Mongabay.co.id

Krisis Iklim Makin Persulit Kehidupan Nelayan Tradisional

 

 

 

Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) bersuara di Forum United nations Ocean Conference (UNOC), di Perancis, 9-13 Juni 2025. Mereka mengeluhkan dampak krisis iklim dan dominasi alat tangkap tak ramah lingkungan yang mengganggu keberlanjutan penghidupan mereka.

Nilawati, Ketua KPPI, yang jadi perwakilan nelayan perempuan di forum itu, menyebut,  nelayan tradisional  hidup dalam tekanan. “Kami bukan hanya nelayan. Kami adalah penjaga laut,” katanya saat Mongabay hubungi lewat telepon.

Namun, nasib penjaga laut makin terdesak antara lain  lantaran serbuan trawl dan garis pantai hilang karena abrasi.

“Kami tidak diam saja. Kami datang ke sini untuk memberitahu dunia.”

Perempuan yang tinggal di Lorong Ujung Tanjung, Medan Belawan, Sumatera Utara, ini bercerita tentang kondisi nelayan tradisional, terutama di Belawan dan Langkat.

Mereka menangkap ikan, kerang, dan kepiting dengan alat sederhana seperti jaring, bubu dan tangan kosong.

Namun, maraknya penggunaan kapal trawl dan alat tangkap modern lain membuat kedamaian di laut berubah jadi ketegangan terus bereskalasi. Nelayan tradisional jadi sering bentrok dengan nelayan modern.

Beberapa bulan lalu, bahkan sempat ada pembakaran kapal karena bentrokan. Padahal, sudah ada surat larangan, peringatan dan kesepakatan tertulis antara nelayan tradisional dan modern, namun pelanggaran terus terjadi.

“Kami sudah buat perjanjian hitam di atas putih. Tapi kapal-kapal itu tetap masuk. Kalau ditangkap, hukum tak tegas. Mereka tetap bisa melaut lagi seolah tak ada yang salah,” katanya.

Masih terang dalam ingatannya beberapa bulan lalu dua jenis kapal tanker nelayan modern tertangkap masuk ke wilayah nelayan tradisional. Mereka amankan dan serahkan ke pihak berwajib.

“Kami cari makan dengan sportif. Kami juga manusia yang butuh hidup. Tapi kapal besar itu bisa tangkap sampai satu ton, masih juga masuk ke wilayah tangkap nelayan tradisional, padahal kami cuma dapat Rp50.000-Rp100.000 sehari.”

Nilawati bilang, nelayan tradisional bergantung pada keberlanjutan laut untuk terus hidup, Trawl yang merusak dasar laut, menghancurkan terumbu karang dan menarik habis bibit-bibit ikan dan kerang merupakan ancaman nyata bagi generasi mendatang.

Selain itu, penimbunan sungai, alih fungsi lahan dan hilangnya hutan mangrove memperparah kerusakan lingkungan hingga makin persulit kondisi nelayan kecil. Tanah di pesisir mulai gembur, terumbu karang menghilang dan abrasi terjadi secara perlahan.

Menurut dia, kerusakan laut paling parah terjadi di wilayah timur Belawan dan barat Langkat. Di sana, nelayan perempuan bertaruh nyawa dan tenaga, mencari kerang dan kepiting saat air surut.

“Dalam satu bulan, mereka hanya bisa dua kali melaut. Bila air mati, mereka hanya bisa menunggu, tak ada pilihan lain.”

Dia minta, nelayan tradisional dan modern bisa saling menjalankan perjanjian yang sudah mereka sepakati untuk menangkap ikan di teritorial masing-masing. Pemberlakuan kesepakatan ini, lanjutnya, bisa sedikit memperbaiki kondisi.

“Kerang mulai berkembang biak, hasil tangkap stabil meski belum seperti dulu. Kami berharap perjanjian itu bisa benar-benar dihormati dan dilaksanakan.”

Dia berharap perumusan kebijakan nasional dan internasional tidak hanya terjadi di balik meja, juga berdasarkan realitas lapangan.

“Kami ingin pejabat nasional dan dunia tahu, perubahan iklim dan penggunaan alat tangkap merusak seperti trawl bukan hanya isu statistik. Ini soal hidup mati kami, soal makan tidak makan anak-anak kami,” katanya.

Nilawati, Ketua KPPI berbicara di Forum United Nations Occean Conference (UNOC), di Nice, Perancis. Dia menyuarakan ihwal terdesaknya nelayan perempuan oleh krisis iklim dan penangkapan ikan modern. Foto: KPPI

 

Ketegangan di Laut

Secara umum, ketegangan antara nelayan tradisional dan kapal besarn membawa banyak kerugian. Beroperasinya alat tangkap seperti cakar kerang, trawl di wilayah Langkat membuat turun hasil tangkapan nelayan.

Jamaluddin Lubis, nelayan Belawan, menceritakan konflik akhir Februari 2025. Saat itu, pria 60 tahun ini menyaksikan langsung tiga perahu dari Tanjung Balai mengeruk karang menggunakan cakar.

Dia dan rekannya lantas menegur mereka. “Jarang kami masih terbentang, mereka datang langsung mencakar karang. Kami larang, tapi mereka malah marah,” katanya.

Nelayan ini malah membalas dengan bilang laut bukan milik nenek moyang Jamaluddin. “Tapi saya bilang, kalau tidak merusak lingkungan silakan saja. Ini merusak!”

Dia pun merekam peristiwa itu dengan video di ponselnya. “Saya hampir dipukul pakai kayu, tapi karena saya videokan, mereka mundur.”

Sebenarnya, Keamanan Laut Angkatan Laut dan nelayan tradisional sudah sering patroli bersama. Namun, katanya, para pengguna alat tangkap merusak itu tetap datang, seperti jamur yang tumbuh kembali meski sudah mereka basmi.

“Laut di sini sudah hancur, babak belur. Di pinggir dihajar trawl mini, ditambah mesin dompeng, ditambah cakar lagi.”

Dia bilang, efek kerusakan habitat laut mulai mereka rasakan lima tahun terakhir, terlihat  dari penurunan hasil tangkap. Padahal, dulu dia bisa penuhi kebutuhan dua orang anaknya di bangku kuliah dari tangkapan laut.

Jamal melaut sejak 1982, dari pukul 3.00 atau 4.00 pagi hingga siang. Kini, dia hanya bisa mendapatkan 4-5 kg kerang dari sebelumnya 40-50 kg per hari.

“Empat tahun ini hasil tangkapan kami menurun 50 persen. Kalau dulu bisa 10 kg, sekarang hanya dapat lima. Hari ini ada, besok kosong. Itu karena kapal trawl sudah menyapu bersih titik-titik tangkap kami,” kata seorang nelayan.

Dia minta pemerintah ambil langkah cepat ihwal aktivitas ilegal nelayan di laut yang merusak ekosistem. “Tolong ke pemerintah supaya mendengarkan keluh kesah masyarakat, karena nelayan di sini sudah terpuruk kali beda dengan nelayan di Jawa masih sukses.”

Kapal nelayan baru pulau melaut di Belawan. Kerusakan habitat menyebabkan hasil tangkap berkurang. Ribuan nelayan terpuruk. Foto: Ayat S Karokaro

 

*****

Jerat Kapal Pukat di Laut Belawan

Exit mobile version