- Raja Kobra adalah ular berbisa terpanjang di dunia, dengan catatan rekor 5,71 meter dari Malaysia tahun 1937, menjadikannya salah satu predator paling menakjubkan dalam sejarah herpetologi.
- Populasi Raja Kobra di Indonesia memiliki keunikan genetik dan komposisi racun berbeda, menurut penelitian Uppsala University dan studi proteomik racun; hal ini penting untuk konservasi dan pengembangan antivenom lokal.
- Meski beracun mematikan, Raja Kobra sebenarnya pemalu dan berperan penting dalam ekosistem serta budaya Asia, dikenal sebagai pemakan ular, satu-satunya ular yang membangun sarang, dan simbol kuat dalam mitologi.
Di hutan-hutan tropis Asia, ada satu ular yang hampir selalu disebut dengan rasa gentar, yakni Raja Kobra atau King Cobra (Ophiophagus hannah). Spesies ini dikenal sebagai ular berbisa terpanjang di dunia, dengan panjang tubuh bisa melampaui lima meter. Kehadirannya bukan hanya penting secara ekologi sebagai predator puncak, tetapi juga punya tempat khusus dalam mitologi dan cerita rakyat di banyak budaya Asia.
Di antara ribuan spesies ular di dunia, Raja Kobra menempati posisi unik. Ia bukan hanya ular berbisa terbesar, tapi juga satu-satunya ular yang membangun sarang untuk telurnya. Dengan tubuh yang bisa melebihi lima meter, hewan ini tersebar luas di Asia Selatan hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Tidak hanya soal ukuran dan racun, Raja Kobra juga menjadi simbol hubungan manusia dengan alam liar. Di beberapa komunitas, kehadirannya dianggap sebagai pertanda ekosistem yang sehat, sementara di sisi lain sering memicu konflik karena dianggap ancaman. Dualitas ini menjadikan Raja Kobra bukan sekadar objek penelitian biologi, tetapi juga bagian dari dinamika sosial dan budaya di kawasan tropis Asia.
Baca juga: King Cobra, Predator Puncak Dunia Ular yang Memburu dan Memangsa Ular Berbisa
Rekor Raja Kobra (King Cobra) Terpanjang
Namun, di antara semua catatan keberadaan Raja Kobra, ada satu kisah legendaris yang tak pernah pudar. Pada April 1937, seekor Ophiophagus hannah ditangkap di Port Dickson, Negeri Sembilan, Malaysia. Ular ini mencapai panjang menakjubkan 5,71 meter atau sekitar 18 kaki 8 inci, dicatat dalam Guinness World Records sebagai Raja Kobra terpanjang yang pernah hidup di Bumi.
Kisah ular raksasa ini semakin menarik karena sempat dipamerkan di Kebun Binatang London hingga akhir 1939. Sayangnya, ketika Perang Dunia II pecah, pihak kebun binatang memutuskan untuk mematikan seluruh ular berbisa, termasuk Raja Kobra legendaris ini. Keputusan itu diambil karena dikhawatirkan bila bom menghantam kebun binatang dan ular-ular berbisa melarikan diri, risikonya terhadap masyarakat akan sangat besar. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa hewan luar biasa pun bisa terjebak dalam arus sejarah manusia.
Indonesia sendiri merupakan rumah bagi populasi Raja Kobra, terutama di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Selama bertahun-tahun, ular ini dianggap satu spesies tunggal di seluruh Asia. Namun, penelitian genetik dari Uppsala University di Swedia menemukan bahwa Ophiophagus hannah sebenarnya terdiri dari empat garis genetik berbeda, salah satunya adalah kelompok Sunda yang mencakup Indonesia dan Malaysia. Temuan ini penting karena menunjukkan adanya keragaman evolusioner dalam spesies yang sebelumnya dianggap tunggal. Bahkan, ke depannya, populasi Raja Kobra di Nusantara bisa saja diakui sebagai subspesies atau spesies baru.
Penelitian ini juga menegaskan pentingnya konservasi berbasis lokal. Bila tiap populasi memiliki garis genetik yang berbeda, maka ancaman terhadap satu wilayah bisa berarti hilangnya keragaman genetik yang tidak tergantikan. Artinya, upaya perlindungan Raja Kobra di Indonesia bukan sekadar menjaga populasi ular, tetapi juga menjaga keunikan evolusioner yang hanya ada di Nusantara.
Lebih jauh, riset lain menyoroti racunnya. Sebuah studi proteomik racun yang diterbitkan dalam Journal of Proteome Research mengurai komposisi racun Raja Kobra Indonesia dengan detail. Penelitian ini menemukan 32–35 jenis protein/peptida dari 10 famili toksin berbeda, dengan dominasi α-neurotoksin yang menyerang sistem saraf. Hasil ini menjelaskan mengapa gigitan Raja Kobra bisa menyebabkan kelumpuhan hingga gagal napas pada korban.
Yang lebih krusial, penelitian ini menunjukkan bahwa profil racun Raja Kobra di Indonesia berbeda dengan populasi lain di Asia. Dengan demikian, antivenom yang diproduksi di luar negeri, misalnya dari Thailand atau India, belum tentu efektif bila digunakan untuk korban gigitan di Indonesia. Hal ini menegaskan pentingnya riset lokal untuk mengembangkan antivenom yang sesuai dengan karakter racun populasi Nusantara.
Baca juga: Ular King Cobra Resmi Dikelompokkan Menjadi Empat Spesies yang Berbeda
Predator Mematikan tapi Pemalu
Meski terkenal sebagai salah satu ular paling mematikan di dunia, Raja Kobra sebenarnya bersifat pemalu. Ia cenderung menghindari manusia dan hanya menunjukkan perilaku defensif bila merasa terpojok. Saat itu, ia bisa mengangkat sepertiga tubuhnya dari tanah, mengembangkan tudung khasnya, dan mendesis dengan suara rendah yang terdengar seperti geraman. Peringatan ini menjadi tanda agar makhluk lain menjauh sebelum ia benar-benar menyerang.
Racun Raja Kobra merupakan kombinasi neurotoksin yang sangat kuat. Menurut berbagai catatan herpetologi, satu gigitan mampu menghasilkan cukup racun untuk membunuh seekor gajah muda atau beberapa manusia sekaligus. Efeknya bisa berupa kelumpuhan otot, kegagalan pernapasan, hingga henti jantung. Namun, meskipun memiliki potensi racun yang begitu mematikan, kasus serangan terhadap manusia relatif jarang terjadi karena ular ini lebih memilih menghindar daripada berkonflik.
Selain itu, Raja Kobra memiliki perilaku reproduksi yang unik. Betina membangun sarang dari daun dan ranting, lalu menjaga telur-telurnya dengan penuh kewaspadaan hingga menetas. Naluri keibuan ini jarang ditemui pada ular lain dan menjadikan Raja Kobra sebagai salah satu reptil dengan strategi reproduksi paling kompleks di dunia.
Raja Kobra tidak hanya menjadi bagian dari ekosistem, tetapi juga dari budaya manusia. Di India, ular besar sering diasosiasikan dengan dewa ular atau naga pelindung. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kisah tentang ular besar kerap melekat dalam mitos sebagai penjaga hutan atau penanda kesakralan suatu tempat. Narasi ini menegaskan bagaimana manusia sejak lama menaruh hormat sekaligus rasa takut pada makhluk luar biasa ini.
Secara ekologi, kehadiran Raja Kobra juga menandakan ekosistem yang sehat. Sebagai predator puncak, ia menjaga keseimbangan populasi ular lain dan memainkan peran penting dalam rantai makanan. Hilangnya spesies ini dari suatu kawasan bisa menjadi sinyal kuat adanya degradasi lingkungan.