Mongabay.co.id

Hutan Adat Danau Pulau, Penjaga Kehidupan Masyarakat Enggano

 

 

Kem pahyan haku kanapuha merupakan bahasa lokal Enggano yang berarti menjaga warisan hutan leluhur. Hutan Adat Danau Pulau seluas 180 hektar yang berada di Desa Ka’ana, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, merupakan hutan warisan leluhur yang menjaga kehidupan masyarakat Enggano.

Kabut tipis turun di atas hamparan sawah Ka’ana, pagi itu. Dari arah hutan, suara burung betet enggano (Psittacula longicauda enganensis) terdengar bersahutan. Air mengalir deras melalui Dam Seng, bendungan sederhana yang dibangun dari aliran Danau Pulau. Di tepian sawah, Zubaida Kaharubi (46) tampak menunduk, tangannya cekatan memanen padi yang menguning.

“Sejak dua tahun lalu air kembali lancar. Sawah di Ka’ana bisa kami garap lagi,” ujarnya.

Sebelumnya, lahan sawah seluas belasan hektar sempat merana, bukan karena kekeringan, melainkan serangan hama babi. Kini, para petani kembali menanam bersama. Namun, masalah baru muncul: keong emas, semut, tikus, hingga burung pipit ikut menggerogoti tanaman. “Meski begitu, kami tetap bersyukur. Tanpa air dari Danau Pulau, sawah ini pasti mati,” kata Zubaida, Minggu (17/8/2025).

Masyarakat Enggano dengan pakaian adatnya mempertahankan hutan adat Danau Pulau yang sangat penting bagi kehidupan mereka. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Air dari Danau Pulau memang menjadi nadi kehidupan masyarakat Ka’ana dan dusun-dusun sekitar. Luas danau 1,76 hektar, dikelilingi hutan lindung yang sejak lama dijaga masyarakat adat Kaharuba. Hutan ini tengah diusulkan menjadi Hutan Adat Danau Pulau, mencakup 181 hektar bentang hutan tropis yang kaya satwa dan berfungsi vital sebagai daerah tangkapan air.

Alamuddin, Kepala Desa Ka’ana, memiliki tanggung jawab besar menjaga hutan ini.

“Peran saya paling besar, karena ini semacam warisan dari kepala desa ke kepala desa. Orang tua saya dulu juga kepala desa dan beliau menetapkan kawasan ini sebagai hutan lindung desa. Walaupun waktu itu belum ada dasar hukum,” tuturnya.

Tradisi menjaga hutan Danau Pulau berlangsung turun-temurun. Dulu, larangan menebang pohon atau membuka kebun ditegakkan melalui adat. Namun seiring pergantian generasi, pengetahuan itu mulai luntur.

“Kalau dulu, tidak ada yang berani merambah. Sekarang, ada saja yang coba-coba buka kebun. Itulah pentingnya pengukuhan resmi jadi hutan adat, supaya ada dasar hukum yang jelas,” kata Candri, Ketua Adat Kaharuba.

Siang di awal 2024, warga Ka’ana mulai mendengar deru mesin chainsaw dari arah Danau Pulau. Tak lama, areal hutan mulai terbuka. Semak-semak digantikan batang pisang muda, cokelat, dan pohon jengkol. Bagi sebagian orang, itu hanyalah perluasan kebun biasa. Namun bagi tetua adat, itu sinyal bahaya.

“Dulu, tak ada orang berani buka kebun di sini. Semua tahu hutan ini dilindungi leluhur,” lanjutnya. “Tapi sekarang, generasi baru banyak yang tidak tahu. Mereka pikir tanah ini bebas diolah.”

Faktor utama perambahan adalah ketidakjelasan wilayah. Tanpa patok batas, kebun masyarakat merembet ke area hutan yang seharusnya tabu. Alih-alih sengaja merusak, banyak warga mengaku tidak tahu bahwa lahan yang mereka garap sudah masuk kawasan adat.

Candri menegaskan, hutan ini bukan sekadar tegakan pohon. “Sejak leluhur, Danau Pulau adalah sumber air dan rumah burung-burung. Kalau resmi ditetapkan sebagai hutan adat, kami orang adat bisa lebih tegas menegakkan pantangan. Tidak boleh ada penebangan liar lagi,” ujarnya.

Sejumlah petani perempuan memanen padi di sawah yang airnya bersumber dari Danau Pulau di kawasan hutan adat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Air untuk sawah dan kehidupan

Sekitar 17 hektar sawah di Ka’ana masih bertahan berkat aliran Danau Pulau. Dulu luasnya mencapai 25 hektar, namun sebagian berubah menjadi kebun atau telantar.

Muhadi, petani Dusun Pal Empat, mengandalkan air dari Dam Seng untuk kebutuhan air minum dan ladangnya. “Kalau tidak ada air dari Danau Pulau, kami tidak bisa berladang. Sawah dan kebun di sini semua hidupnya dari aliran itu,” katanya.

Selain sawah, air Danau Pulau juga menopang kebutuhan warga di Dusun Pal Empat, yang letaknya lebih tinggi. Saat kemarau panjang, warga mengandalkan sumber air ini karena belum semua rumah tersambung PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).

“Kalau danau kering, dampaknya besar. Sawah gagal panen, warga kesulitan air minum. Pernah kejadian 2017-2018, danau benar-benar kering akibat kemarau sembilan bulan,” ungkapnya.

Kondisi itu memperlihatkan rapuhnya ketahanan pulau kecil seperti Enggano terhadap perubahan iklim. Danau Pulau berfungsi sebagai cadangan air alami yang tidak tergantikan. Jika hutan di sekitarnya rusak, fungsi resapan air akan hilang dan masyarakat kehilangan sumber kehidupan.

Muhadi, warga Dusun Pal Empat memanfaatkan Dam Seng untuk keperluan kebun dan rumah tangga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Gunggung Senoaji, akademisi sekaligus ahli kehutanan dari Universitas Bengkulu, menegaskan bahwa posisi Danau Pulau bagi masyarakat Enggano tak bisa dipandang sebelah mata. Secara geologis Enggano adalah pulau karang.

“Artinya, di Enggano tidak ada air tanah. Semua air tawar sepenuhnya bergantung dari curah hujan. Maka, air lengas tanah, air yang tersimpan di dalam tanah setelah hujan menjadi penopang utama kehidupan,” katanya.

Danau Pulau memegang peran vital sebagai cadangan air. Sumber-sumber air lain di Enggano antara lain Sungai Moana, Dam Seng di Ka’ana, Sungai Cikuba, Kuala Kecil, dan Kuala Besar. Namun, dibandingkan nama itu semua, Danau Pulau memiliki keistimewaan karena langsung menopang irigasi pertanian sawah warga, serta menjadi tumpuan air bersih bagi sejumlah dusun di Ka’ana.

“Kalau danau ini rusak, kering, atau terganggu fungsinya, maka akan berdampak langsung pada keberlanjutan hidup masyarakat. Sawah-sawah bisa gagal panen, sumber air bersih bisa menipis. Karena itu, menjaga adat hutan Danau Pulau sejatinya sama dengan menjaga masa depan Enggano,” tegasnya.

Keterlibatan akademisi memperkuat proses ini. Tim Universitas Bengkulu (Unib) melakukan kajian ekologi dan hukum. Hasil riset menunjukkan, hutan Danau Pulau berperan vital menjaga ekosistem Enggano yang kecil dan rentan. Dari sisi hukum, dekan Fakultas Hukum Unib mendorong pemerintah daerah membuat regulasi khusus, mengingat belum ada preseden pengakuan masyarakat hutan adat di Bengkulu Utara.

Kajian Unib juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Proses pengukuhan adat di Enggano bisa menjadi contoh baik bagi daerah lain, karena memadukan aspek sosial, ekologis, dan budaya.

Danau Pulau menjadi salah satu sumber air tawar bagi kebutuhan masyarakat Desa Ka’ana. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Surga burung endemik

Bagi Zulvan Zaveiry, fotografer burung asal Enggano, hutan Danau Pulau adalah benteng terakhir satwa endemik.

“Di Enggano ada enam spesies burung endemik seperti anis enggano (Geokichla leucolaema),  uncal enggano (Macropygia cinnamomea), celepuk enggano (Otus enganensis), betet enggano (Psittacula longicauda Enganensis), beo enggano (Gracula enganensis), dan kacamata enggano (Zosterops salvadorii). Dua di antaranya berstatus Kritis, betet dan beo. Keduanya diburu karena keindahan bulu dan kemampuannya meniru suara,” jelasnya.

Perburuan membuat populasi dua satwa itu terancam. Jika dibiarkan, Zulvan memprediksi dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan, burung endemik Enggano bisa punah. Karena itu, kawasan Danau Pulau dijaga ketat, satwa di dalamnya tidak boleh diganggu.

“Ini benteng terakhir. Kalau hutan ini hilang, Enggano kehilangan aset yang sangat besar, bukan hanya ekologi, tapi juga potensi wisata birdwatching,” ujarnya.

Burung, menurut Zulvan, bukan sekadar satwa hias. Perannya krusial dalam regenerasi hutan. “Burung pergam misalnya, makan biji lalu menyebarkannya melalui kotoran. Itu menumbuhkan pohon-pohon baru. Kalau hutan dan air terjaga, petani juga sejahtera. Jadi, sebenarnya burung memberi manfaat besar bagi manusia,” katanya.

Celepuk enggano adalah burung khas yang kini keberadaanya jarang dijumpai warga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Said Jauhari, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bengkulu, menyebutkan penyelundupan burung endemik Enggano masih terjadi dan masuk kategori sedang.

“Dalam satu tahun terakhir, ada lima kasus. Yang paling diminati adalah beo, betet, burung kacamata,” ungkapnya.

BKSDA, kata Said, mendukung penuh upaya konservasi dengan mendorong legalitas hutan adat Danau Pulau.

“Kalau hutan adat ini dikukuhkan secara resmi, perangkat desa dan orang adat punya dasar hukum lebih kuat untuk menindak perambahan maupun perburuan. Itu penting, karena hutan ini warisan leluhur yang masih bertahan hingga sekarang,” katanya.

Hutan ini merupakan Hutan Adat Danau Pulau. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Pemetaan partisipatif

Sabtu pagi, 9 November 2024, balai Desa Ka’ana ramai oleh perangkat desa: kepala desa, sekretaris, kepala dusun, hingga ketua BPD. Tema diskusi jelas, menyamakan persepsi tentang perlindungan hutan. Semua hadir sepakat, hutan Danau Pulau adalah warisan yang harus dijaga.

Sehari kemudian, giliran lembaga adat yang duduk bersama. Para kepala suku mengingatkan kembali nilai pantangan yang diwariskan leluhur. “Hutan dan danau itu pantang ditebang. Siapa melanggar, kena sanksi adat,” ujar salah seorang tetua. Namun, mereka juga jujur, aturan adat kini melemah karena tak ada batas resmi.

Diskusi berlanjut ke masyarakat sekitar hutan. Mereka yang lahannya berbatasan langsung dengan kawasan Danau Pulau diajak terbuka. Ada yang mengaku sudah telanjur membuka kebun, ada pula yang belum tahu batas hutan. Dari dialog itu, muncul kesepakatan, lahan yang sudah dibuka akan dikembalikan dan ditanami kembali.

“Kalau tidak ada batas, orang memang bingung. Jadi ini soal kejelasan, bukan semata-mata niat merusak,” kata Eko Wahyudi, warga Dusun Pal Empat.

Kopi merupakan komoditas unggulan di Pulau Enggano. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Upaya pengukuhan hutan adat Danau Pulau difasilitasi Latun bersama Samdhana Institute. Sejak 2023, tim Latun melakukan serangkaian kegiatan: pemetaan partisipatif, diskusi kelompok terfokus (FGD), konsultasi hukum, musyawarah desa, hingga pemasangan 75 patok batas kawasan. Dari proses itu, ditetapkan luas hutan adat 181 hektar dengan danau di tengahnya.

Ari Anggoro, Direktur Eksekutif Latun, menjelaskan inisiatif datang dari masyarakat sendiri. “Mereka ingin kawasan yang sejak lama dijaga turun-temurun punya pengakuan hukum. Tantangannya, Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara belum pernah mengeluarkan SK Masyarakat Hukum Adat. Jadi, proses ini semacam pembelajaran bersama,” kata Ari.

Menurut Ari, pengakuan hutan adat penting agar masyarakat adat dan pemerintah desa punya legitimasi menindak pelanggaran. “Kalau hanya berdasarkan kesepakatan adat, sulit menegakkan aturan. Dengan SK Bupati, ada dasar hukum kuat,” ujarnya.

Proses pengakuan hutan adat memang tidak sederhana. Ada tarik menarik antara mekanisme adat dan jalur hukum formal. Pemerintah desa berharap SK Bupati bisa segera turun, disusul SK Kementerian Kehutanan. Namun sejauh ini, pemda masih berhati-hati karena belum ada regulasi teknis.

“Kalau lewat hutan desa, panjang prosesnya. Lebih mudah kalau melalui adat,” ujar Alamuddin. Lembaga adat desa pun sudah dibentuk, dengan Kaharuba sebagai pemimpin, didampingi lima suku lain di Enggano. Struktur ini menjadi basis kelembagaan untuk mengelola hutan adat ke depan.

Bagi masyarakat, pengukuhan hutan adat tidak hanya soal air dan burung. Ada harapan munculnya manfaat ekonomi berkelanjutan. “Kalau nanti sudah diakui, bisa dikembangkan ekowisata. Danau Pulau indah, habitat burungnya kaya. Bisa jadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) desa tanpa merusak hutan,” terangnya.

Candri bilang, prioritas tetap menjaga warisan leluhur. “Jabatan kepala desa bisa berganti, tapi hutan ini harus tetap ada. Itu titipan untuk anak cucu,” ujarnya.

Bentang alam Pulau Enggano yang terlihat begitu menawan. Foto drone: Falahi Mubaork/Mongabay Indonesia

 

Enggano adalah pulau kecil di ujung barat Samudra Hindia. Luasnya hanya 400 kilometer persegi, dihuni sekitar 5.000 jiwa dari enam suku asli. Dalam kerentanan pulau kecil, hutan Danau Pulau menjadi penopang kehidupan: menyimpan air, memberi pangan, menjaga keseimbangan ekologi.

Namun warisan ini menghadapi tantangan perubahan generasi, perambahan kebun, perburuan satwa, dan iklim ekstrem. Upaya pengukuhan hutan adat adalah ikhtiar kolektif agar warisan itu tidak hilang. Seperti kata Zulvan, “Orang Enggano lahir di surga, tapi sering lupa bahwa ini surga. Kalau tidak disadarkan, surga itu bisa hilang.”

 

*****

 

Peta Jalan, Menuju Pengakuan Hak dan Wilayah Adat di Pulau Enggano

Exit mobile version