Mongabay.co.id

Nelayan Batang Waswas Keluar Izin Pemanfaatan Air Laut untuk PLTU

 

 

 

Nelayan di Roban Timur, Batang, Jawa Tengah, heran pada Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) yang memberikan izin pemanfaatan air laut selain energi pada PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang mengelola pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang. Selain tidak melibatkan nelayan yang tiap hari melaut di kawasan itu, izin berisiko menambah suram hasil tangkapan mereka.

Izin yang terbit Juli lalu ini tak tanggung-tanggung, kapasitas pemanfaatan mencapai 3 miliar meter kubik air laut tiap tahun. Tujuan utamanya, untuk pendinginan turbin PLTU Batang dan  produksi air minum sampai keperluan lain yang tak termasuk energi.

KKP menyebut izin ini jadi yang pertama di Pulau Jawa, PLTU Batang juga jadi yang kedua memiliki legalitas pemanfaatan air laut di Indonesia. Izin ini jadi kebijakan baru yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Sebelum izin terbit, nelayan Batang sudah mengeluhkan pemanfaatan air laut oleh PLTU. Hariyono, nelayan Batang mengatakan,  penyedotan air untuk pendinginan menyebabkan ikan di pesisir ikut terisap. Sedang limbah dalam bentuk air bahang mengalir ke laut menyebabkan ikan pergi dan terumbu karang makin rusak.

Dia pun mempertanyakan legalitas aktivitas itu sejak PLTU beroperasi pada 2021. “Lalu pemanfaatan sebelumnya seperti apa kalau baru dikasih izin sekarang? Kami sebelumnya sudah protes soal itu, kenapa saat proses izin ini tidak dilibatkan padahal sangat berdampak kepada kami kebijakan ini,” katanya.

Aktivitas penyedotan air laut dan pembuangan limbah PLTU  signifikan berdampak terhadap penurunan tangkapan ikan nelayan. Sebelumnya, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Roban Timur, mencatat, tangkapan nelayan tahun 2019 mencapai 208.517 kilogram, naik  jadi 230.654 kilogram dan 243.948 kilogram pada 2020-2021.

Penurunan mulai terjadi tahun 2022, setelah PLTU beroperasi penuh. Saat itu, hanya ada 74.051 kilogram tangkapan. Kembali menurun dalam  2023 menjadi 67.113 kilogram, dan 86.637 kilogram tahun lalu.

Selain itu, ikan, udang, hingga cumi-cumi pun jadi langka. “Ikan kakap makin sedikit jumlahnya sekarang, begitu juga udang ini karena terumbu karang banyak yang rusak,” kata Hariyono.

Dia sudah jarang melaut karen wilayah tangkap kini  minim ikan. Padahal, katanya, dulu ikan dengan mudah mereka temui jarak setengah jam dari pantai.

Sekarang, mereka pun haru melaut lebih jauh, sekitar satu jam perjalanan. “Itu pun hasilnya tak seberapa.”

Sebelum ada PLTU, katanya, dia bisa mendapat minimal Rp800.000. Sekarang, maksimal Rp400.000.

Padahal, harga bahan bakar terus naik. Makin jauh lokasi tangkapan, katanya,  makin besar pula bahan bakar yang dia perlukan.

Kondisi penurunan tangkapan ikan nelayan di Roban Timur yang disebabkan makin sempitnya area tangkap karena PLTU Batang. Kerusakan terumbu karang yang jadi rumah biota laut lain juga jadi faktor penurunan tangkapan nelayan. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia.


Abrasi dan rusak karang

Pemanfaatan air laut oleh PLTU Batang juga menyebabkan meningkatnya abrasi. Sepanjang 40 meter dataran pada bibir pantai sudah terendam laut sejak 2021.

Yudiono, korban abrasi, sudah tiga kali rumahnya yang persis di pesisir laut Batang bergeser. Bangunan semi permanen itu bergeser karena terendam air akibat abrasi.

Pria 65 tahun itu pertama kali pindah rumah pada 2022. Sejak itu, tiap tahun dia rutin memindahkan huniannya.

Kini, dia sudah tak mampu lagi melakukan itu karena lahan sudah habis. “Pengennya mau pindah sekalian tapi enggak ada uangnya buat beli tanah, apalagi sekarang hasil melaut makin sedikit.”

Dia menduga abrasi terjadi karena arah gelombang laut yang berubah. Sebelum ada PLTU terpaan gelombang merata di semua titik,  karena ada dermaga batubara, arahnya jadi lebih kencang menghantam sisi timur pembangkit listrik ini yang tepat menuju rumahnya.

Menurut dia, gelombang juga berubah karena penyedotan air laut untuk pendinginan PLTU, serta pembuangan limbah yang memiliki suhu di atas rata-rata.

“Sebelum ada PLTU abrasi enggak separah ini, dulu itu ada air pasang tapi mudah surut sekarang menggenang terus dan ketinggiannya makin parah.”

Hariyono juga mengamini itu. Warung makannya yang persisi di tepi pantai kini terancam tenggelam.

“Makanya sekarang saya giat menanam cemara udang dan pohon-pohon lainnya agar mencegah abrasi.”

Dia sudah melaporkan ini ke berbagai instansi tetapi belum ada tindakan lanjutan. Dia berharap, setidaknya ada langkah konservasi dengan penanaman vegetasi penahan tanah.

“Soalnya kami cari bibit pohonnya juga susah, apalagi ini butuh banyak supaya bisa mencegah abrasi, tapi kok sampai sekarang belum ada tanggapan.”

Dia merasa pemerintah membiarkan warga pesisir Batang berjuang sendiri mengatasi abrasi. Pemberian izin pemanfaatan air ini pun dia yakin berdampak ke abrasi.

“Kami merasa selalu yang dikorbankan.”

Air bahang yang jadi limbah PLTU umumnya memiliki suhu di atas rata-rata juga mendapat perhatian. Pembuangan ke laut memicu kenaikan temperatur air yang sudah menghangat akibat krisis iklim. Dampaknya, pemutihan terumbu karang yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Pemutihan terumbu karang ini terjadi setidaknya ketika suhu air laut menyentuh 29 derajat celcius. Sementara suhu ideal mereka berkembang berkisar 23-26 derajat celcius.

Sebuah kajian di Marine Research in Indonesia, menyebut, suhu air laut yang mencapai 3-5 derajat celcius menyebabkan kematian organisme di dalamnya. Sedangkan, kenaikan 2-3 derajat celcius akan menghambat proses metabolisme dan fotosintesis terumbu karang yang jadi rumah ikan dan biota laut di dalamnya.

Hariyono menyebut, pernah melihat kawanan ikan mati tanpa sebab jelas di laut tepi PLTU Batang. “Kemungkinan karena limbah air pendinginan itu, karena suhunya di titik matinya ikan ini lebih tinggi dari lainnya.”

Mongabay kesulitan mendapat data terkait suhu air bahang dari PLTU Batang.  Merujuk Permen Lingkungan Hidup 8/2009 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan, atau Kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Termal, batas maksimal di Jawa Tengah adalah 40 derajat celcius. Batas itu  jauh dari ideal, bahkan membahayakan ekosistem laut disana.

Mongabay upaya konfirmasi ke BPI yang mengelola PLTU Batang tetapi hingga berita terbit belum mendapat respons. Humas perusahaan itu hanya menyebut, sudah melakukan sosialisasi izin ke warga, khususnya nelayan di Roban Timur.

Abrasi pantai menyebabkan rumah milik Yudiono harus pindah sebanyak empat kali selama empat tahun terakhir. Kini rumahnya sudah tidak bisa pindah lagi karena lahannya habis. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia.

 

Legitimasi rezim ekstraktif

Susan Herawati Romica, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menyebut, mekanisme perizinan ALSE bukan untuk melindungi ekosistem laut.

Dia menilai,  kebijakan ini untuk melegitimasi praktik lama dan menambah pendapatan negara tanpa mempedulikan kepentingan nelayan.

Dari izin ini, katanya, negara memperoleh pendapatan melalui skema non-pajak. Perizinan ini, katanya, makin menguatkan rezinm ekstraktif, karena hanya memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal tanpa berupaya mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan.

“Dasar kebijakan ini juga tidak jelas. Kami menduga ini hanya untuk mengeruk pendapatan negara bukan pajak (PNBP), tidak ada alasan lain apalagi pertimbangan lingkungan dan kesejahteraan nelayan.”

Ketiadaan dasar kebijakan itu, terlihat dari ketentuan kuota 3 miliar meter kubik dalam izin ALSE. Menurutnya, tidak ada penjelasan tentang kajian dan pertimbangan kuota itu yang bisa publik akses.

“Padahal penting untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas.”

Izin ini juga  bertolak belakang dengan Undang-undang 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Sebab, lewat perizinan ini nelayan yang biasanya melaut di area tersebut makin tak jelas nasibnya.

Selain mengurangi tangkapan ikan, lanjutnya, izin ALSE ini memicu resiko kecelakaan kerja bagi nelayan. “Karena nelayan kalau mau dapat ikan lebih banyak jadi harus melaut lebih jauh, resiko kecelakaan laut jadi meningkat.”

Susan bilang izin ALSE di PLTU Batang bisa jadi preseden buruk yang pemerintah replikasi di tempat lain. Apalagi, seluruh pembangkit energi kotor di Jawa berada di kawasan pesisir yang terhubung langsung dengan laut selatan dan utara.

“Kami mendesak agar kebijakan ini dikaji lagi, apalagi proses pengendalian dan pengawasan air bahang sebelum dibuang mesti diperketat agar ekosistem terjaga.”

Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut,  kerusakan ekosistem laut akibat air bahang tak lepas dari rantai energi kotor. Limbah ini menggenapkan dampak polusi dan kerusakan lingkungan akibat PLTU.

Wishnu Utomo, Kepala Advokasi Tambang dan Energi Celios, menilai, solusi utama masalah ini adalah pemensiunan dini PLTU. Temuan air bahang dari PLTU yang merusak ekosistem mereka temukan juga di Pacitan, Jawa Timur.

Sementara, pemerintah belum pernah benar-benar menghitung dan menganggap kerugian akibat limbah cair pendinginan PLTU. Padahal, menurutnya, jumlahnya sangat besar dan melampaui keuntungan yang ada.

“Pihak yang diuntungkan cuman segelintir orang saja, hanya pemilik tambang batubara saja. Sedangkan yang dirugikan banyak orang, dari warga sekitar tambang sampai nelayan dekat lokasi PLTU.”

Kerugian negara dari PLTU, lanjutnya, jauh lebih besar dari pendapatannya.

“Dari nilai ikan yang berkurang drastis, biaya kesehatan warga terdampak polusi, bencana ekologi yang ditimbulkan, sehingga sebenarnya tidak ada alasan untuk menghentikan PLTU apalagi Jawa juga sudah surplus listrik.”

Hariyono saat menguras bak kapal yang lama tak digunakannya untuk melaut karena ikan sulit dijumpai lagi. Beberapa jenis ikan juga mulai langka seperti kakap, udang, dan cumi-cumi. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia.

*****

Kala Warga Ingatkan Jepang, PLTU Batang Libas Lahan Hidup Mereka

 

Exit mobile version