Mongabay.co.id

Begini Model Baru Pengumpulan Data Biodiversitas Laut Karimunjawa

 

 

 

Data keanekaragaman hayati laut di Indonesia masih rancu dan belum padu. Pelbagai lembaga riset pemerintah dan organisasi non pemerintah memiliki data dan metode masing-masing dalam riset mereka, salah satunya dari Universitas Dipenogoro.

Ni Kadek Dita Cahyani, Peneliti Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro, menyebut, kondisi ini akan membuat upaya perlindungan biodiversitas tak optimal. Karena itu, perlu  metode pengumpulan data yang sesuai standar, mudah dan singkat. Itulah  yang menjadi salah satu latar belakang Tim Peneliti Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro dan Diponegoro Biodiversity Project (DBP) memasang 33 Autonomous Reef Monitoring Structure (ARMS) di perairan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ), medio Mei 2025.

Proyek Marine Biodiversity Survey of Southeast Asia ini dari pendanaan Lee Kong Chian Natural History Museum, National University of Singapore.

Output-nya akan ada data biodiversitas, based on molekuler,” katanya.

Rancangan ARMS  menyerupai apartemen mini di bawah laut. Tujuannya, sebagai terumbu karang buatan yang memungkinkan organisme laut tumbuh dan berkembang di sana.

Mereka akan kumpulkan data dari organisme yang menempel di ARMS. Bukan hanya yang terlihat dengan mata telanjang, juga yang tidak terlihat secara langsung. Misal, organisme kecil yang menempel dan tertutup organisme lain.

“Kalau secara morfologi enggak bisa diidentifikasi, tapi dengan molekuler, kita bisa melihat dari DNA mereka yang teramplifikasi dan teridentifikasi.”

Pemasangan ARMS di kawasan TNKJ berada di sekitar 10 meter di bawah laut. Tersebar pada ekosistem terumbu karang di tiga pulau, yakni Pulau Burung, Pulau Cemara Besar dan Pulau Bengkoang.

Pemilihan kawasan TNKJ karena ekosistem perairan lautnya yang kaya. Sehingga penting untuk konservasi.

“ARMS yang telah dipasang di Karimunjawa akan diangkat pada 2026 dan 2027.”

Pengangkatan ini lah yang jadi dasar penelitian. Mereka akan melihat perbedaan organisme yang tumbuh pada usia satu dan dua tahun di ARMS.

Mereka akan membongkar ARMS dengan hati-hati, kemudian mengidentifikasi dan menganalisis organisme yang melekat dengan cermat. Caranya dengan teknologi Third Generation Sequencing untuk mengurutkan DNA dengan menghadirkan pendekatan genomik yang lebih canggih, mudah, dan cepat.

Meski akurat, belum banyak riset biodiversitas di Indonesia yang menggunakan metode ini. Peneliti umumnya bertahan di metode generasi kedua (Illumina) karena berbagai faktor, mulai dari anggaran yang tidak sedikit, hingga perlunya kapasitas pengetahuan dan analisa yang mutakhir untuk penggunaan metode baru.

Dasar laut Karimunjawa. Foto : Dokumentasi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

 

Apa itu ARMS?

ARMS menyerupai kompleksitas terumbu karang, yang selama ini menjadi tempat hidup berbagai organisme laut. Kondominium bawah air ini membantu peneliti memahami dinamika ekosistem terumbu karang di suatu wilayah. Dan bagaimana mereka merespons perubahan lingkungan.

Ia tidak mengganggu lingkungan. Pemasangannya hati-hati, supaya tak merusak terumbu karang di sekitarnya. ARMS secara pasif mengumpulkan dan mereka kehidupan laut yang mengolonisasinya.

“Jadi ARMS itu dibuat untuk memudahkan kita ngambil organisme laut. Ia bentuknya pipih dan bertingkat karena kemudian akan cepat mengkolonisasi, jadi nempel di situ selama setahun, itu kan pasti akan macam-macam, tuh, yang tumbuh,” kata Dita.

ARMS yang terpasang di perairan Karimunjawa berbahan poly vinyl chloride (PVC) sesuai standar Global ARMS Program dari Smithsonian Institute, dan Unplasticized Poly Vinyl Chloride (UPVC). Berbentuk balok pipih dengan ukuran 22,5 cm×22,5 cm×0,63 cm, dan tertumpuk sembilan tingkat dengan dasar berukuran 45 cm×35 cm×1,27 cm.

Menurut dia, bahan UPVC merupakan inovasi baru, karena lebih keras dan tahan lama ketimbang PVC yang mengandung plasticizer. Selain itu, dapat didaur ulang dan memiliki efisiensi energi.

Penelitian ini sekaligus untuk mengetahui apakah kedua bahan tersebut menghasilkan perbedaan tingkat biodiversitas. “Tapi efek terhadap tingkat biodiversitas laut belum diketahui, ya!”

ARMS, katanya, bisa untuk mempelajari fauna tersembunyi (Cryptobiome) yang hidup di celah-celah dan di bawah terumbu karang. Jadi, alat ini juga penting untuk mendata spesies yang sangat kecil dan susah membedakannya secara morfologi (Cryptic Species).

Alat ini membantu menelaah pola keragaman genetika dari suatu organisme eukariotik dengan sel nukleus berlapis. Ia pun bisa untuk melihat perubahan komposisi suatu ekosistem melalui pendekatan morfologis.

Dita bilang, alat ini membantu melihat perubahan komposisi organisme. Contoh, pada suatu wilayah yang terdapat organisme sesil (tidak berpindah tempat) seperti spons (Porifera). Temuan ini bisa memperkirakan pemanfaatan yang tepat akan wilayah itu.

“Spons itu ada beberapa macam. Ada spons yang banyak dicari orang untuk mencari metabolit sekunder, bahan dasar obat, dan segala macam. Tapi pada saat yang sama spons juga membunuh koral. Nah, dari situ bisa dipetakan harus ngapain,” katanya

Selain itu, apartemen bawah laut ini juga bisa memberikan wawasan tentang perubahan komunitas laut dari waktu ke waktu. Juga, bisa mengukur kondisi lingkungan akibat aktivitas manusia terhadap biodiversitas laut, dan mendeteksi penyebaran spesies invasif pada suatu wilayah.

Penyusunan ARMS oleh Tim Peneliti. Foto : Dokumentasi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

 

Database biodiversitas laut

Muhammad Abrar, peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebut, ARMS jadi satu langkah penting untuk mendata keanekaragaman hayati laut. Menurutnya, inventarisasi biota laut dan membentuk satu data biodiversitas terpadu merupakan langkah penting.

“Saya kira kalau dari aspek riset sudah banyak, cuma yang jadi masalah belum terbangun dalam sistem database secara nasional,” katanya.

Dia pun mengakui terseraknya data di berbagai instansi pemerintah dan non pemerintah. Belum ada sistem data yang terbangun, dan aksesnya juga masih sangat prosedural dan cukup rumit.

“Perlu sistem database yang terintegrasi. Seharusnya memungkinkan, karena, kan, tinggal koordinasi saja sebenarnya. Koordinasi nanti ya siapa pun lembaganya atau kementeriannya enggak ada masalah.”

Tidak hanya itu, baginya, perawatan dan keberlanjutan juga tidak boleh luput. Sebab, pemutakhiran data pun memerlukan biaya yang tak sedikit.

Untuk itu, perlu diskusi, koordinasi, dan realisasi yang sangat serius. Para peneliti, katanya, sudah lama menyadari pentingnya data demi upaya konservasi suatu wilayah.

Dalam hal ini, setiap instansi bisa melengkapi data sesuai lokasi penelitian. Misal, Undip Semarang yang memiliki data di perairan Karimunjawa, belum tentu memiliki data di perairan Papua.

Karena itu, instansi yang memiliki data di perairan Papua bisa berkontribusi melengkapi kekosongan, supaya database biodiversitas laut Indonesia utuh dan lengkap.

“Kalau itu digabung, ada teman di Papua yang ngambil, ada yang di Sumatera, lalu digabung jadi satu. Nah, itu kan kekayaannya jadi lebih tinggi.”

Abrar bilang, data biota laut di suatu kawasan tertentu sangat penting untuk kepentingan pengelolaan dan konservasi. Apalagi, jika biota tersebut endemik dan sangat langka.

“Kalau data itu tidak terbangun bagus, ya, kita lost dalam pengawasannya, dalam pengelolaan. Dampaknya kita tidak bisa mengontrol di lapangannya.”

Ketersediaan data awal jadi penting untuk pengawasan ihwal perkembangan populasinya. Langkah untuk rehabilitasi, restorasi, dan konservasi sangat tergantung dari fluktuasi populasi yang bisa terdata ini.

“Potensi ke sana, kalau kita tidak punya data yang bagus.”

Pemasangan ARMS di perairan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) pada 10-12 Mei 2025. Foto : Dokumentasi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

 

*****

Exit mobile version