Mongabay.co.id

Masyarakat Sipil Minta DPR Ubah Total UU Kehutanan

 

 

 

Undang-undang Nomor 41/ 1999 tentang Kehutanan tengah revisi di DPR. Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan menilai, langkah ini tidak cukup untuk menjawab persoalan kehutanan. Mereka pun minta rombak total dan buat baru regulasi ini.

Hal itu mereka suarakan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IV DPR  di Jakarta, 15 Juli lalu. Koalisi yang terdiri dari 27 organisasi ini menganalisis tigas aspek dalam mengevaluasi regulasi ini, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Secara filosofis, UU Kehutanan masih menerapkan prinsip Domein Verklaring zaman kolonial untuk menentukan kepemilikan lahan. Di mana, tanah tanpa bukti kepemilikan individu atau badan hukum sebagai tanah negara.

“Bahkan, kriminalisasi yang diberlakukan pada masa kolonial berlaku dengan cara yang sama pada masyarakat adat dan petani yang menggantungkan hidup dari hutan,” kata  Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional.

Koalisi menganggap, UU Kehutanan tidak menerapkan filosofi legitimasi penguasaan negara terhadap lahan hanya bisa terbentuk jika tujuan untuk pencapaian kemakmuran rakyat.

Selama 26 tahun penerapan, UU ini lebih banyak mengandalkan sistem perizinan pemanfaatan berbasis korporasi skala besar, dan gagal mencapai tujuan kemakmuran rakyat itu.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, hutan yang terbebani izin korporasi lebih dari 37,6 juta hektar. Kalimantan menjadi provinsi terbanyak, hampir separuh izin PBPH nasional atau 12,9 juta hektar ada di sana.

Sisi lain, Uli bilang pemberian akses masyarakat atas hutan melalui skema perhutanan sosial (PS) hanya 5.415.122 hektar atau 9.472 unit yang terdistribusi kepada 1.232.961 keluarga. Kondisi lebih miris pada hutana adat, hanya 332.505 hektar atau 156  surat keputusan alias hanya 1,3% dari potensi terdata.

Secara sosiologis, Koalisi memandang UU Kehutanan gagal mengakui pemaknaan hutan masyarakat adat dan lokal. Sebaliknya, justru mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis. Padahal, bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar kumpulan pohon atau sumber kayu, melainkan ruang hidup yang menyatu dengan identitas, spiritualitas, dan kesejahteraan.

Selama ini, penetapan kawasan hutan tidak berbasis survei etnografi, pemetaan partisipatif, atau dialog berbasis pengakuan sebagai syarat utama dalam perencanaan kehutanan. Walhasil, penetapan kawasan hutan menjadi legal but not legitimate.

“Secara Yuridis, UU Kehutanan compang-camping secara sistem hukum. Ia tidak mempertimbangkan putusan hasil peninjauan kembali yang Mahkamah Konstitusi  keluarkan, seperti definisi hutan dan hak masyarakat. Karena itu, tidak cukup hanya revisi. Bbutuh UU Kehutanan baru.”

Koalisi Masyarakat Sipil saat memberi masukan revisi UU Kehutanan di DPR RI, Selasa (15/7/2025). Mereka memandang perlunya rombak total regulasi ini, bukan sekadar tambal-sulam dalam revisi. Foto: Youtube Komisi IV DPR.

 

Gagal lindungi masyarakat adat

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), menambahkan, UU Kehutanan abai terhadap pengetahuan tradisional yang masyarakat miliki, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di sektor kehutanan.

AMAN pernah mengajukan uji materi UU ini, lantaran tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat. Terlihat dari hampir 75% wilayah masyarakat adat negara klaim sebagai kawasan hutan.

“Tanpa proses-proses persetujuan dari masyarakat,” katanya.

Inkuiri Nasional Komnas HAM pada 2014 menyatakan, ada tumpang tindih antara wilayah masyarakat dengan kehutanan. Sebanyak 128 juta hektar dengan hutan konservasi, kemudian hutan lindung 32,4 juta hektar, hutan produksi terbatas 21,6 juta hektar, hutan produksi 35 juta, dan hutan produksi konversi 14 juta hektar.

Dokumen itu merekomendasikan perlu pembaruan perundangan di sektor sumber daya alam, terutama kehutanan. Lalu, pembaruan kebijakan penetapan kawasan hutan dan kelembagaan. Namun pemerintah abaikan rekomendasi ini.

Catatan Aman, dalam 10 tahun terakhir ada sekitar 687 letupan konflik dengan luasan 11,07 juta hektar. Kriminalisasi terjadi pada 925 masyarakat, 60 mengalami kekerasan, dan satu orang meninggal dunia.

“Aman setuju jika UU Kehutanan diubah total demi melindungi masyarakat adat dan hutannya.”

Masyarakat adat dari berbagai daerah berpose bersama tim komisioner inkuiri nasional dan Bambang Widjanarko, Wakil Ketua KPK (berbaju putih di tengah), pada Rabu (17/12/14). Foto: Sapariah Saturi

 

Revisi untuk lindungi hutan

Ahmad Yohan, pimpinan RDPU, sebelum mendengar masukan masyarakat sipil menyebut revisi UU Kehutanan perlu melindungi kawasan hutan dengan lebih baik. Dia bilang, Indonesia kehilangan 33,9 juta hektar hutan, dan angka deforestasi dalam 20 tahun mencapai 28,4 juta hektar.

“Untuk menghadapi serangan dan kerusakan sumber daya hutan, dan untuk mengikuti perkembangan zaman dan tantangan di masa depan, maka memang perlu dilakukan revisi,” katanya.

Revisi juga perlu untuk menyesuaikan pergeseran paradigma hutan. Dari orientasi utama produksi kayu, jadi berkelanjutan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 soal hutan adat bukan hutan negara juga turut menjadi pertimbangan. Ia  memperkuat hak masyarakat adat terhadap hutannya.

“Perubahan paradigma hutan adat yang tidak lagi menjadi bagian dari hutan negara, melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat,” katanya.

Dia berharap, RUU kehutanan bisa jadi solusi penyelesaian sengketa kehutanan.

Revisi UU Kehutanan bukan agenda baru. Rencana ini sudah bergulir sejak 2017 dan mendapat banyak kritikan. Pasalnya, proses RUU ini dianggap tidak menerapkan prinsip partisipasi bermakna.

Koalisi menyebut, RUU tak terbuka luas untuk publik, forum konsultasi sangat terbatas, dan banyak warga yang tidak tahu hak-haknya tengah dinegosiasikan di parlemen. DPR memasukkan RUU Kehutanan ini dalam Prolegnas Prioritas 2024–2029 pada 19 November 2024.

Timer Manurung, Direktur Eksekutif Auriga Nusantara, mengatakan, UU Kehutanan telah mengorupsi hutan alam. Hal ini terjadi lantaran regulasi kurang memperhatikan norma hutan alam dan tidak melibatkan unsur masyarakat. Membuat karut-marut kawasan dengan kondisi nyata di lapangan.

Dia menjabarkan, luas kawasan hutan daratan Indonesia mencapai 118 juta hektar. Sebanyak 22 juta hektar merupakan kawasan konservasi, namun 4,7 juta hektar bukan berhutan.

Sedang, hutan lindung Indonesia  29 juta hektar,  ada 5,2 juta hektar bukan berhutan.

“Kenapa bisa? Ada 23,8 juta hektar, dia masuk moratorium. Sementara ada 237.000  hektar, itu enggak masuk moratorium. Jadi ini enggak terlindungi, 230.000  hektar,” katanya.

Pada kawasan hutan produksi lebih parah. Dari total 67 juta hektar, sebanyak 23,7 juta hektar tak berhutan.

“Hanya 11,2 juta hektar masuk moratorium. 32,4 juta hektar enggak masuk moratorium. Inilah sekarang menjadi sarang deforestasi kita.”

Karena itu, perlu aturan mengenai tutupan hutan di luar kawasan hutan untuk perlindungannya. .

Dia bilang, pemerintah pusat terlalu menguasai kawasan hutan dalam UU Kehutanan. Nyaris tidak ada ruang pengurusan hutan bagi atau oleh pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah desa, masyarakat lokal, masyarakat adat, atau pihak lain.

“Jadi semua-semua seolah-olah cukup dengan kementerian kehutanan. Di negara maju, siapapun bisa, pemerintah hanya mengatur fungsinya.”

Slamet, Anggota Komisi IV DPR  mengakui pelepasan kawasan hutan sebelumnya harus melewati persetujuan DPR, namun berubah sejak UU Cipta Kerja.

Untuk mengubah ketentuan tersebut dalam UU Kehutanan, harus ada perubahan dalam UU Cipta Kerja terlebih dahulu sukar terjadi.

Dia menyarankan,  adanya politik ekstra-parlementer atau gerakan di luar kerangka formal lembaga legislatif.

“Ekstra-parlementer kemudian perlu digerakan.”

Darori Wonodipuro, anggota Komisi IV DPR, menyebut,  semua masukan dari masyarakat sipil penting tetapi  dia tak setuju perubahan total.

“Ganti 70% enggak apa-apa, kalau kalian dikirim oleh pemerintah, oleh kami,” ujarnya.

Dia juga meminta organisasi masyarakat sipil tidak meminta draf dan mengoreksi DPR. “Cukup memberikan masukan yang logis.”

Darori Wonodipuro, anggota Komisi IV DPR dari Partai Gerindra, dalam RDPU dengan masyarakat sipil ihwal revisi UU Kehutanan, menyampaikan ketidaksetujuannya akan rombak total regulasi ini, Dia pun meminta masyarakat sipil tidak meminta draf dan mengoreksi DPR. Foto: Youtube Komisi IV DPR RI.

 

Dalam keterangan tertulis yang Mongabay terima pasca RDPU, Koalisi Masyarakat Sipil menilai, rapat  berlangsung terlalu singkat dan dangkal untuk bisa mendalami persoalan kompleks kehutanan yang tumpang tindih dengan berbagai kepentingan. Koalisi berharap, ada ruang lebih besar lagi untuk mereka paparkan persoalan di lapangan, termasuk perlindungan ekosistem hutan dan hak-hak dasar masyarakat adat.

“Kami diburu-buru. Masing-masing organisasi hanya mendapat tujuh menit. Ini terlalu singkat untuk memberi masukan tentang situasi kompleks isu kehutanan dan berbagai kepentingannya,” kata Anggi Putra Prayoga, juru bicara FWI.

Repons anggota DPR kurang memperdalam tuntutan koalisi ihwal perubahan total UU Kehutanan. Padahal, UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut sebagian pasal-pasalnya.

Pantauan Mongabay lewat YouTube Komisi IV DPR , rapat  berlangsung hampir tiga jam. Pimpinan Komisi IV pun tidak mengikuti rapat hingga selesai karena urusan di tempat lain. Pimpinan di akhir rapat pun hanya mendengar masukan, tetapi tidak memberikan tanggapan ataupun berdialog dengan masyarakat sipil.

“​​Kami ingin agar UU Kehutanan bukan sekadar revisi, karena revisi tidak bisa menjawab seluruh tantangan perlindungan hutan dan hak-hak masyarakat adat,” ucap Anggi.

Hutan Bati, ruang hidup Masyarakat Adat Bati. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

*****

Revisi UU Kehutanan Harusnya jadi Momentum Benahi Tata Kelola

 

Exit mobile version