Mongabay.co.id

Riset Sebut Sampah Saset Penuhi Sungai di Indonesia

 

 

 

Pencemaran sampah plastik di perairan Indonesia mengkhawatirkan. Penelitian terbaru Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) bahkan menunjukkan 35 sungai yang mereka teliti tidak ada yang bebas sampah.

Mereka melakukan penelitian ini selama tiga tahun, 2022-2024. Selain sungai, ada 17 pantai dan dua  titik kawasan mangrove di 49 kabupaten dan kota.

Muhammad Kholid Basyaiban, Koordinator Sensus Sampah Plastik BRUIN, menyebut, ada lima besar produsen pencemar polusi plastik di perairan Indonesia, ada yang bermerek dan tak bermerek.

BRUIN melihat perlu pengelolaan sampah plastik yang tegas dan segera, khusus terhadap kemasan saset. Mereka menuntut produsen mengambil langkah nyata dalam mengelola sampah kemasan pasca konsumsi serta mendukung target pengurangan sampah oleh produsen sebanyak 30% tahun 2029.

“Apalagi Menteri Lingkungan Hidup bilang akan mendorong industri lokal dalam pengelolaan limbah serta membangun sistem hukum yang mewajibkan penerapan EPR (extended producer responsibility),” katanya dalam keterangan tertulis yang Mongabay terima.

Dari hasil riset ini, Kholid bilang BRUIN hasilkan enam strategi utama yang bisa pemerintah jalankan untuk menutup keran polusi plastik. Pertama, perlu kebijakan pembatasan plastik sekali pakai yang sulit terdaur ulang, seperti saset.

Kedua, kebijakan model guna ulang (reuse movement) untuk mengurangi limbah kemasan. Ketiga, disinsentif pajak terhadap produk plastik sekali pakai yang sulit terdaur ulang, seperti saset.

Keempat, insentif untuk pengelolaan plastik yang lebih berkelanjutan. Kelima, green procurement dalam pemakaian produk ramah lingkungan oleh pemerintah dan industri. Keenam, menuntut tanggung jawab produsen lewat EPR secara tegas dan menyeluruh.

Prigi Arisandi, pendiri Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) Foundation, saat Mongabay hubungi terpisah, menyebut, konsep EPR belum jalan hingga sekarang. Problemnya, ihwal administrasi kewenangan pusat dan daerah yang belum sinkron.

“Karena kewenangan di KLH. sementara, banyak kabupaten dan provinsi yang belum tahu.”

Sayangnya, penanganan sampah di tingkat daerah belum jadi prioritas. Hal ini terlihat dari belum banyaknya daerah yang memberikan anggaran serius penanganan sampah.

“Padahal, penanganan sampah butuh fulus,” katanya.

Dia mengingatkan, agar negara bisa membuat regulasi yang memungkinkan penegakan hukum dalam penanganan sampah. Di tingkat konsumen, harus mulai kurangi plastik sekali pakai dengan memprioritaskan gaya hidup guna ulang dan minim plastik.

Yang terpenting, katanya, produsen harus terapkan distribusi produk mereka dengan refill atau isi ulang. “Bukan lagi menggunakan saset.”

Sensus sampah yang dilakukan BRUIN menemukan masih banyak sampah saset yang memenuhi sungai di Indonesia. Dokumentasi: BRUIN.

Penyebab saset terus?

Penelitian BRUIN masih menunjukkan sampah saset sebagai musuh utama perairan. Hal ini, tidak lepas dari pola konsumsi di masyarakat yang lebih memilih kemasan berukuran kecil.

Sayangnya, kata Prigi, jenis plastik ini multilayer yang ‘mustahil’ masuk siklus daur ulang. Ujungnya masyarakat memilih membakar dan membuatnya abadi di alam, serta membuang begitu saja, yang berpotensi menjadi masalah mikroplastik.

Sebenarnya, pemerintah memiliki peta jalan bebas saset 2030. “Tapi pemerintah kita tidak progresif dalam upaya pengurangan produksi plastik.”

Konsumsi plastik sekali pakai, terutama saset, dia prediksi masih akan meninggi. Pasalnya, jenis kemasan ini memang menyasar penduduk miskin. Sementara, Bank Dunia menyebut penduduk miskin di Indonesia mencapai 171,8 juta orang di akhir 2024.

“Saset ini didominasi brand-brand besar sehingga kegiatan brand audit bisa dorong mereka dengan serang reputasi dan menanyakan sustainability yang mereka praktikkan.”

Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut hal serupa. Menurutnya, tingkat ekonomi masyarakat atau rumah tangga berkorelasi dengan konsumsi plastik saset.

“Jumlah orang miskin dan rentan miskin di Indonesia tembus 194,7 juta orang, yang akhirnya mempengaruhi besarnya jumlah konsumsi produk sasetan,” katanya pada Mongabay.

Dia bilang, daya beli masyarakat sedang turun, terutama di tengah sulitnya mencari lapangan kerja. Produk grosir pun menjadi kurang laku, dan ada perubahan (shifting) ke kemasan plastik eceran.

Bhima prediksi, masalah konsumsi kemasan saset akan makin meningkat tajam. Sejalan dengan proyeksi meningkatnya jumlah kelompok menengah ke bawah.

“Produsen juga sedang lakukan strategi downsizing atau mengecilkan ukuran produk agar bisa terjangkau dengan daya beli masyarakat saat ini.”

Hasil sensus sampah plastik oleh BRUIN . Dok: BRUIN.

 

*****

Pantai Bali Penuh Sampah Plastik dan Kayu, Mengapa?

Exit mobile version