Mongabay.co.id

Nasib Pangan Lokal Ketika Pengakuan Wilayah Adat Minim

 

 

 

 

Wilayah-wilayah adat di negeri ini merupakan tempat sumber-sumber keanekaragaman pangan lokal. Segala sumber nutrisi ada di wilayah/hutan adat  dari  aneka karbohidrat, sayur mayur, buah-buahan sampai satwa buruan.  Sayangnya, segala kekayaan sumber pangan itu berada di ujung tanduk kala pengakuan dan perlindungan wilayah adat tertatih.

Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyebutkan, ada sekitar 4,9 juta hektar di wilayah adat merupakan areal budidaya atau pertanian.

“Ini sebagai fondasi dari sistem pangan lokal yang mandiri dan berkelanjutan,” kata Kasmita Widodo, Kepala BRWA dalam rilis kepada media.

Secara keseluruhan badan ini merilis data terbaru status pengakuan wilayah adat di Indonesia.

Sampai Agustus 2025, BRWA mencatat lebih 33,6 juta hektar pemetaan partisipatif wilayah adat dan sudah daftarkan ke penerintah. Ia mencakup ribuan komunitas dari pelbagai pulau tetapi hanya ada pengakuan 18,9% melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah.

Kasmita menyebut ketimpangan itu menunjukkan langkah lambat pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi masyarakat adat.

Padahal, agenda “Asta Cita” pemerintahan Prabowo–Gibran berkomitmen memberikan perlindungan HAM, kedaulatan pangan, pelestarian lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan.

“Pengakuan pondasi penting dari upaya perlindungan dan pemajuan hak Masyarakat Adat,” kata Widodo.

Dia menekankan, tanpa pengakuan resmi, wilayah adat akan terus rentan terhadap perampasan lahan, ekspansi industri, dan kebijakan pembangunan yang menggerus hak-hak mereka.

Data BRWA juga menunjukkan, izin industri yang masuk ke wilayah adat mencapai 21,%6, melampaui luasan wilayah yang diakui secara hukum 18,9%.

Kondisi ini memperlihatkan pemerintah justru memberi ruang lebih besar bagi kepentingan industri ketimbang melindungi hak masyarakat adat.

Widodo mendesak,  pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan mengintegrasikan peta wilayah adat ke dalam Kebijakan Satu Peta Nasional.

“Tanpa langkah konkret, janji perlindungan dalam Asta Cita hanya akan jadi retorika politik,” katanya.

Pangan dari singkong khas masyarakat adat di Banten. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

Nasib pangan lokal

Tanpa kepastian hukum, upaya wilayah adat dalam menjaga keanekaragaman hayati termasuk untuk menopang pangan lokal terancam hilang.

Krisis iklim dan degradasi lahan kini jadi tantangan ganda yang mengancam keberlangsungan masyarakat adat.

Hanya ada 23,9 juta hektar hutan adat yang masih lestari. Namun, perampasan lahan berbasis “green grabbing” dan pembangunan ekstraktif membuat perlindungan wilayah adat makin mendesak.

Minimnya pengakuan wilayah adat, katanya,  bukan cuma soal pelanggaran hak, juga ancaman serius bagi kedaulatan pangan. Tanpa pengakuan, pemerintah bebas mendorong program pangan berskala besar seperti pengembangan pangan skala besar (food estate)  yang dalam praktiknya justru membabat hutan adat.

Di Kalimantan Tengah, misal, sedikitnya 3.000 hektar wilayah adat di sekitar Kapuas dan Pulang Pisau untuk proyek food estate berbasis singkong dan padi, mengorbankan lahan hutan yang selama ini menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan air bersih bagi komunitas setempat.

Proyek strategis nasional (PSN) dua juta hektar di  Kabupaten Merauke, Papua Selatan, memengaruhi hutan adat, terutama di Ilwayab yang berdampak pada Suku Malind Anim dan Suku Khimahima.

Alih fungsi lahan ini tak hanya menghilangkan sumber pangan lokal, juga memutus hubungan budaya dan pengetahuan tradisional yang telah diwariskan turun-temurun.

BRWA bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat dan integrasi peta wilayah adat ke dalam Kebijakan Satu Peta Nasional.

“Selama wilayah adat kami belum diakui dan dilindungi, ancaman terhadap pangan lokal dan hutan akan terus membayangi,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN.

Negara, katanya,  harus segera bertindak, segera sahkan RUU Masyarakat Adat dan memperluas pengakuan wilayah adat termasuk hutan adat, tanah ulayat, dan wilayah pesisir,” .

Mama-mama Papua, berjualan dari hasil panen di hutan adat mereka. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

Peran perempuan

Perempuan adat berperan sentral dalam menjaga pengetahuan tradisional dan mewariskan kepada generasi muda adat. Semua itu, katanya,  bergantung pada pengakuan dan perlindungan wilayah adat.

Data BRWA menunjukkan, sekitar 4,9 juta hektar wilayah adat untuk pertanian dan budidaya yang menopang kebutuhan pangan komunitas.

Di lahan inilah perempuan adat mengelola praktik tradisional seperti ladang gilir balik, kebun campur (agroforestry), pengelolaan air berbasis pengetahuan lokal, hingga pelestarian bznih asli yang bebas dari rekayasa genetik.

Sistem pangan lokal yang perempuan adat terbukti mampu menghasilkan beragam komoditas seperti padi lokal, sagu, umbi-umbian, sayur hutan, rempah, hingga tanaman obat.

Semua itu tanpa merusak hutan atau meracuni tanah dengan bahan kimia sintetis. Mereka juga mengatur siklus tanam berdasarkan pengetahuan iklim tradisional, yang semakin relevan di tengah krisis iklim.

Di Lembah Baliem, Papua Pegunungan, perempuan adat dari Suku Dani mempraktikkan sistem pertanian yang memadukan umbi-umbian, sayur hutan, dan rempah lokal dengan pola tanam mengikuti siklus alam.

Praktik ini menjaga keanekaragaman pangan sekaligus kesuburan tanah.

Sementara itu, di pedalaman Kalimantan Barat, perempuan adat Dayak menjaga varietas padi lokal yang  jaga bergiliran di ladang berpindah.

Selain untuk konsumsi keluarga, padi itu menjadi bagian dari cadangan pangan komunitas yang dibagikan saat paceklik.

“Perempuan dat adalah penjaga pangan lokal. Mereka menjaga benih, mengelola lahan, dan memastikan pangan lokal tetap ada untuk generasi mendatang,” kata Rukka.

“Kalau wilayah adat mereka hilang, kita semua akan kehilangan masa depan pangan kita,” katanya.

Lagi-lagi, seluruh upaya ini sangat bergantung pada pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Tanpa kepastian hukum, perempuan adat akan kehilangan akses ke lahan, air, dan sumber pangan, yang berarti pula hilangnya benteng terakhir kedaulatan pangan lokal.

Sahkan RUU Masyarakat Adat. Foto: Saparih SATURI/MONGABAY INDONESIA

Desak pengesahan RUU Masyarakat Adat

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat sudah 16 tahun bergulir tanpa kepastian hukum.

Sejak pertama kali masuk program legislasi nasional (prolegnas) dan dibahas pada periode DPR 2009–2014, draf UU ini terus mengalami penundaan.

AMAN mencatat, berulang kali RUU ini masuk agenda legislasi, namun belum pernah sampai ke tahap pengesahan.

Bagi koalisi masyarakat sipil, keterlambatan ini bukan sekadar soal prosedur, melainkan juga ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat dan kedaulatan pangan lokal.

Terkait RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar dari Sekretariat Koalisi Kawal UU Masyarakat Adat mengatakan,  capaian pengakuan sangat kecil karena prosedur dalam berbagai kebijakan sekarang ini sangat kompleks.

Situasi ini, katanya,  mesti respons melalui percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat,” jelasnya.

Ruko, menyebut penundaan pengesahan RUU ini berarti membiarkan masyarakat adat terus berada dalam situasi rawan perampasan wilayah, diskriminasi kebijakan, dan hilangnya sumber kehidupan.

“RUU Masyarakat Adat bukan sekadar dokumen hukum, tetapi payung perlindungan bagi jutaan warga adat di seluruh Indonesia. Setiap tahun kita menunda, berarti kita memperbesar risiko hilangnya tanah, hutan, dan budaya mereka,”  kata Rukka.

Sagu, pangan pokok daerah-daerah di Indonesia Timur, seperti di Maluku dan Papua. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

 

*****

Menyoal Sumber Pangan Lokal dan Kehidupan Petani

 

Exit mobile version