Mongabay.co.id

Bukan Hiu, Inilah Hewan Laut Paling Mematikan di Dunia

Laut tropis yang tampak tenang ini bisa menjadi habitat tersembunyi bagi ubur-ubur mematikan seperti Chironex fleckeri dan Carukia barnesi. Meski tak terlihat dari permukaan, risiko sengatan tetap mengintai di bawahnya. Sumber: Pixabay (publikasi sebelum Juli 2017, domain publik – CC0 1.0)

Ketika berbicara tentang bahaya di laut, kebanyakan orang akan langsung membayangkan hiu. Predator bertubuh besar dengan gigi tajam ini sudah lama menghantui imajinasi kita, diperkuat oleh film-film seperti Jaws yang menyebarkan citra hiu sebagai mesin pembunuh. Padahal, data global menunjukkan bahwa risiko serangan fatal oleh hiu sangat rendah.  Menurut laporan terbaru International Shark Attack File (ISAF) tahun 2024, tercatat 47 kasus gigitan hiu tanpa provokasi di seluruh dunia, dengan empat di antaranya berujung fatal. Jumlah ini sedikit di bawah rata-rata lima tahun sebelumnya (2019–2023) yang mencapai 64 insiden dan enam kematian per tahun. Variasi tahunan dianggap wajar dan sering dipengaruhi oleh faktor acak seperti lokasi kejadian, spesies hiu, dan aktivitas manusia di laut. ISAF menegaskan bahwa risiko digigit hiu tetap sangat rendah, bahkan menurun dibanding tahun sebelumnya.

Ubur-ubur kotak Australia (Chironex fleckeri) yang dikenal sebagai salah satu hewan laut paling mematikan di dunia. Racunnya dapat menyebabkan henti jantung dalam hitungan menit. Foto ini memperlihatkan tubuhnya yang transparan dengan tentakel panjang penuh sel penyengat mematikan.📸 Foto: Ron & Valerie Taylor / Mary Evans / picturedesk.com

Ironisnya, ancaman nyata justru datang dari makhluk kecil yang sering tak terlihat: ubur-ubur kotak Australia (Chironex fleckeri). Hewan ini jauh lebih mematikan daripada hiu, meski tubuhnya transparan dan terlihat lembut. Racunnya bekerja sangat cepat, dapat menyebabkan henti jantung hanya dalam hitungan menit setelah tersengat. Ukurannya pun menipu—meski bel tubuhnya hanya sekitar 30 cm, tentakelnya bisa membentang hingga tiga meter dan dipenuhi ribuan sel penyengat (nematosista) yang mampu menyuntikkan toksin kuat ke dalam tubuh manusia.

Sengatan ubur-ubur kotak tidak hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga memicu respons psikologis ekstrem. Korban sering mengalami kepanikan luar biasa yang oleh dunia medis dikenal sebagai sense of impending doom, atau perasaan kuat bahwa kematian akan segera datang. Efek ini terjadi bukan hanya karena rasa sakit hebat dan reaksi alergi, tetapi juga karena kerja cepat racun terhadap sistem saraf dan kardiovaskular manusia. Maka tak heran jika ubur-ubur ini dianggap sebagai hewan laut paling mematikan di dunia oleh banyak ilmuwan kelautan.

Struktur Toksin dan Mekanisme Sengatan Ubur-Ubur Kotak

Chironex fleckeri adalah salah satu dari sekitar 50 spesies ubur-ubur kotak (ordo Cubozoa), namun ia memegang rekor sebagai yang paling mematikan. Racunnya mengandung kombinasi protein porin, kardiotoksin, dan neurotoksin yang menyerang jantung dan sistem saraf. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Toxins menjelaskan bagaimana porin dari nematosista ubur-ubur kotak mampu membuka pori-pori membran sel, menyebabkan gangguan elektrolit dan gagal jantung dalam waktu yang sangat singkat.

Ubur-ubur kotak (Chironex fleckeri) tampak melayang di perairan biru Australia. Meski terlihat rapuh dan transparan, spesies ini menyimpan racun mematikan di sepanjang tentakelnya yang bisa membunuh manusia hanya dalam beberapa menit.📸 Foto: Guido Gautsch, Melbourne, Australia

Tidak seperti ubur-ubur biasa yang hanya mengapung mengikuti arus, spesies ini mampu berenang aktif menggunakan mekanisme jet propulsion. Kecepatannya mencapai 1,5 meter per detik atau sekitar 5,4 km/jam, lebih dari cukup untuk mengejar mangsa kecil atau menyengat manusia tanpa disadari. Tubuhnya yang transparan kebiruan membuatnya sulit dideteksi, bahkan dalam air jernih sekalipun. Dan dengan 24 mata yang tersebar di empat ropalium di tubuhnya, meskipun belum sepenuhnya dipahami, ubur-ubur ini mampu bereaksi terhadap cahaya dan gerakan secara aktif.

Irukandji dan Spesies Kecil Lain: Ancaman Laten dari Ubur-Ubur Mini

Meski Chironex fleckeri adalah ikon mematikan, spesies-spesies kecil lain dalam keluarga Cubozoa juga mematikan. Salah satunya adalah ubur-ubur Irukandji (Malo spp. dan Carukia barnesi) yang jauh lebih kecil—belnya hanya sekitar 2,5 cm, namun tentakelnya bisa mencapai 1 meter dan membawa racun yang sangat kuat. Sengatan mereka dapat memicu Irukandji syndrome, sebuah kondisi medis serius yang ditandai dengan nyeri otot hebat, muntah-muntah, lonjakan tekanan darah, dan rasa panik ekstrem.

Carukia barnesi, salah satu spesies ubur-ubur Irukandji yang sangat berbisa meski berukuran kecil. Sengatan dari spesies ini dapat memicu Irukandji syndrome—reaksi racun yang menyebabkan nyeri otot hebat, muntah, hingga tekanan darah melonjak tajam. 📸 Foto: Lisa-ann Gershwin, 2005

Kisah pengungkapan sindrom ini pun tak kalah dramatis. Pada tahun 1964, ilmuwan Australia Dr. Jack Barnes melakukan tindakan ekstrem dengan menyengat dirinya sendiri, anaknya, dan seorang penjaga pantai untuk membuktikan bahwa spesies Carukia barnesi adalah penyebab sindrom tersebut. Ketiganya selamat, tetapi pengalaman itu membuka jalan penting bagi penelitian medis tentang racun ubur-ubur kotak. Studi terbaru oleh Underwood & Seymour (2023) di Marine Drugs memperkuat pemahaman tentang mekanisme molekuler dan efek sistemik dari sengatan Irukandji, termasuk gangguan serotonin dan adrenalin di tubuh manusia.

Perairan tropis Indonesia yang kaya akan kehidupan laut juga menjadi tempat berkembang biaknya berbagai spesies ubur-ubur, termasuk kelompok ubur-ubur kotak. Meskipun belum banyak data terpublikasi mengenai keberadaan spesies beracun seperti Chironex fleckeri di Indonesia, perubahan iklim dan dinamika laut berpotensi memengaruhi pola distribusinya di masa depan.

Analisis NOAA Climate.gov menunjukkan bahwa pola pemanasan di Samudra Pasifik tropis—khususnya di wilayah barat seperti Indonesia dan Australia—semakin menunjukkan kecenderungan mirip La Niña. Pola ini memperkuat stratifikasi laut dan meningkatkan produktivitas planktonik—dua faktor yang dikaitkan secara global dengan ledakan populasi ubur-ubur, termasuk spesies seperti Chironex fleckeri. Perubahan gradien suhu permukaan laut, sirkulasi Walker, dan dinamika termoklin diperkirakan turut mendorong migrasi spesies ubur-ubur tropis ke lintang lebih tinggi maupun wilayah kepulauan baru, termasuk kawasan Indo-Pasifik.

Di Thailand, beberapa pantai wisata seperti Koh Mak, Koh Samui, dan Koh Phangan telah mulai memasang jaring pelindung ubur-ubur di area berenang untuk melindungi wisatawan. Namun, penerapannya belum menyeluruh karena tantangan geografis dan logistik. Pemerintah daerah dan otoritas pariwisata di sana juga mengimbau agar wisatawan hanya berenang di zona yang sudah diproteksi dan mengikuti peringatan musiman terkait ubur-ubur.

Exit mobile version