ‘payung’ ketika hujan. Aktivitas-aktivitas itu menjelaskan perhatian orangutan dewasa pada anak-anaknya.

“Kalau primata lain tidur ya sudah tidur di atas pohon. Orangutan, karena dia besar, dia harus buat sarang supaya tidak jatuh dari atas pohon. Tapi sarangnya tidak hanya alas saja, kadang ada atapnya, ada selimutnya. Jadi bonding antara induk dan anaknya sangat tinggi.”

Deforestasi, katanya, bikin hidup petani hutan ini semakin rentan. Habitat menyempit, sementara persaingan untuk dapat makanan meningkat. Dampaknya, orangutan yang berusia tua dan sakit, akan kalah bersaing, lalu meninggalkan hutan.

Menurut Indira, selain hilangkan sumber pakan, deforestasi juga bikin orangutan semakin dekat pemukiman warga. Mereka akan datangi kebun atau pemukiman warga untuk cari makan. Situasi itu kemudian menempatkan hewan ini dalam kategori hama.

“Sehingga, beberapa orangutan yang kami rescue, selain malnutrisi, ada yang ada peluru karena ditembak pekerja kebun atau warga.”

Dia berharap, masyarakat di kota menyadari upaya memenuhi kebutuhan konsumsi massal telah hancurkan habitat primata ini. Sehingga, beralih jadi konsumen yang bertanggungjawab, dengan gunakan produk ramah lingkungan, hemat listrik, hingga berdonasi untuk kerja-kerja konservasi.

“Selama ini orang kota mikirnya, isu lingkungan jauh dari kita. Tapi sebenarnya, apa yang kita lakukan hari ini sangat berpengaruh pada satwa-satwa di hutan. Kami harap, lebih banyak orang yang peduli, bantu kampanye, donasi ke LSM konservasi orangutan, beli merchandise, suarkan ke orang-orang terdekat. Menurut saya itu sudah cukup.”

Komunitas sepeda berfoto dengan boneka orangutan dengan latar spanduk kampanye save love protect. Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia.

 

*****

Melindungi Sang “Arsitek Hutan” di Hari Orangutan Sedunia

 

Exit mobile version