Mongabay.co.id

Opini: Potret Neo Ekstraktivisme Industri Nikel di Pomalaa

 

 

Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara,  merupakan satu episentrum industri nikel di Indonesia.  Dengan luas wilayah sekitar 264,51 Km2, berdiri di simpang jalan transisi energi global yang berlabel “berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tetapi tampak krusial di kawasan ekstraksi.

Inilah satu kontroversi dari ambisi neoliberalism  dengan istilah “neoekstraktivisme”,  dengan wilayah-wilayah kaya mineral seperti Pomalaa, mengeruk habis sumber daya demi memenuhi logika “dekarbonisasi” di pusat-pusat industri.

Kemudian, nikel jadi kunci bahan baku rendah emisi karena jadi baterai kendaraan listrik, panel surya, hingga turbin angin.

Fenomena ini menegaskan tesis neoekstraktivisme Gudynas (2010) dan Svampa (2019), bahwasanya, negara-negara di dunia selatan tak benar-benar beranjak dari praktik kolonialisasi sumber daya. Justru membingkai dengan logika “pembangunan berkelanjutan” atau “sustainability”.

Negara dan korporasi nasional atau transnasional selalu mengklaim, apabila industri nikel sumber mendatangkan kemakmuran, membuka lapangan kerja, dan memperkuat pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional.

Sayangnya, fakta di lapangan menegasikan masyarakat Pomalaa terjebak konflik agraria, polusi udara, dan kelangkaan air bersih. Juga, sumber penghidupan dan biodiversitas lokal hilang, dan kesenjangan sosial serta ketimpangan relasi kuasa dengan perusahaan tambang.

Petani sawah mengarungi lahan pertanian mereka yang ‘kedatangan’ lumpur merah. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

Jeratan neo-ekstraktivisme

Berangkat dari landasan ekonomi politik kontemporer, apa yang disebut neo-ekstraktivisme merupakan pola pengulangan bentuk kolonial distribusi bahan mentah (raw material), beririsan dengan perluasan kapital di balik jargon transisi energi maupun ekonomi hijau (green economy).

Di Sulawesi Tenggara, tepatnya Kecamatan Pomalaa, kerangka ini terus mengamplifikasi nyata. Terdapat pembangunan proyek pengolahan bijih nikel (smelter) berteknologi high pressure acid leach (HPAL) PT Kolaka Nickel Indonesia (KNI),. Ini bisnis patungan (joint venture) antara mitra perusahaan PT Vale Indonesia (Inco), konsorsium asal Tiongkok bernama Huayou Cobalt, dan produsen mobil asal Amerika Serikat; Ford Motors.

Ini kemudian memiliki peran sentral mengamankan pasokan nikel untuk kebutuhan bahan baku kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dengan nilai investasi mencapai US$ 8,6 miliar-US$ 9 miliar atau Rp143 triliun (asumsi kurs Rp15.945 per US$).

Proyek smelter dan invasi pertambangan ini, sering bermakna satu-satunya penyangga program hilirisasi dan downstream industry nasional. Meski realitas di kawasan produksi, ambisi energi bersih manakala memperluas ruang perampasan sumber daya dengan dimensi degradasi ekologis sepenuhnya masyarakat sekitar yang merasakan.

Sebagaimana Svampa (2019) menyebutkan, neoextractivism tak lagi bergantung pada modal negara semata, tetapi dukungan korporasi asing yang membentuk kontrol pada rantai pasok global.

Nikel dari Pomalaa yang berakhir di pabrik baterai listrik di Tiongkok, Jepang, atau Korea Selatan, menunjang kebutuhan produksi kendaraan listrik di Eropa dan Amerika Serikat. Sedang keadaan di wilayah sekitar tambang, misal, pesisir dan sungai-sungai menjadi saluran lumpur limbah, serta perkebunan seketika berubah seperti cekungan galian.

Mengutip laporan Mongabay (2023), seyogyanya sejak 1976 wajah Pomalaa dan nikel ibarat dua sisi koin yang tidak terpisahkan, sedari PT Aneka Tambang (Antam) mengoperasikan pabrik feronikel pertama kalinya.

Daya rusak di Pomalaa, meluas seiring waktu sampai sekarang, terlebih pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) memberi izin usaha pertambangan (IUP) kepada beberapa perusahaan.

Di balik keuntungan eksportir dan lonjakan saham perusahaan, alibi kesejahteraan justru tak sebanding kerugian ekologis.

Gudynas (2010) mengingatkan, model seperti ini bukan semata-semata akumulasi kapital bahan mentah (raw material), sebaliknya arsitektur hegemoni yang memadatkan relasi kuasa (baca: klientelisme).

Itu berarti, negara secara sadar melindungi izin operasi, menjamin keamanan investasi, dan saat bersamaan melemahkan konflik dan aksi-protes masyarakat. Caranya, dengan membungkam melalui mekanisme konsesi lahan yang tidak transparan.

Pada kondisi berbeda, hasil investigasi Satya Bumi (2025) memperlihatkan paradoks penyerapan tenaga kerja lokal di proyek industri pertambangan di Pomalaa, justru tidak berkelindan dengan hilangnya sumber produksi masyarakat di sana.

Laut pesisir penuh dengan sedimentasi dari lumpur limbah nikel yang hanyut dari hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

Mereka yang awalnya subsisten dengan hasil pertanian dan tangkapan laut, kini terdesak jadi buruh tambang upahan yang rentan teridiskriminasi, bergaji tidak layak, tanpa mendapat jaminan kerja layak dan jangka panjang.

Dramaturgi itu kiranya mengkonfirmasi pandangan Bebbington (2012) yang menegaskan, konflik demikian tatkala lahir dari ketimpangan struktural di mana negara memiliki peran multifungsi sekaligus regulator dan promotor ekstraksi.

Pomalaa,  merupakan ilustrasi ekosida terstruktur dari narasi transisi energi yang senantiasa mengaburkan akar persoalan karena bukan saja terbatas pada masalah teknis produksi nikel.

Namun, keadaan kerap menjadi kendala juga adalah persoalan sosial dari produksi itu sendiri, seperti yang Henry Bernstein (2017) temukan, pertama, siapa memiliki apa, kedua, siapa mengerjakan apa? Lalu, ketiga, siapa mendapatkan apa? dan keempat, apa yang dilakukan terhadap pendapatan itu?

Pada Mei 2025, Satya Bumi, menjembatani perjuangan masyarakat Kabaena, masih satu wilayah administrasi dengan Pomalaa–di forum Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di Paris, Perancis. Tindakan ini bukan sekadar gesture diplomasi yang bersifat advokasi, juga pengingat apabila kerusakan bentang alam dan sumber kehidupan akibat eksploitasi dan hilirisasi nikel di Sulawesi Tenggara bukan lagi isu lokalitas  tetapi bagian dari pusaran rantai pasok global yang sarat kontroversi.

OECD, lembaga yang menilai stabilitas dan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota dan mitra, bahkan meralat proyeksi pertumbuhan Indonesia jadi 5,1% pada 2024 dan 5,2% dalam 2025.

Angka ini memang terdengar meyakinkan di ranah birokrasi, walaupun sebenarnya pertumbuhan berdiri di atas fondasi rapuh.

Gambaran di atas mengingatkan akan kritik Bebbington (2012) tentang bagaimana ekonomi ekstraktif di era neoliberalisme selalu tersaji sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.

Sekalipun,  biaya sosial-ekologis  terjadi di wilayah paling depan. Lebih tepatnya, ruang hidup masyarakat lokal (petani-nelayan), hutan lindung-hutan produksi, hingga kawasan pesisir di Kabaena dan Pomalaa justru berubah bak medan pertarungan dan pengorbanan (sacrifice zone) sumber daya alam.

Dengan ‘pengorbanan besar’ ini demi menggerakkan pabrik-pabrik produksi kendaraan listrik di Amerika, Eropa, Jepang, dan Tiongkok tetap beroperasi.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, bukan berapa persen pertumbuhan produk domestic bruto (PDB) belaka, tetapi siapa yang dapat untung, siapa yang akan memikul dosa ekologis dan disparitas sosial.

Dalam banyak kasus, klaim “hilirisasi nikel” sebaliknya melanggengkan ketergantungan pada nilai lebih (surplus value) tetap berpusat di rantai industri. Sedang risiko kerusakan lingkungan sepenuhnya jadi tanggungan komunitas lokal.

Dengan demikian, perjuangan ke forum OECD, mesti lihat sebagai gugatan politik atas relasi kuasa global, sejatinya percepatan transisi energi tanpa pembongkaran logika ekstraksi kolonial, hanya akan menempatkan Indonesia pada situasi kelam. Ia jadi eksportir bahan mentah murah tidak proporsional dengan dimensi kehancuran ekologi.

Mengingat, secara regional hingga 2024 di Kabupaten Kolaka, persentase penduduk miskin tercatat 11,67% atau sekitar 33.200 jiwa. Meskipun Kolaka memiliki kelimpahan kekayaan alam, angka kemiskinan masih menjadi tantangan.

Kalau tarik dalam teori akumulasi kapital Rosa Luxemburg (mengutip dalam Harvey; 2010),  terlihat, hak atas kepemilikan berubah seiring proses akumulasi menjadi pengambilalihan terhadap hak milik orang lain. Bagaimana pertukaran komoditi berubah menjadi eksploitasi, dan kesetaraan berubah menjadi kekuasaan kelas. Sebab, setiap masyarakat atau teritori yang tersedot atau masuk ke dalam logika pembangunan kapitalis niscaya harus mengalami perubahan-perubahan struktural, institusional dan legal secara besar-besaran.

Laut dan lahan pemukiman warga pesisir terdampak limbah operasi tambang nikel di hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

Hasil subsidi dan sengsarakan rakyat

Ekspansi penambangan nikel di Pomalaa hari ini bukan sekadar angka statistik dari produksi mineral strategis, melainkan cerminan bagaimana sistem neo-ekstraktivisme mereproduksi krisis ekologis dan ketidakadilan sosial yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Temuan Satya Bumi (2025) menyiratkan aktivitas penambangan di Pomalaa mempercepat laju deforestasi di zona tangkapan air, memicu erosi parah, serta mencemari badan sungai. Lumpur limbah pun menurunkan kualitas air irigasi area persawahan dan perkebunan warga, serta penurunan debit air bersih.

Alhasil,  memaksa sebagian masyarakat membeli air bersih atau mengandalkan sumur dangkal dengan kualitas kian terancam limbah tailing tambang.

Degradasi ekologis ini tidak berhenti secara fisik, juga berkelindan dengan ketegangan sosial yang intens. Ketika tanah masyarakat beralih menjadi konsesi pertambangan, relasi sosial warga ikut berubah. Contoh, muncul konflik horizontal karena perebutan kompensasi lahan, saling curiga antar keluarga, hingga kriminalisasi warga yang menolak menyerahkan tanah.

Konflik-konflik seperti itu merupakan gejala khas ekstraktivisme di negara-negara selatan. Ini berarti, negara lebih aktif berfungsi sebagai penjamin kepastian investasi daripada melindungi dan menghormati hak masyarakat terdampak.

Industrialisasi nikel di Pomalaa,  tengah memicu sedimentasi parah, menurunkan produktivitas wilayah tangkap nelayan tradisional. Banyak warga terpaksa beralih jadi buruh tambang musiman dengan pendapatan tak menentu. Ironis, karena kerusakan tambang justru mengharuskan warga menggantungkan hidup dari industri ekstraktif.

Lingkaran setan ketergantungan ini mencerminkan kritikan Gudynas (2010), yang menyebut neoekstraktivisme sebagai bentuk “ketergantungan terbarukan”–mengganti satu krisis dengan krisis baru yang logika pasar kendalikan.

Yang perlu tekankan, hakikat wujud transisi energi dan hilirisasi nikel tak lain merupakan keuntungan ekonomi ke segelintir oligarki energi. Sedangkan konjungtur keretakan ruang hidup dan kesenjangan terdistribusi untuk petani, nelayan, perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat.

Lokasi penambangan ilegal tanpa IUP dan Amdal di Desa Oko-Oko, Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Foto: Gakkum LHK Wilayah Sulawesi.

Deradikalisasi logika transisi energi

Dampak negatif yang mulanya masyarakat khawatirkan benar-benar menjadi kenyataan. Kesejahteraan yang jadi alasan pembangunan sama sekali tak terasa.

Yang terlihat justru petaka demi petaka. Peristiwa demi peristiwa tragis terjadi, mulai dari pembabatan hutan, pencaplokan tanah adat, alih fungsi perkebunan, juga hancurnya harta benda masyarakat.

Kemudian, diskriminasi dan ancaman pemenjaraan bagi mereka yang berlawanan karena mempertahankan haknya. Semua ini berlangsung bagai bait lagu yang tidak pernah berhenti.

Kisah Pomalaa,  tak lain adalah alarm, sejatinya transisi energi yang dapat label ‘berkelanjutan’ hari ini terlalu mudah terbajak menjadi “narasi kosong” jika hanya berjalan dengan proyeksi ekspansi dan hilirisasi tiada batas.

Pomalaa memperlihatkan bagaimana ambisi kendaraan listrik bebas emisi justru lahir dari jejak karbon, lumpur limbah, dan debu industri yang melekat di tengah penindasan.

Inheren dengan catatan Gudynas (2010), jika membiarkan neo-ekstraktivisme merajalela di bawah spanduk dekarbonisasi hanya memindahkan pusat kerusakan dari satu lanskap ke lanskap lain.

Agenda pembangunan berkelanjutan tak cukup dengan teknologi rendah karbon, tetapi harus dengan perlindungan atas lahan, jaminan hak masyarakat adat, dan kontrol publik terhadap arah kebijakan transisi energi.

Hari ini Pomalaa,  tidak hanya lokasi di peta industri pertambangan di Sulawesi Tenggara. Lebih dari itu merupakan bentuk ketelanjangan dari banalitas transisi energi yang mengulangi dan kian mereproduksi ketimpangan struktural dan dehumanisasi. Ia mengorbankan dan mengekstraksi wilayah terdepan demi menjamin rantai pasok bahan baku baterai kendaraan listrik dan memperluas sirkulasi kapital di sektor industri ekstraktif.

Di tengah sorak sorai “energi bersih,” dengung suara minor dari pinggiran ini justru terbungkam, terasingkan, atau dikerdilkan menjadi statistik pertumbuhan ekonomi semu.

Karena itu, jika tak ada pergeseran paradigma dari logika ekstraktif menuju model pembangunan berbasis lokalitas dan restorasi ekologis, maka transisi energi hanya akan mengganti sumber bahan baku dengan memperluas jurang kemiskinan dan kerusakan masif.

Dengan demikian, tanpa reformasi tata kelola pertambangan, perlindungan hak atas tanah, dan penguatan posisi hak masyarakat, produksi kendaraan listrik akan selalu menorehkan catatan kelam di wilayah yang seharusnya terjaga lestari.

 

*Penulis adalah Bapthista Mario Yosryandi Sara, pegiat lingkungan, mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Nasional. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

*****

 

Derita Warga Pomalaa Hidup di Tengah Himpitan Tambang Nikel

 

Exit mobile version