Mongabay.co.id

Udang Beku RI Terpapar Radioaktif, Berikut Temuan Bapeten di Cikande

 

 

 

 

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat  (Food and Drug Administration/FDA)  19 Agustus lalu mengeluarkan laporan resmi mengenai jejak radioaktif pada sampel udang beku asal Indonesia. Produk itu terindikasi berasal dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS).  Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) pun berelasi dengan lakukan penelusuran. Badan ini mendeteksi ada paparan zat radioaktif Cesium 137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten.

Hasil uji laboratorium FDA mendeteksi ada kontaminasi Cs-137 pada produk udang beku BMS. Kandungan Cs-137 tercatat 68,48 Bq/kg ± 8,25 Bq/kg, jauh di bawah ambang batas bahaya 1.200 Bq/kg.

Kontaminasi ini tidak menimbulkan bahaya langsung tetapi paparan Cs-137 meskipun dalam dosis rendah tetap bisa meningkatkan risiko kanker apabila berlangsung dalam jangka panjang.

Temuan ini langsung memicu penyelidikan berupa investigasi dan monitoring oleh sejumlah kementerian dan lembaga, termasuk Bapeten, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Lewat hasil penyelidikan, Bapeten menemukan paparan Cs-137 di Kawasan Industri Modern Cikande,  lokasi operasional BMS. Berdasarkan pantauan Mongabay di lokasi, sumber paparan berada di lapak rongsokan pengumpulan besi bekas terletak di tengah permukiman warga, sekitar 100 meter dari pabrik.

Untuk sementara waktu, material yang terkontaminasi Cs-137 diamankan dengan cara ditutup pakai terpal. Bapeten juga segel area itu dan pasang garis kepolisian guna mencegah masyarakat masuk ke lokasi.

Ishak, Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Bapeten, menegaskan,  hasil pengukuran laju paparan radiasi di pabrik tidak menemukan indikasi keberadaan Cs-137. Sebaliknya, paparan Cs-137 justru terdeteksi di sejumlah lapak rongsokan besi bekas di kawasan sekitar.

“Bapeten bersama Polri telah melakukan penanganan sementara terhadap fasilitas pengumpulan besi bekas. Kami juga memperluas area pemantauan radiasi hingga radius dua kilometer. Ditemukan dua lokasi lain selain yang menunjukkan ada laju dosis radiasi yang tinggi,” katanya, 22 Agustus lalu.

Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Bapeten, Ishak, menjelaskan kepada wartawan terkait hasil investigasi Bapeten terkait penemuan material besi bekas yang terkontaminasi Cs-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia

Hingga kini Bapeten belum dapat memastikan sumber utama serta sebaran material Cs-137 di lapak pengumpulan besi.

Dia bilang, mekanisme kontaminasi Cs-137 pada produk udang beku BMS masih belum dapat dipastikan.

“Saat ini,  kami terus berupaya untuk penyelidikan lebih lanjut, untuk mengetahui sumber awal terjadinya kontaminasi Cs-137, apakah berasal dari limbah industri, kebocoran peralatan, atau faktor lain,” katanya.

Menurut hasil pengukuran Bapeten, radiasi Cs-137 di lokasi mencapai 150 mikroSievert per jam. Dengan kata lain, jika seseorang berdiri satu meter dari material terkontaminasi, maka dalam satu jam tubuhnya akan menerima paparan radiasi sebesar itu.

“Material yang terkontaminasi radioaktif itu segera kami tarik untuk ditempatkan di tempat kami (Bapeten),” kata Zulkarnain, Direktur Inspeksi Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif Bapeten saat konferensi pers di Serang.

Agus Yudi, Pengawas Radiasi Madya Bapeten, menyebut,  Bapeten bersama kepolisian melakukan penggalian informasi awal kepada pengelola lapak pengepul barang bekas, pihak pengelola tidak dapat memberikan penjelasan lengkap mengenai asal-usul material yang terkontaminasi Cs-137.

Dia bilang, ada kemungkinan material terbawa oleh masyarakat, mengingat wujud menyerupai benda biasa.

“Tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah membatasi akses masyarakat ke lokasi terpapar dan memastikan mereka tidak melakukan kontak langsung dengan material itu,” katanya.

Petugas Bapeten bersama anggota kepolisian menunjukkan material yang terkontaminasi cesium-137 di tempat pengumpulan besi bekas yang berada di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten

 Operasi setop sementara

Hanif Faisol Nurofiq,  Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH),  melakukan peninjauan langsung ke BMS 21 Agustus lalu. Dalam peninjauan itu, Hanif menyampaikan, langkah cepat perlu dilakukan untuk memastikan sumber paparan zat radioaktif ini.

“Saya memerintahkan untuk menghentikan kegiatan di sini (BMS) kalau memungkinkan bisa dikosongkan,” ujarnya usai mendatangi BMS.

Dia bilang, temuan itu tergolong janggal hingga perlu penelusuran lebih jauh untuk memastikan asal-usul Cs-137 di fasilitas pengolahan udang, mengingat risiko bahaya bagi masyarakat.

Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan,  mengatakan, penolakan ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat terjadi karena produk itu terindikasi tercemar radioaktif.

KKP bersama Bapeten telah pemeriksaan langsung terhadap dua tambak udang di Lampung dan Pandeglang, yang diduga menjadi pemasok udang beku untuk BMS.

“Dua-duanya kita cek bersama Bapeten radioaktif itu, nggak ada. Lalu di dalam pabrik BMS itu, di cerobong didapetinnya, dan itu berarti dari udara luar. Artinya bahan bakunya nggak ada masalah,” kata Trenggono.

Petugas dari Bapeten memperlihatkan gambar material zat radioaktif Cesium-137 melalui ponsel pintar di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia

Apa Cesium 137, efek dan bahayanya?

Cesium-137 (Cs-137) adalah zat radiaktif buatan yang tidak terdapat secara alami di alam. Zat ini sebagai produk sampingan dari reaktor nuklir. Dalam dunia industri dan penelitian, Cs-137 banyak dimanfaatkan, salah satunya untuk keperluan pengukuran densitas dan aplikasi lain terkait dengan pemanfaatan tenaga nuklir.

Ishak katakan, radiasi yang terpancar dari Cs-137 termasuk dalam kategori radiasi pengion, yaitu,  jenis radiasi yang dapat memengaruhi struktur sel hidup.

Kalau terpapar dalam jumlah tertentu, radiasi ini dapat menimbulkan dampak biologis serius bagi kesehatan manusia. Dalam jangka panjang, paparan Cs-137 bisa berbahaya karena meningkatkan risiko penyakit kronis, termasuk kanker.

“Untuk mencegah penyalahgunaan dan dampak negatifnya, penggunaan Cs-137 di Indonesia diawasi secara ketat oleh Bapeten. Pengawasan melalui mekanisme perizinan, pengaturan, hingga inspeksi rutin,” ujar Ishak.

Cs-137 dapat terakumulasi di hampir semua organ tubuh manusia. Namun, zat ini cenderung lebih banyak menumpuk di jaringan lunak, terutama otot. Akibatnya, organ-organ itu berisiko lebih tinggi terpapar radiasi beta dan gamma yang dipancarkan Cs-137.

Batas paparan radiasi dan kontaminasi zat radioaktif dalam pemanfaatan tenaga nuklir diatur dalam sejumlah regulasi. Beberapa antara lain, adalah Peraturan Kepala Bapeten No. 4/2013 tentang Keselamatan Radiasi dalam Pemanfaatan Tenaga Nuklir. Juga, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1031/Menkes/PER/V/2011 yang menetapkan ambang batas cemaran radioaktif pada pangan.

Dua anggota kepolisian keluar dari lokasi pengumpulan besi bekas yang terkontaminasi cesium-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia

Secara umum, katanya, dampak radiasi pada manusia terbagi menjadi dua jenis. Pertama, efek deterministik, yaitu,  gangguan biologis yang muncul ketika dosis radiasi melampaui ambang batas, dengan tingkat keparahan yang meningkat seiring besarnya paparan.  Misal, eritema (kulit kemerahan) pada dosis 2–3 Gy.

Kedua, efek stokastik, yaitu,  dampak yang bersifat acak tanpa ambang dosis, yang dapat terjadi meskipun paparan sangat rendah. Efek ini biasa muncul dalam jangka panjang, seperti risiko berkembangnya kanker.

Ishak menjelaskan,  zat radioaktif Cs-137 punya potensi besar mencemari lingkungan. Cs-137 mudah larut dalam air hingga bisa terbawa ke sungai, danau, maupun laut. Zat ini juga dapat terserap tanaman lalu masuk ke rantai makanan, dan menempel pada partikel tanah, terutama tanah liat, yang berisiko mencemari lahan pertanian.

Kondisi ini, kata Ishak, bisa berdampak langsung pada manusia baik melalui paparan eksternal maupun internal.

“Paparan eksternal terjadi ketika seseorang terkena radiasi dari sumber di luar tubuh, sementara paparan internal muncul saat zat radioaktif masuk ke tubuh melalui udara yang terhirup, makanan atau minuman terkontaminasi, maupun penyerapan lewat kulit.”

 

*****

 

Menanti Penanganan Cemaran Limbah Nikel di Teluk Weda

Exit mobile version