Mongabay.co.id

Opini: Orangutan Tapanuli di Ambang Kepunahan

Kita hidup di zaman ketika punahnya satu spesies bukan lagi karena bencana alam, tetapi oleh ambisi dan kelalaian manusia. Orangutan Tapanuli, kera besar yang hanya hidup di satu titik kecil di dunia, di Sumatera Utara,  Indonesia, kini berdiri di tepi jurang kepunahan. Pertanyaannya bukan lagi “siapa yang harus diselamatkan?” tetapi “mengapa kita terus menciptakan kehilangan?”

 

Kehidupan di bumi telah sudah mengalami lima kali kepunahan massal yang menyebabkan penurunan tajam keanekaragaman hayati. Saat ini, bumi sedang memasuki kepunahan massal keenam, dengan penanda menghilangnya berbagai satwa bertubuh besar yang sebagian besar karena satu spesies dominan, yaitu,  manusia (Homo sapiens).

Manusia memiliki andil dalam kepunahan sejumlah satwa di bumi. American Museum of Natural History bahkan mencatat manusia merupakan ancaman terbesar bagi banyak spesies di bumi.

Data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat,  saat ini ada 47.000 spesies masuk kategori terancam punah, dari sekitar 169.400 spesies yang berhasil teridentifikasi.

Dari jumlah itu, 41% merupakan kelompok hewan amfibi. Hiu dan pari menyusul dengan persentase 37%, mamalia 27%, reptil 21%, dan kelompok burung 12%.

Angka ini menunjukkan, tekanan keanekaragaman hayati makin meluas ke berbagai kelompok fauna.

Indonesia,  merupakan negara yang memiliki mamalia dengan status terancam punah tertinggi di dunia. Beberapa spesies mamalia terancam punah, antara lain, harimau, gajah, badak, dan orangutan, merupakan spesies kunci yang memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Meskipun jumlah mereka sedikit, namun dampak ekologis besar. Hilangnya satu spesies kunci dapat mengganggu struktur komunitas, menurunkan keanekaragaman hayati, bahkan memicu keruntuhan ekosistem secara keseluruhan.

Sayangnya, peran penting keanekaragaman hayati kerap terabaikan karena dampak tidak langsung manusia rasakan.

Inilah anak orangutan Tapanuli yang ditemukan mati di area proyek PLTA Batang Toru. Foto: Istimewa

Padahal, pengalaman dari berbagai peristiwa masa lalu menunjukkan, hilangnya satu spesies kunci dapat memicu efek berantai besar terhadap komponen lain di ekosistem—fenomena ini dikenal sebagai trophic cascade.

Pembangunan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan justru menjadi ancaman serius bagi kelestarian ekosistem. Deforestasi karena ekspansi industri, infrastruktur, dan pertambangan, seringkali menyasar hutan-hutan penting yang belum terlindungi secara hukum.

Indonesia tidak lagi menjadi ruang uji coba ekologi atau “laboratorium alam” untuk memahami dinamika spesies liar dalam kondisi terkendali melainkan menjadi cerminan nyata dari krisis ekologi yang berlangsung.

Lemahnya penegakan hukum dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat minim mempercepat kerusakan ini. Ia secara langsung mengancam keberadaan satwa liar seperti orangutan, yang sebagian besar habitat berada di luar kawasan konservasi.

Hutan Batang Toru dengan aliran sungai yang mengalir dan menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar. Ia juga habitat orangutan Tapanuli. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Habitat orangutan banyak di luar kawasan konservasi

Berdasarkan Dokumen SRAK Orangutan Indonesia 2019-2029, lebih 70% habitat orangutan di luar kawasan konservasi. Perlindungan lemah terhadap kawasan ini menimbulkan kerusakan begitu masif, hingga banyak kasus kematian orangutan di beberapa tempat.

Pada Agustus 2024, ada satu orangutan Tapanuli berusia satu tahun tewas di dekat proyek PLTA Batang Toru dengan pengelola PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE).

Konflik antara manusia dan orangutan pun meningkat, terutama ketika orangutan masuk ke kebun warga buntut jalur jelajah mereka terputus dan berkurangnya sumber pakan akibat deforestasi.

Orangutan Tapanuli, spesies baru yang teridentifikasi pada 2017, hanya ada di hutan Batang Toru, Sumatera Utara.

Perkiraan populasi  jenis ini antara 577-760 orangutan dengan luas habitat 1.051,32 km persegi terbagi ke dalam dua metapopulasi yaitu Blok Barat dan Blok Timur.

Terdapat juga populasi di sekitar Cagar Alam Sibual-buali dan Cagar Alam Dolok Sipirok. Secara genetik, spesies ini lebih dekat dengan orangutan Kalimantan daripada orangutan Sumatera.

Sebagai satwa arboreal dengan daya jelajah harian 760,73 – 1.089,28 m/hari, orangutan sangat bergantung pada ketersediaan pakan di kanopi hutan.

Lamanya jelajah harian dipengaruhi oleh kelimpahan dedaunan, bunga, dan buah matang.

Mereka mengkonsumsi 1-25 jenis makanan per hari dengan porsi terbesar berupa buah hingga dianggap sebagai frugivora dominan. Beberapa studi menunjukkan, orangutan Tapanuli mengkonsumsi lebih dari 191 spesies tumbuhan atau sekitar 27,76% dari tumbuhan di ekosistem Batang Toru.

Sekitar 80-90% makanan mereka berasal dari pohon, yang biasa ditemukan di strata tengah hingga atas hutan. Aktivitas makan di permukaan tanah relatif jarang, terutama oleh betina dan individu muda.

Karena itu, orangutan juga disebut sebagai spesies payung (umbrella species), dengan aktivitas sebagian besar di atas pohon.

Orangutan memakan dan menyebarkan biji dari ratusan jenis tumbuhan hutan, termasuk buah berduri seperti durian dan buah kecil seperti ara. Tak ada spesies lain yang memiliki jangkauan pergerakan dan preferensi makan seluas orangutan hingga jika mereka punah, peran ini tidak dapat tergantikan.

Meskipun ada spesies lain yang juga menyebarkan biji atau memakan buah seperti beruang, rangkong, atau primata lain, mereka tidak dapat menggantikan fungsi ekologis orangutan sepenuhnya.

Selain itu, dampak kehilangan orangutan bersifat sistemik.  Berarti,  perubahan tidak hanya terjadi pada satu jenis pohon, tetapi bisa menjalar ke penurunan keanekaragaman hayati tumbuhan, hewan yang bergantung pada pohon buah, hingga perubahan mikroklimat hutan.

Karena itu, konservasi orangutan penting bukan hanya untuk menyelamatkan satu spesies, juga menjaga fungsi dan ketahanan seluruh ekosistem hutan tropis.

Orangutan Tapanuli yang hanya ada di hutan Batang Toru. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Ancaman spesies terlangka

Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) bukan hanya spesies orangutan terbaru, juga paling terancam punah. Mereka menjadi simbol dari krisis lingkungan yang terjadi dalam diam.

Spesies ini memiliki karakteristik unik secara genetis, vokal, dan morfologis dan yang paling penting, hanya ada satu tempat di dunia yang menjadi rumah mereka: Batang Toru.

Sayangnya, habitat yang sempit ini terancam proyek infrastruktur seperti PLTA Batang Toru, geothermal, tambang emas, dan konsesi hutan tanaman industri. Meski berizin secara hukum, banyak dari proyek ini berada di hutan alam yang penting secara ekologis.

Contohnya, wilayah kontrak kerja tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung di Tapanuli Utara seluas 8.170 hektar, Tapanuli Tengah 9.625 hektar, dan Tapanuli Selatan 12.835 hektar.

Karena itu, Walhi Sumut dan beberapa lembaga masyarakat sipil lain menyerukan peninjauan kembali izin-izin ini untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Fragmentasi habitat akibat pembangunan memecah populasi orangutan menjadi kelompok-kelompok kecil yang terisolasi, meningkatkan risiko perkawinan sedarah, penurunan keanekaragaman, dan kematian akibat perubahan lingkungan.

Penelitian di Kalimantan menunjukkan,  efek tepi akibat fragmentasi dapat menurunkan kekayaan spesies sampai 21% dan menurunkan pertumbuhan tanaman 23-25% (Astiai et al., 2018).

Worldometer dalam “CO2 Emissions by Country” (2023) melaporkan, Indonesia menempati posisi ketujuh di daftar negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Bappenas menunjukkan, pada 2022 emisi GRK Indonesia mencapai 1.800 metrik ton CO₂ equivalent.

Dari angka itu, lima sektor utama menjadi penyumbang emisi terbesar, sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan atau agriculture, forestry, and other land use (FoLU) memegang peran paling dominan, 55% dari total emisi.

Energi berada di posisi kedua dengan kontribusi 26% emisi nasional, lalu sektor transportasi, sampah dan air limbah, serta sektor proses industri dan penggunaan produk (IPPU).

Data ini menunjukkan,  Indonesia termasuk dalam jajaran negara dengan jejak karbon besar dengan sumber emisi utama berasal dari sektor yang berkaitan langsung dengan pembukaan hutan dan penggunaan lahan.

Ironisnya, deforestasi di Indonesia kebanyakan berada di dalam konsesi. Laporan tahunan Simontini 2024 mengungkap, fakta mengejutkan, 97% deforestasi di Indonesia sepanjang 2024 terjadi di dalam kawasan berizin.

Temuan itu menandakan, hilangnya hutan-hutan alam bukan lagi dominan karena perambahan liar, melainkan aktivitas legal melalui izin resmi negara.

Hal ini memperjelas fakta, proyek-proyek pembangunan yang menyasar kawasan hutan alam meski legal secara izin menjadi kontributor utama terhadap krisis iklim dan hilangnya ekosistem penting.

HUtan Bantang Toru merupakan habitatnya orangutan tapanuli. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Menjaga habitat

Seringkali, konservasi berhadapan dengan dilema,  menyelamatkan spesies atau mendorong pembangunan. Pertanyaannya,  bukan lagi “apa yang lebih penting,” melainkan “apa yang bisa menjamin keberlanjutan jangka panjang.”

Dalam konteks ini, perlindungan berbasis habitat adalah jawaban yang jauh lebih fundamental daripada pendekatan perlindungan spesies semata.

Pembangunan yang benar-benar berkelanjutan tidak bisa berjalan dengan menyingkirkan yang paling rentan. Kalau proyek-proyek infrastruktur terus mengabaikan keberadaan spesies endemik dan masyarakat lokal demi alasan “manfaat nasional”, maka yang terbangun bukanlah kemajuan, melainkan jurang kehilangan kian dalam.

Perlindungan spesies tak cukup hanya melalui status konservasi. Langkah paling penting adalah menjaga habitat aslinya. Habitat yang mendukung kehidupan orangutan adalah hutan dengan tajuk lebat, kanopi tinggi, dan produktivitas buah cukup.

Orangutan adalah spesies dasar dalam konservasi, kehilangan mereka mencerminkan rusaknya keseluruhan ekosistem hutan hujan tropis.

Dalam situasi yang mengkhawatirkan ini, UU No. 32/2024 tentang Perubahan atas UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) memberikan secercah harapan.

Salah satu terobosan, pengakuan atas areal preservasi dalam Pasal 7 ayat (4) yang mengatur, wilayah bernilai konservasi tinggi di luar kawasan konservasi resmi (KSA-KPA dan KKP-W3PK). Ini membuka peluang untuk melindungi habitat penting orangutan lebih fleksibel namun tetap kuat secara hukum. Terutama, di areal penggunaan lain (APL) yang selama ini menjadi celah ekspansi industri.

Meskipun secara normatif ini merupakan langkah maju dalam memperluas cakupan perlindungan berbasis nilai konservasi, namun dalam praktik muncul kekhawatiran.  Bahwa,  penetapan areal preservasi ini akan mengulangi pola pemerintah dalam menetapkan kawasan konservasi lain, tanpa pelibatan masyarakat yang terdampak langsung.

Kalau tidak ada mekanisme partisipasi kuat, kebijakan ini berisiko menjadi klaim sepihak negara atas ruang hidup masyarakat lokal dan adat, yang justru dapat memicu konflik baru di tapak.

Operasi tambang emas Martabe, yang menggerus hutan Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Jangan ulangi kegagalan

Sejarah membuktikan, punahnya spesies kunci berdampak jauh melampaui hilangnya satu makhluk dari muka bumi. Ia turut mengganggu keseimbangan seluruh rantai kehidupan.

Kini, kemajuan teknologi memungkinkan manusia bereksperimen untuk menghidupkan kembali spesies punah melalui rekayasa genetika. Namun, spesies hasil rekayasa tidak serta-merta dapat menggantikan fungsi ekologis yang hilang dari leluhurnya di alam liar.

Contoh, perusahaan bioteknologi asal Amerika Serikat, Colossal Biosciences, baru-baru ini mengumumkan,  mereka berhasil “menghidupkan kembali” dire wolf—serigala purba yang punah sekitar 10.000 tahun lalu.

Namun, itu bukanlah dire wolf sejati, melainkan serigala abu-abu modern yang dimodifikasi secara genetik agar menyerupai nenek moyangnya.

Tujuan dari eksperimen ini adalah mengembalikan peran ekologis yang pernah manusia mainkan di masa lalu.

Pertanyaannya, fungsi ekologis seperti apa yang bisa pulih dari hewan hasil laboratorium? Ketika hewan besar dalam lingkungan buatan dan lepas ke alam liar, perilaku mereka cenderung berbeda dan kemampuan bertahan hidup belum tentu sebanding dengan spesies asli yang punah.

Bayi kembar orangutan Tapanuli dengan induknya ini terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

Alih-alih mencoba mengisi kekosongan ekologis dengan menciptakan kembali spesies yang hilang, pendekatan lebih bijak adalah menjaga spesies kunci yang masih hidup saat ini, terutama mereka yang berada di ambang kepunahan. Salah satunya, orangutan Tapanuli.

Melindungi orangutan Tapanuli bukan hanya tentang menyelamatkan satu spesies unik. Ia juga tentang menjaga keseimbangan iklim, memperkuat kesuburan tanah, dan memastikan ketersediaan air bersih di masa depan.

Ekosistem Batang Toru, satu-satunya tempat hidup orangutan Tapanuli di dunia, bukan hanya rumah bagi spesies langka, juga penopang kehidupan bagi manusia sekitarnya.

Ketika hutan ini rusak atas nama pembangunan, bukan hanya orangutan yang akan hilang, juga keutuhan lanskap dan fungsi ekologis tak tergantikan.

Pemulihan lanskap yang rusak jauh lebih rumit daripada mempertahankan sejak awal. Tidak ada jaminan spesies punah bisa kembali. Tak ada juga kepastian, upaya rekayasa genetika bisa menyelamatkan dari krisis keanekaragaman hayati.

Karena itu, melindungi habitat tersisa menjadi langkah paling logis dan berkelanjutan. Tidak ada planet lain, tak ada orangutan Tapanuli kedua.

Yang kita miliki hanyalah kesempatan sekarang, untuk melindungi yang tersisa, sebelum semua benar-benar hilang,  hanya nama yang tersisa.

Terowongan bawah tanah yang dibangun oleh PT Dahana di Batang Toru untuk kepentingan PLTA pada 2022. Foto: Website Kementerian BUMN

 

*Penulis adalah Riezcy Cecilia Dewi, Juru Kampanye Satya Bumi. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

*****

Ekspansi Tambang Emas Martabe Ancam Orangutan Tapanuli

 

Exit mobile version