Mongabay.co.id

Cassius, Buaya Terberat Dunia yang Menjalani Hidup Lebih dari Satu Abad

Cassius, buaya air asin terberat di dunia, beristirahat di kolam penangkarannya di Marineland Melanesia. Dia mempunyai bobot sekitar 1,3 ton dan usia diperkirakan hingga 120 tahun (Foto: Marineland Melanesia)

Selama jutaan tahun, buaya air asin (Crocodylus porosus) telah menjadi penguasa tanpa tanding di muara, sungai, dan garis pantai dari Asia Tenggara hingga Australia utara. Mereka adalah predator puncak yang mampu memangsa hampir semua hewan  yang kurang waspada yang berada di jangkauan rahang sang buaya. Meski banyak yang tumbuh besar, hanya sedikit yang mencapai ukuran luar biasa, dan lebih sedikit lagi yang bertahan hidup selama satu abad.

Cassius adalah pengecualian. Dengan panjang 5,48 meter dan bobot sekitar 1,3 ton, ia memegang gelar sebagai buaya terberat di dunia yang hidup di penangkaran. Lebih dari itu, ia bertahan melewati rentang waktu tiga abad, dari awal 1900-an hingga 2024. Kisah hidupnya bukan hanya tentang rekor ukuran, tetapi juga tentang bagaimana seekor predator purba bisa menua di tengah pengawasan manusia.

Baca juga: Viral Buaya Raksasa Mirip ‘Godzilla’, Inilah Fakta Ilmiahnya

Dari Konflik ke Penangkaran

Cassius diyakini lahir di alam liar Northern Territory, Australia, pada awal abad ke-20 — masa ketika garis pantai wilayah ini masih nyaris sepenuhnya liar, dengan hutan bakau rapat, muara luas, dan perairan payau yang menjadi wilayah berburu sempurna bagi buaya air asin. Selama puluhan tahun, Cassius tumbuh menjadi predator puncak, menguasai aliran sungai dan teluk di sekitarnya. Tubuhnya yang masif dan kekuatan rahangnya membuatnya berada di puncak rantai makanan, tanpa lawan berarti selain sesama buaya jantan besar.

Namun, di awal 1980-an, interaksi manusia dengan buaya mulai meningkat seiring berkembangnya aktivitas perikanan dan peternakan di kawasan tersebut. Cassius mulai dikenal warga setempat sebagai “buaya bermasalah” setelah beberapa kali terlihat mendekati perahu nelayan, menggulingkan kano, dan memangsa ternak yang merumput di tepian sungai. Di era itu, buaya yang dianggap berbahaya biasanya akan segera diburu dan dibunuh, sebuah takdir yang hampir menimpa Cassius.

Cassius, buaya raksasa yang digambarkan ahli buaya Graham Webb sebagai “seekor buaya tua, besar, penuh bekas luka, dan sangat waspada”, saat ditangkap di Northern Territory pada 1984 — awal dari perjalanan hidupnya menuju rekor sebagai buaya terberat di dunia. (Foto: Graham Webb)

Kabar tentang sang raksasa akhirnya sampai ke telinga George Craig, penangkap buaya legendaris sekaligus pemilik Marineland Crocodile Park di Green Island, Queensland, Australia. Craig memutuskan untuk menyelamatkan Cassius, memindahkannya dari habitat liar ke fasilitas penangkaran. Proses penangkapannya penuh tantangan: tim harus memantau pergerakan Cassius selama berhari-hari, memanfaatkan arus pasang-surut untuk mendekatinya secara diam-diam. Saat waktu yang tepat tiba, mereka menggunakan perangkap besar dari rangka baja dan jaring tebal untuk mengurungnya. Begitu Cassius terjebak, ia mengamuk, mengguncang perangkap dengan kekuatan luar biasa, memercikkan lumpur dan air setinggi manusia.

Setelah berhasil diamankan, tubuh Cassius diikat dengan tali tambang besar, rahangnya dikunci dengan pita kulit tebal untuk mencegah gigitan mematikan, lalu diangkut menggunakan truk datar khusus menuju dermaga. Dari sana, ia dibawa dengan kapal ke Green Island, menempuh perjalanan berjam-jam yang melelahkan. Banyak saksi mengingat momen ketika Cassius pertama kali diturunkan di Marineland: sosok gelap raksasa dengan punggung bergerigi, matanya yang kuning tajam mengamati setiap gerakan manusia di sekitarnya.

George Craig, penangkap buaya legendaris sekaligus pemilik Marineland Melanesia, memberi makan Cassius — buaya air asin raksasa yang ia selamatkan dari konflik di Northern Territory pada 1984. (Foto: Marineland Melanesia)

Hari-hari pertama Cassius di penangkaran menjadi tontonan langka bagi warga dan wisatawan. Pengunjung terpesona oleh ukurannya yang luar biasa, sementara pawang memerlukan strategi khusus untuk memberinya makan dan memastikan ia tidak stres. Pakan daging segar diberikan dari jarak aman menggunakan tongkat panjang, dan setiap interaksi dilakukan dengan kehati-hatian tinggi. Lingkungan kolamnya didesain menyerupai habitat alami di Northern Territory, lengkap dengan area berpasir untuk berjemur dan air payau untuk berendam.

Ahli buaya asal Australia, Graeme Webb, yang pernah mengamati Cassius dari dekat, menyebutnya sebagai “a big old gnarly crocodile” , seekor buaya tua dengan tubuh penuh bekas luka, tanda puluhan tahun pertempuran di alam bebas. Webb memperkirakan saat ditangkap, Cassius sudah berusia antara 30 hingga 80 tahun, dan pada 2023 usianya bisa mencapai 120 tahun.

Baca juga: Pertarungan Hiu Melawan Buaya, Siapa Pemenangnya?

Mengapa Cassius Bisa Jadi yang Terberat?

Pertumbuhan luar biasa Cassius merupakan hasil dari kombinasi unik antara faktor biologis, genetika, dan kondisi lingkungan yang mendukung. Sebagai Crocodylus porosus, ia berasal dari spesies buaya terbesar di dunia — predator puncak yang secara genetis mampu tumbuh lebih dari enam meter dan menembus bobot satu ton. Di alam liar, potensi itu jarang tercapai karena tekanan lingkungan seperti kompetisi antarjantan, keterbatasan sumber makanan, dan risiko cedera serius. Namun Cassius hidup dalam situasi berbeda. Usianya yang panjang, sekitar 120 tahun saat mati, memberinya waktu puluhan dekade untuk terus menambah massa tubuh, sesuatu yang hampir mustahil dicapai oleh buaya liar modern.

Cassius, buaya air asin (Crocodylus porosus) raksasa di Marineland Melanesia, membuka rahangnya yang kuat. Dengan bobot sekitar 1,3 ton dan usia lebih dari satu abad, ia tercatat sebagai buaya terberat di dunia. (Foto: FFelxii, CC BY-SA 4.0)

Penelitian terbaru mendukung penjelasan ini. Studi jangka panjang selama 50 tahun terhadap populasi C. porosus di Australia Utara menemukan bahwa ketika populasi ini dilindungi dari perburuan, pola makan mereka mengalami lonjakan besar, dari kurang dari 20 kilogram mangsa per kilometer persegi pada 1979 menjadi sekitar 180 kilogram per kilometer persegi pada 2019. Angka ini menunjukkan betapa besarnya kontribusi buaya raksasa terhadap dinamika ekosistem pesisir. Prof. Hamish Campbell dari Charles Darwin University menegaskan, “In terms of the amount they’re eating and the amount they’re excreting, it’s incredibly high purely because of their biomass… equal or even greater than … lions on Serengeti or wolves in Yellowstone.”, dari segi jumlah yang mereka makan dan yang mereka keluarkan, angkanya sangat tinggi semata-mata karena massa tubuh mereka, setara bahkan lebih besar daripada singa di Serengeti atau serigala di Yellowstone. Serengeti adalah ekosistem savana luas di Afrika Timur, terutama di Tanzania dan sebagian Kenya, terkenal sebagai habitat ribuan predator besar dan lokasi migrasi satwa liar terbesar di dunia. Sementara Yellowstone adalah taman nasional di Amerika Serikat yang membentang di Wyoming, Montana, dan Idaho, terkenal dengan populasi serigalanya yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem padang rumput dan hutan di wilayah tersebut.

Dari sisi fisiologi, riset terhadap metabolisme buaya air asin di penangkaran menunjukkan bahwa individu besar memiliki laju metabolik yang efisien, memungkinkan mereka mengonversi energi dari makanan secara optimal dan mempertahankan pertumbuhan stabil meski sudah berusia lanjut. Cassius memanfaatkan sepenuhnya kondisi penangkaran yang bebas dari ancaman predator, kompetisi antarjantan, atau kesulitan berburu. Dengan suplai makanan rutin, perawatan kesehatan teratur, dan lingkungan minim stres, energi yang biasanya terbuang untuk mempertahankan wilayah atau berburu di alam liar justru diarahkan sepenuhnya untuk pertumbuhan tubuh.

Hasilnya adalah seekor buaya dengan massa otot luar biasa, lapisan lemak yang cukup untuk menopang hidup di usia tua, dan panjang tubuh yang membuatnya menjadi ikon global. Dalam konteks biologi konservasi, Cassius adalah contoh langka dari potensi pertumbuhan maksimal Crocodylus porosus yang hampir mustahil ditemukan lagi di alam liar,  sebuah kombinasi antara gen unggul, umur panjang, dan lingkungan yang mendukung.

Baca juga: Nasib Buaya Kuba yang Terancam Punah

Akhir Hayat Sang Raksasa

Cassius meninggal pada bulan Juli 2024, di usia yang luar biasa panjang untuk seekor buaya — sekitar 120 tahun, menjadikannya salah satu buaya tertua yang pernah tercatat secara ilmiah. Kepergiannya diumumkan langsung oleh pihak Marineland Crocodile Park, yang menyebut faktor usia lanjut sebagai penyebab utama, tanpa indikasi penyakit berat atau cedera. Bagi para pawang yang telah merawatnya selama hampir empat dekade, hari itu bukan sekadar kehilangan seekor satwa, melainkan perpisahan dengan “rekan kerja” yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.

Kematian Cassius menandai berakhirnya perjalanan hidup seekor predator purba yang pernah hidup di tiga abad berbeda, awal 1900-an, seluruh abad ke-20, hingga dekade kedua abad ke-21. Dalam rentang waktu itu, dunia mengalami perubahan besar: perang, kemajuan teknologi, pergeseran iklim, dan pertumbuhan populasi manusia yang pesat. Cassius, yang lahir di alam liar Northern Territory, melewati semua perubahan itu, bertahan dari persaingan sengit di habitatnya, konflik dengan manusia, hingga akhirnya hidup aman di penangkaran.

Exit mobile version