- Pada 15 Juli 2025, Amaq Inang dan ratusan pedagang atau pelaku usaha wisata di Pantai Tanjung Aan, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, akan mengingat sebagai hari paling memilukan. Hari itu, InJourney Tourism Development Corporation (ITDC), selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika bersama tim gabungan menggusur tempat usaha mereka.
- Sekitar 700 personel gabungan dari TNI/POLRI, Satpol PP, Badan Keamanan Desa (BKD) serta keamanan sewaan dari pihak ITDC dikerahkan untuk mengamankan penggusuran ini. Walhasil, para pemilik usaha yang ada di lokasi pun tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa pasrah saat deru suara dari alat berat meratakan tempat usaha mereka dengan tanah.
- Pemerintah mengatakan aksi ini bukan penggusuran, tapi pengosongan sempadan pantai yang merupakan hak ITDC. Pengosongan itu untuk upaya penataan menjadi lebih baik
- Saiful Wathoni, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (PP AGRA) menyesalkan tindakan penggusuran itu. Menurutnya tindakan penggusuran ini brutal. Tidak ada upaya persuasif sejak rencana penggusuran dilakukan. Hanya ada surat perintah pengosongan dari Vanguard (keamanan bayaran ITDC) sejak pertengahan bulan Juni.
Pada 15 Juli 2025, Amaq Inang dan ratusan pedagang atau pelaku usaha wisata di Pantai Tanjung Aan, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, akan mengingat sebagai hari paling memilukan. Hari itu, InJourney Tourism Development Corporation (ITDC), selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika bersama tim gabungan menggusur tempat usaha mereka.
Semula, Amaq berencana membongkar lapak jualan sendiri agar tak rusak dan bisa pakai di tempat lain. Sayangnya, dia kalah cepat karena tim gabungan lebih dulu menggusurnya. “Tadinya saya ingin bongkar sendiri biar tidak rusak, biar bisa digunakan lagi, tapi ya gimana…,’’ kata pemilik warung Rizki itu pasrah.
Hari itu, suasana di pantai berpasir putih yang seharusnya merupakan ruang publik itu tak ubah tempat apel aparat. Ada sekitar 700 personel gabungan dari Polres Lombok Tengah, Satpol PP, Badan Keamanan Desa hingga orang-orang sewaan dari ITDC hadir di lokasi guna melakukan ‘penertiban’.
Amaq pun sempat melihat perdebatan antara Lalu Sungkul, Kepala Dinas Pariwisata Lombok Tengah dengan Kartini, pengelola Aloha Beach Club (ABC) dan wisatawan mancanegara yang menolak penggusuran.
Kalah jumlah, usaha mereka sia-sia. Petugas merobohkan tempat usaha warga itu dengan alat berat. Petugas juga mengamankan suami Kartini,karena kadapatan membawa senjata tajam.
Beberapa wisatawan asing yang sedang liburan tampak menenangkan beberapa pemilik lapak yang menangis. Mereka seperti ikut merasakan kesedihan yang para pedagang alami.
Kartini, termasuk yang paling keras melawan. Tempat usaha ini paling besar di kawasan Tanjung Aan dengan karyawan sekitar 60 orang. Meski belum lama berdiri, wisatawan mancanegara banyak yang menjadikannya sebagai jujugan.
Menurut Kartini, para pedagang sebenarnya ingin berdialog sebelum penggusuran itu. Ruang itu tak pernah ada.. “Kami tidak pernah diberikan ruang berbicara oleh ITDC,’’ katanya.
Padahal, ada ratusan pedagang di Tanjung Aan, serta ratusan orang lain terancam kehilangan pekerjaan.
“Kami tidak dianggap menjadi warga NKRI. KTP yang kami punya itu sia-sia tidak ada gunanya. Kami hanya penjual di warung sempadan pantai tapi pemerintah mengambil alih semuanya,.”
Kartini menyadari, KEK Mandalika adalah kawasan yang pengelolaan oleh ITDC. Namun, Pantai Tanjung Aan adalah ruang publik yang bisa oleh siapapun, termasuk para pedagang. Dia menilai, penggusuran itu tak adil.
Aparat bayaran?
Saiful Wathoni, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (PP AGRA) menyesalkan tindakan penggusuran itu. Pengerahan ratusan aparat gabungan TNI, Polri, Satpol PP itu juga dinilainya berlebihan. Apalagi sampai melibatkan petugas keamanan bayaran.
Di lapangan, petugas bayaran itu juga mengintimidasi para pedagang. Bahkan di lapangan, para keamanan bayaran ini yang terlihat lebih aktif dibandingkan aparat gabungan.
“Pagar dan bangunan milik warga dikoyak dan dihancurkan. Setiap warga yang mencoba melakukan perlawanan diintimidasi dan bahkan satu orang warga pemilik warung diamankan dengan alasan membawa senjata tajam,’’ katanya.
Menurut dia, tindakan penggusuran ini brutal. Tidak ada upaya persuasif sejak rencana penggusuran dilakukan. Hanya ada surat perintah pengosongan dari Vanguard (keamanan bayaran ITDC) sejak pertengahan bulan Juni.
“Ini juga mengherankan, vanguard berwenang menerbitkan surat perintah pengosongan. Padahal, vanguard adalah pihak swasta lembaga penyedia jasa keamanan bagi investor. Tidak ada surat resmi perintah pengosongan dari pemerintah atau bahkan ITDC selaku penanggung jawab kawasan,’’ katanya.
Saiful mendesak, pemerintah mengevaluasi dan menghentikan pembangunan Mandalika sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) karena terus mempertontonkan tindakan-tindakan brutal yang tak patut.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan keprihatinannya atas kejadian di Tanjung Aan. Sundari Waris, Komisioner Komnas Perempuan katakan, konsep awal pengembangan Mandalika adalah untuk pembangunan berwawasan lingkungan guna meningkatkan perekonomian daerah.
“Dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dengan melibatkan partisipasi aktif dan bermakna,’’ katanya, Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Komnas Perempuan mencatat, tujuh temuan sepanjang Mei-Juni 2025 yang berdampak serius pada warga. Antara lain, tidak terpenuhi komitmen awal ITDC kepada warga, menyempit ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat berkurang berdampak langsung pada perubahan kehidupan perempuan.
Temuan lain, kerusakan lingkungan yang mengganggu ekosistem, tidak memadai akses layanan dasar, serta ketimpangan posisi warga sebagai subjek hukum dalam menghadapi dokumen-dokumen hukum yang tidak disertai penjelasan memadai maupun upaya penguatan pemberdayaan.
Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan lain meminta, pemerintah menjamin keselamatan dan perlindungan hak-hak dasar warga, khususnya perempuan dan anak. Pemerintah juga perlu membangun ruang dialog dan partisipasi bermakna, terutama bagi perempuan yang sebagian besar merupakan pemilik warung-warung kecil di area itu.
Dalih pemerintah
Dalam penertiban kawasan Pantai Tanjung Aan pada Selasa (15/7/25) ada dua kejadian yang menjadi pusat perhatian dan viral di media sosial. Pertama, aksi Kepala Dinas Pariwisata Lombok Tengah Lalu Sungkul yang berdebat dengan wisatawan mancanegara (wisman).
Beberapa wisman yang melihat aksi pembongkaran itu merekam dengan ponsel mereka. Lalu Sungkul meminta mereka tidak sembarangan merekam dan meminta wisatawan yang sedang berjemur untuk menyingkir dari lokasi. Kepada mereka, Lalu berdalih akan menata kawasan itu untuk pariwisata.
Kejadian kedua adalah saat aktivis Lalu Hasan Harry Sandy berorasi di hadapan wisatawan. Kepada wisatawan dia menyampaikan permintaan maaf atas tindakan penggusuran itu.
Dia menyampaikan penggusuran itu bagian dari skema pengembangan KEK Mandalika dengan biaya The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Hasan sebut penggusuran hari itu tidak prosedural.
Setelah kejadian viral itu, Lalu Sungkul mencoba mengklarifikasi kejadian yang menurut dia ABC sudah mengkondisikannya. Dia menuduh ABC, sengaja mengundang wisman duduk-duduk dan berjemur. “Yang punya Aloha ini bule, warga negara asing, orang barat,’’ katanya.
Dia menuding ada skenario pelibatan wisman untuk membela pemilik usaha. Padahal, mereka tidak memahami kondisi sebenarnya. “Ini kan pola, seni mempertahankan diri. Seakan-akan tidak akan menertibkan kalau ada bule. Saya meminta bule itu pergi demi keselamatan.”
AKBP. Eko Yusmiarto, Kapolres Lombok Tengah mengatakan, ITDC menunjuk mediator dan fasilitator untuk pendekatan dalam proses pengosongan. Termasuk pelibatan BKD. Terkait Vanguard, kapolres menyatakan menjadi hak ITDC yang telah mendapat hak pengelolaan lahan (HPL) untuk melibatkan tenaga keamanan internal mereka.
“Setelah pengosongan lahan itu menjadi kewenangan pihak ketiga ITDC, kami hanya pantau saja,’’ kata kapolres yang turun langsung saat penertiban.
Saat penertiban itu memang ada warga yang petugas Polres Lombok Tengah bawa. Menurut kapolres tindakan itu untuk mengamankan salah satu pemilik warung yang saat kejadian membawa senjata tajam.
“Warga yang diamankan itu karena kedapatan membawa senjata tajam. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka yang bersangkutan sementara ini kami amankan di Mapolres Loteng.”
Kapolres menampik adanya pelanggaran HAM dalam proses penggusuran itu. Menurut dia, terjadi saat itu pengosongan lahan, bukan penggusuran atau eksekusi karena ada sengketa lahan. Lahan yang tempat warga berjualan bukan milik mereka.
Wahyu Moerhadi Nugroho, General Manager The Mandalika menjelaskan, penataan kawasan merupakan bagian dari rencana pengembangan jangka panjang kawasan wisata The Mandalika yang berada di bawah pengelolaan ITDC. Pihaknya telah melakukan pendekatan persuasif sebelum tindakan tersebut diambil.
“Dua kali sosialisasi resmi pada Januari dan April 2024, serta mengirimkan tiga surat peringatan sejak bulan Maret hingga Juni 2025 kepada para pelaku usaha,” dalam keterangannya di Mandalika, Rabu (16/7).
Penertiban di atas lahan berdasarkan sertifikat hak pengelolaan (HPL) Nomor 49, 64, 80, 82, dan 83. Sertifikat itu terbit berdasarkan keputusan KATR/BPN sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 50/2008, dengan luas kawasan 1.175 hektar.
ITDC menyatakan, penertiban ini tidak serta-merta menggusur para pelaku UMKM lokal. ITDC menyiapkan zona khusus legal dan lebih representatif bagi pelaku usaha kecil agar tetap dapat menjalankan usahanya.
“Ini bukan akhir dari usaha mereka, justru awal dari penataan kawasan yang lebih tertib, aman, dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar,” klaim Wahyu, sebelum dia pindah tugas ke Jakarta.
*****
Cerita dari Sirkuit Mandalika: Persoalan Lahan Belum Selesai, Warga Terjerat Hukum