- Proyek Strategis Nasional (PSN) Akuakultur telah menetapkan Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu sebagai site awal untuk proyek ini. Masalahnya, seperti terjadi di banyak tempat di Pantura Jawa, banjir dan rob menghantui lokasi proyek ini.
- Di Muara Gembong, Bekasi, salah satu site proyek, dulunya adalah pusat budidaya ikan tambak. Namun, predikat itu semakin pudar karena situasinya semakin memburuk. Banjir rob dan abrasi yang makin parah telah merusak pesisir dan memaksa permukiman bergeser menjauh dari bibir pantai
- Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengaku terkejut dengan keputusan KKP menjadikan pesisir di Pantura Jabar sebagai lokasi PSN akuakultur. Ia menilai keputusan itu tergesa-gesa lantara empat daerah yang menjadi sasaran lokasi proyek tak memiliki daya dukung memadai.
- *Melihat degradasi lingkungan yang terjadi di pesisir Pantura Jabar, pemerintah, kata Susan, seharusnya memprioritaskan upaya pemulihan. Bukan sebaliknya, membuat program yang ujungnya berpotensi memperparah kerusakan.
Raut kesedihan terpancar dari wajah Carim saat menjelaskan perjalanan hidupnya di Kampung Pesisir Beting, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (Jabar), awal Juni. Tercatat sudah enam kali pria paruh baya ini pindah karena hempasan abrasi dan banjir rob.
Sembari duduk di bangku bambu di depan rumah terbengkalai, Carim ceritakan masa kecilnya yang bahagia bersama orang tua dan saudara-saudaranya. Dulunya, kampung tempat dia lahir sangat ramai karena banyak warga dari luar daerah bekerja disana.
Kehadiran tambak-tambak di pesisir kampungnya memudahkan warga mendapatkan uang termasuk orang tuanya, penjaga tambak.
“Saat itu, ikan mudah didapatkan di laut, tambak menghasilkan produksi besar, dan pantai juga masih bagus,” katanya.
Tetapi itu dulu. Pelan tetapi pasti, cerita sukses tambak itu mulai pudar, seolah ikut terbawa ombak saat gelombang tinggi dan banjir rob kerap melanda pesisir.
Carim kini berusia sekitar 50 tahun teringat pada suatu kejadian ketika berumur 20 tahun.
Kala itu, dia yang tinggal di rumah jaga di sekitar tambak terkaget-kaget ketika ombak besar datang dan menghempaskan beberapa bangunan di sekitar.
“Pokoknya, kejadian pilu yang membuat kami sekeluarga harus pindah dari rumah tersebut. Kami dipaksa mencari tempat tinggal baru yang lebih aman,” katanya.
Sayangnya, banjir rob itu bukan kali terakhir bagi Carim hingga memaksanya pindah rumah. Total sudah enam kali Carim harus berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Semua dilakukan, demi menghindari terjangan ombak dan banjir rob yang terus menghantui hingga sekarang.
Karena itu, ketika mengetahui rencana proyek akuakultur revitalisasi tambak di Muara Gembong olek KKP, Carim pun tak bisa berkomentar banyak.
“Saya tidak mengerti,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan empat kabupaten di Jabar sebagai lokasi pertama PSN akuakultur di Pantura Jawa. Keempatnya adalah Kabupaten Karawang, Bekasi, Subang dan Indramayu. Di Kabupaten Bekasi, ada empat kecamatan terpetakan masuk dalam tahap awal proyek ini, yakni, Muara Gembong, Cabangbungin, Babelan dan Tarumajaya.
Berisiko
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) terkejut dengan keputusan KKP menjadikan pesisir di Pantura Jabar sebagai lokasi PSN akuakultur. Dia menilai, keputusan itu tergesa-gesa. Pasalnya, empat daerah yang menjadi sasaran lokasi proyek tak memiliki daya dukung.
“Pesisir di empat kabupaten itu sudah mengalami kerusakan sangat parah,” kata Susan.
Dia pun tak yakin bila proyek revitalisasi tambak itu akan berjalan sesuai harapan. Alih-alih, bahkan khawatir memicu kerusakan lebih parah. Kalau itu terjadi, berarti kiamat kecil bagi Pantura Jabar.
Melihat degradasi lingkungan yang terjadi di pesisir Pantura Jabar, pemerintah, kata Susan, seharusnya memprioritaskan upaya pemulihan. Bukan sebaliknya, membuat program yang ujungnya berpotensi memperparah kerusakan.
Memang, katanya, pemerintah klaim proyek ini adalah untuk merevitalisasi tambak-tambak mangkrak untuk mencari ceruk baru sumber penerimaan negara. Namun, lanjut Susan, tidak ada jaminan proyek ini tidak ada pembukaan lahan baru. Padahal, tak bisa dipungkiri, kehadiran tambak-tambak itu juga turut berkontribusi pada degradasi lingkungan kawasan pesisir.
“KKP sekali lagi cuma berbicara soal produksi, tapi tidak mempertimbangkan apa yang menjadi kebutuhan paling substansi, yaitu lingkungan yang sehat dan bersih.”
Susan tak ingin proyek ini jadi modus memprivatisasi kawasan pesisir. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/2010, yang menegaskan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil tidak boleh ada privatsasi, dan senantiasa harus melindungi hak masyarakat, terutama nelayan.
Susan mengatakan, dengan luas 78.000 hektar, PSN akuakultur adalah proyek berskala industri. Dengan begitu, pelibatan masyarakat sebatas pekerja alias buruh bukan pelaku atau aktor utama.
“Sebesar apapun warga punya atau kelola tambak mandiri, akan tergerus oleh yang besar. Mereka akhirnya hanya menjadi buruh tambak.”
Susan mendesak, KKP bisa melihat semua persoalan yang ada saat ini. Jangan sampai, karena terlalu fokus pada investasi dan iming-iming penerimaan negara bukan pajak (PNBP), KKP abaikan prioritas untuk memperbaiki ekosistem.
Dia juga mengkritik jenis ikan yang akan dibudidayakan. Nila salin, katanya, termasuk kategori invasif sebagai ikan predator dan berisiko merusak struktur ekosistem pesisir.
Upaya jaga pesisir dengan mangrove
Ketika pesisir Bekasi abrasi parah, ada juga warga yang berupaya memulihkan kawasan dengan menanam di ekosistem mangrove. Seperti yang Qurtubi lakukan. Sekretaris Desa Pantai Bahagia ini sejak lama mengkhawatirkan masa depan desanya. Menanam mangrove menjadi satu-satunya usaha untuk mencegah abrasi yang lebih parah. “Jenisnya menyesuaikan dengan tanah pesisirnya,” katanya.
Perikanan budidaya dan tangkap menjadi sumber penghasilan. Budidaya tambak juga jadikan tutupan mangrove terus berkurang. Abrasi dan banjir rob pun makin parah juga mengancam masa depan sumber mata pencaharian warga itu. Bahkan, rumah-rumah yang jadi tempat tinggal para petambak dan nelayan kini mulai terdampak.
“Jadi, memang tambak itu menguntungkan secara ekonomi, tapi mengancam lingkungan,” katanya.
Aancaman itu datang karena untuk mendapatkan hasil besar, para pelaku usaha biasa mengurangi tegakan mangrove demi mengejar target produksi.
Bagi Qurtubi, apa yang terjadi di Muara Gembong itu dilema. Satu sisi, warga mengandalkan tambak sebagai sumber penghidupan. Sisi lain, perikanan budidaya itu justru menghadirkan ancaman. Bukan hanya pada tambak, tetapi juga kehidupan warga.
Namun, di antara dua pilihan, Qurtubi lebih memilih mempertahankan tutupan hutan mangrove ketimbang terus membuka hutan untuk perluasan tambak. Terlebih, makin kesini, wilayahnya terus memburuk.
“Rasa-rasanya, jika tidak ada tindakan nyata dari Pemerintah dan semua pihak, abrasi akan sampai ke depan kantor desa ini, meski jaraknya masih lumayan jauh.”
Dia berharap, PSN akuakultur juga bersamaan dengan upaya pemulihan kerusakan lingkungan di Muara Gembong. Dengan ekosistem yang baik, dia yakin perikanan akan makin bernilai ekonomi tinggi.
Perhutani sudah merilis pernyataan kesulitan mempertahankan kawasan lindung mangrove di sepanjang pesisir Muara Gembong. Kesulitan itu, karena kepadatan penduduk dan desakan ekonomi yang membuat mangrove terus alami degradasi.
Luas hutan alam mangrove di Muara Gembong capai 10.481, 15 hektar dan terus berkurang. Perhutani menyebut, sebagian besar hutan alami dengan 93, 5% tidak terpengaruh pasang surut. Saat ini, kondisi berubah menjadi tambak dan pertanian.
Perhutani mengakui, hutan mangrove Ujung Karawang di Muara Gembong sangat perlu di tengah ancaman banjir rob dan abrasi. Hutan alami memiliki peran penting yang tidak tergantikan hutan lain.
Selain sebagai fungsi ekologi yang bisa melakukan pencegahan terhadap abrasi, pencegahan intrusi air laut, dan penyediaan habitat satwa, hutan lindung juga berperan sebagai fungsi pemanfaatan untuk kegiatan ekowisata, penyerapan karbon, pendidikan/penelitian, dan perikanan.
Secara keseluruhan, berdasar sumber yang sama, abrasi 211, 8 hektar terjadi di kawasan tanah timbul (tanah akresi) yang sudah Kementerian Kehutanan seluas 1.257, 8 hektar. Total, di hutan lindung Muara Gembong ada kawasan zona perlindungan seluas 284,60 hektar, dan zona pemanfaatan seluas 2.715, 40 hektar. Sedang 5.479,80 hektar lainnya untuk pemanfaatan non kehutanan.
Perhutani menyebut, pemerintah berencana menerbitkan arah kebijakan dengan fokus mempertahankan zona perlindungan seluas 2.284, 60 hektar, zona pemanfaatan seluas 2.716, 76 hektar, dan tanah timbul seluas 1.257 hektar sebagai kawasan hutan lindung. Termasuk hutan mangrove yang saat ini menjadi areal tambak udang/ikan.
Sementara, kawasan seluas 5.479, 80 ha yang sudah lama dihuni dan memiliki fasilitas sosial lengkap, Perhutani akan melepaskan statusnya menjadi lahan hak milik melalui proses tukar menukar sesuai peraturan yang berlaku.
***
Carim tak pernah menyangka kawasan pesisir tempatnya lahir itu akan berubah dengan cepat. Maunah, perempuan pesisir Bekasi ini pun tak pernah menyangka. Bahkan, lapangan tempat dia bermain saat kecil dulu sudah tenggelam terkena banjir rob.
Perempuan 50 tahun ini kerap tak bisa tidur saat malam hari. Ancaman rob yang kadang datang sewaktu-waktu membuatnya tak bisa lelap. Dia sampai tak punya kursi di rumahnya karena khawatir bikin repot saat rob datang.
Namun, dia menyadari, semua belum berakhir. Dia sepemikiran dengan Qurtubi, menanam mangrove menjadi salah satu harapan agar rob dan abrasi tak makin parah.
Dia pun menanam mangrove di beberapa titik di sekitar Muara Gembong. Baginya, mengembalikan ekosistem mangrove Muara Gembong jauh lebih penting untuk memastikan kehidupan warga dari ancaman banjir dan abrasi.
“Buahnya juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai produk olahan.”
*****
PSN Revitalisasi Tambak di Jawa Barat, Bagaimana Nasib Masyarakat Pesisir Selanjutnya?