Mongabay.co.id

Zulvan Zaviery dan Burung Endemik Enggano

 

 

Zulvan tiba-tiba berhenti di tengah Hutan Adat Danau Pulau, di Desa Ka’ana, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Matanya mengamati seekor uncal enggano (Macropygia cinnamomea) berwarna cokelat jahe, di pucuk ranting pohon apuha/menggeris (Koompasia sp). Dia mengeluarkan lensanya lalu membidik dengan tepat.

Seekor burung kacamata enggano (Zosterops salvadorii) berukuran sekitar 11 cm dengan mata bulat seolah memakai kacamata, juga terpantau. Burung ini melompat dari satu dahan ke dahan lain, lalu terbang rendah. Untuk mata yang tak terlatih, sulit menemukannya. Namun, bagi Zulvan, setiap gerakan jenis ini adalah sebuah bahasa yang hanya dia mengerti.

Sejak 2008, lelaki ini telah mendedikasikan hidupnya untuk merekam dan melindungi satwa bersayap tersebut. Zulvan menyaksikan bagaimana perburuan menjadi kegilaan yang tak terhentikan, induk-induk burung disasar dan anak-anaknya mati kelaparan di sarangnya.

“Setiap induk burung yang diburu, ada sarang yang jadi makam,” ucapnya pelan, Minggu (17/8/2025).

Zulvan Zaviery tidak hanya memotret hutan Enggano, tetapi juga berjuang untuk melestarikannya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Zulvan Zaviery lebih dari sekadar nama. Dia menghubungkan dunia manusia dengan dunia burung liar di Enggano. Awalnya, Zulfan seorang fotografer yang mengabadikan momen olahraga dan satwa liar bergerak cepat. Hobi ini secara tidak sadar membawanya pada panggilan hidup yang lebih besar.

Titik balik dalam hidupnya datang ketika para birdwatcher dari berbagai belahan dunia, seperti Australia, Amerika, dan Prancis datang ke Enggano. Mereka tidak mencari burung hias warna-warni, melainkan spesies endemik. Burung yang hanya dapat ditemukan di Pulau Enggano.

Mereka mencari uncal enggano (Macropygia cinnamomea), betet enggano (Psittacula modesta) dan beo enggano (Gracula enganensis), yang menjadi perhiasan tak ternilai bagi ekosistem. Zulvan tertegun. Dia baru menyadari bahwa surga tempatnya tinggal memiliki aset alam begitu besar, yang begitu dihargai oleh orang-orang dari tempat sangat jauh.

Kesadaran itu mengubah segalanya. Dengan kemampuan Bahasa Inggris yang fasih, dia memiliki kesempatan mendampingi mereka. Dari sini, dia belajar banyak tentang burung dan nilai-nilai konservasi.

Hutan Adat Danau Pulau yang merupakan habitatnya satwa liar. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Belajar dari pengamat burung internasional           

Sebuah insiden mengubah cara pandang Zulvan. Suatu hari, dia dan seorang tamu asing sedang mengamati burung. Mereka melihat ada warga memasang jaring. Seekor burung cekakak terperangkap, namun dibanting.

Tamu itu sangat marah. “Dia meminta saya bertanya kenapa orang itu melakukannya,” ujar Zulvan. “Orang itu menjawab, ‘burung itu tidak ada harganya”. Tamu saya semakin marah. Dia membalas, ”Kalau kamu tidak berharga bagi saya, saya boleh membantingmu.”

Kata-kata itu membuka mata Zulvan. “Saya berpikir, jika banyak orang luar rela datang hanya untuk mengamati burung di Enggano, mengapa justru banyak orang Enggano sendiri belum menyadari keindahan itu? Seringkali, mereka yang terlahir di surga justru tidak menyadari tempat tinggalnya,” jelasnya dengan nada prihatin.

Sejak itu, Zulvan bertekad tidak hanya menjadi fotografer, tetapi juga seorang konservasionis. Lensa kameranya tak hanya merekam keindahan, tetapi juga mendokumentasikan perjuangan. Perjuangan untuk melindungi dua spesies endemik Enggano yang berada di ujung kepunahan: betet enggano dan beo enggano. Burung-burung ini diburu tanpa ampun, karena kecantikan bulu betet dan kepandaian beo meniru suara.

Burung betet enggano (Psittacula modesta) yang hanya ada di Enggano. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Zulvan memandang ini bukan persoalan hilangnya spesies, melainkan runtuhnya pilar-pilar ekosistem. Dia menjelaskan, burung memiliki tugasnya masing-masing.

“Ambil contoh pergam, yang perannya sering disalahpahami. Padahal, burung ini adalah petani sejati di udara. Mereka memakan biji-bijian, terbang jauh, dan menyebarkan benih itu melalui kotoran mereka,” ucapnya.

Biji-biji itu tumbuh menjadi pohon, membentuk hutan kokoh, yang pada akhirnya menjaga sumber air bagi para petani. Burung-burung inilah yang sesungguhnya memastikan kehidupan manusia terus berlanjut.

Burung anis enggano yang hanya ada di Pulau Enggano. Foto: Dok. Zulvan Zaviery

 

Inisiatif Zulvan melindungi kawasan Danau Pulau telah dimulai jauh sebelum program-program besar dicanangkan. Kesaksian ini datang dari Rais Rendra Regen, staf BKSDA Bengkulu, yang pernah bertugas di Pulau Enggano dan menyaksikan perjuangan awal Zulvan.

Rais menuturkan, sekitar Januari 2011, dia bertemu Zulvan yang berbagi rencana ambisius untuk menjadikan kawasan di sekitar Danau Pulau sebagai area lindung. Menurut Zulvan, inisiatif ini sangat penting, mengingat danau tersebut merupakan sumber pengairan utama bagi sawah-sawah masyarakat Desa Ka’ana. Pada masa itu, pembukaan lahan di sekitar danau marak terjadi, mengancam fungsi vital ekosistem tersebut.

“Zulvan meyakinkan saya bahwa masyarakat setempat telah sepakat untuk menetapkan Danau Pulau sebagai kawasan lindung. Dulu, belum tahu ada istilah hutan adat,” ujar Rais. “Mereka sadar betul pentingnya danau sebagai denyut nadi pertanian,” terangnya, Jumat (22/8/2025).

Zulvan meminta bantuan Rais untuk mengajarkannya menggunakan GPS. Tujuannya sederhana namun krusial: menentukan batas radius satu kilometer dari danau. Dengan adanya batas yang jelas, pembukaan lahan baru di zona terlarang dapat dicegah dan keberlanjutan sumber air danau terjaga.

Bagi Zulvan, Enggano adalah surga yang tidak disadari penduduknya, karena mereka terbiasa hidup di dalamnya. Dia yakin, satu-satunya cara untuk menyelamatkan surga ini adalah melalui pendidikan. Kekayaan alam Enggano, termasuk burung-burung endemiknya, diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah.

Hutan Enggano yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup. Foto drone: Falahi Mubaork/Mongabay Indonesia

 

Masa depan Enggano                                                                     

Bersama anaknya, Zavier Ariga Islamiterra, dia berjalan menyusuri kebun yang memang sengaja disisakan hutannya. Ariga, dengan binokular di tangannya, mengikuti jejak sang ayah. Keduanya adalah sosok yang berjuang untuk masa depan burung Enggano. Zulvan ingin Ariga dan anak-anak Enggano tidak hanya mewarisi pulau ini, tetapi juga menjaganya.

Sebagai bentuk kepedulian lingkungan, Zulvan menanam berbagai pohon buah di Hutan Adat Danau Pulau. Matoa hutan dan berbagai jenis pohon buah lokal dipilih sebagai sumber pakan alami burung.

“Sumber pakan melimpah membuat burung tetap tinggal di kawasan yang aman dan terlindungi ini,” jelasnya.

Zulvan memprediksi, tanpa pemahaman yang kuat, dalam lima tahun, burung-burung ini akan sulit ditemukan. Dan dalam sepuluh tahun, akan menghilang.

Pisang merupakan hasil ladang yang menjadi andalan masyarakat Eaggano. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menurut buku Ekspedisi Pulau Enggano yang diterbitkan LIPI Press 2017, pengungkapan keanekaragaman hayati burung di Enggano telah tercatat, di antaranya, dari publikasi Salvadori (1892) yang mendeskripsikan beberapa jenis burung berdasarkan sejumlah spesimen yang dikoleksi Modigliani dan dipelajari ornitologis. Jenis-jenis tersebut merupakan endemik Pulau Enggano.

Pulau Enggano merupakan kawasan penting bagi burung di kawasan barat Indonesia. BirdLife International mengategorikan Enggano sebagai Endemic Bird Area (EBA), karena merupakan habitat bagi dua atau lebih jenis burung dengan sebaran terbatas atau endemik (BirdLife International, 2015). Berdasarkan catatan yang ada dan hasil-hasil penelitian taksonomi, Pulau Enggano memiliki total 14 jenis burung endemik, baik dengan status jenis maupun anak jenis.

Biota laut ini merupakan hasil tangkapan nelayan Enggano. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Gunggung Senoaji, akademisi sekaligus ahli kehutanan dari Universitas Bengkulu, menjelaskan berdasarkan laporan kajian Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu 2005, hutan Enggano memiliki peran sangat penting sebagai rumah bagi beragam spesies burung.

Di dalam ekosistemnya yang unik, ditemukan berbagai jenis burung endemik, seperti burung anis enggano (Geokichla leucolaema), celepuk enggano (Otus enganensis), juga kacamata enggano (Zosterops salvadorii). Keberadaan spesies-spesies ini menjadikan hutan Enggano sebagai kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi.

“Laporan kami secara spesifik mencatat, berbagai jenis burung itu tersebar di seluruh ekosistem pulau. Mulai hutan mangrove, hutan rawa, hutan pantai, hingga hutan dataran rendah, semuanya adalah habitat esensial bagi kelangsungan hidup burung liar,” jelasnya, Jumat (22/8/2025).

Namun, kondisi ini terancam oleh aktivitas antropogenik. Laporan tersebut menyoroti pembukaan lahan untuk kebun rakyat, ancaman utama. Aktivitas ini secara langsung mengurangi luasan area hutan, yang pada gilirannya mengganggu habitat dan rantai makanan burung-burung tersebut.

“Berkurangnya tutupan hutan menyebabkan terganggunya ekosistem menyeluruh, yang berdampak langsung pada kehidupan spesies-spesies yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.”

Gunggung menegaskan, meskipun hutan Enggano memiliki potensi tegakan kayu, eksploitasi secara komersial sangat tidak disarankan.

“Hanya ada sedikit pohon berdiameter besar, dan penebangan besar-besaran akan membawa dampak buruk bagi lingkungan global dan sistem sungai yang melewati kawasan hutan,” katanya. Peringatan ini juga didukung oleh temuan adanya indikasi perambahan hingga ke kawasan cagar alam.

Hutan dan laut Enggano harus dijaga dari segala kerusakan. Menjaga lingkungan berarti menjaga keseimbangan ekosistem kehidupan yang harus dilakukan bersama. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, perlindungan kawasan hutan harus menjadi prioritas. Keterancaman burung-burung endemik adalah indikator nyata bahwa ekosistem sedang tidak baik-baik saja. Laporan kajian ini merekomendasikan, agar pemerintah dan masyarakat mengutamakan fungsi perlindungan lingkungan di atas segala bentuk eksploitasi.

“Kita harus berupaya keras memastikan payung hukum yang kuat, seperti penetapan hutan adat, untuk melindungi kawasan ini,” jelasnya. “Melindungi hutan Enggano berarti melindungi habitat unik burung-burung endemik, dan pada akhirnya, juga melindungi masa depan masyarakat dan alam Enggano itu sendiri.”

Zulvan Zaveiry tidak hanya memotret hutan Enggano, tetapi juga berjuang untuk melestarikannya. Memastikan bahwa surga Enggano tidak hilang ditelan zaman. Dia adalah suara bagi mereka yang tak bersuara, dan pelindung bagi mereka yang tak berdaya.

 

Referensi:

Ibnu, Maryanto., Hamidy, Amir,. Keim, Ary P., Sihotang, Budi Lestari., Lupiyaningdyah, Pungki., Irham, Mohammad., & Ardiyani, Marlina. 2017. Ekspedisi Pulau Enggano. Jakarta: LIPI Press.

 

*****

 

Hutan Adat Danau Pulau, Penjaga Kehidupan Masyarakat Enggano

Exit mobile version