- Memiliki perairan yang sangat luas, sektor kelautan dan perikanan Indonesia menyimpan potensi melimpah. World Resource Institute (WRI), bahkan mencatat Indonesia sebagai negara dengan produksi perikanan tangkap terbesar kedua setelah Tiongkok dan berkontribusi 25 persen terhadap kebutuhan perikanan global.
- Merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), luas perairan Indonesia mencapai 6,4 juta kilometer persegi, 3 juta di antaranya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kendati demikian, pengelolaan sumber daya perikanan dirasa belum maksimal. Salah satunya, akibat praktik Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUUF), baik oleh Kapal Ikan Asing (KIA) atau Kapal Ikan Indonesia (KII).
- Pada 2023, PSDKP menangkap 165 kapal karena terlibat IUUF, 150 di antaranya dilakukan oleh kapal-kapal berstatus KII. Di tahun berikutnya, angka IUUF melonjak drastis hingga 212 kapal, yang 182 diantaranya dilakukan oleh KII. Sedangkan hingga Mei 2025 ini, terdapat 34 kapal tertangkap, belum termasuk dua kapal asal Malaysia yang dibekuk petugas karena mencuri ikan di Natuna.
- Secara global, nilai perdagangan dari praktik IUUF ini mencapai USD10-23 miliar per tahun dengan nilai kerugian ekonomi mencapai USD50 miliar, termasuk di Indonesia yang diperkirakan mencapai USD4 miliar per tahun. Tingginya valuasi ekonomi IUUF ini bahkan menjadikannya sebagai kejahatan sumber daya ketiga yang paling menguntungkan setelah kayu dan pertambangan.
Memiliki perairan yang sangat luas, sektor kelautan dan perikanan Indonesia menyimpan potensi melimpah. World Resource Institute (WRI), bahkan mencatat Indonesia sebagai negara dengan produksi perikanan tangkap terbesar kedua setelah Tiongkok dan berkontribusi 25% terhadap kebutuhan perikanan global.
Merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), luas perairan Indonesia mencapai 6,4 juta kilometer persegi, 3 juta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kendati demikian, pengelolaan sumber daya perikanan belum maksimal. Salah satunya, karena praktik Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUUF), baik oleh kapal ikan asing (KIA) atau kapal ikan Indonesia (KII).
Alih-alih berkurang, laporan Direktorat Jenderal PSDKP justru menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2023, misal, PSDKP menangkap 165 kapal karena terlibat IUUF, 150 oleh kapal-kapal berstatus KII.
Pada tahun berikutnya, angka IUUF melonjak drastis hingga 212 kapal, yang 182 oleh kapal lokal. Sampai Mei 2025 ini, terdapat 34 kapal tertangkap, belum termasuk dua kapal asal Malaysia yang dibekuk petugas karena mencuri ikan di Natuna.
Kapal-kapal asal Filipina, Malaysia dan Vietnam tercatat sebagai negara dengan kapal paling banyak terlibat IUUF di Indonesia. Dari 2023 hingga 2025 ini, sebanyak 28 kapal asal Filipina itu tertangkap oleh petugas PSDKP karena mencuri ikan. Disusul Malaysia di urutan kedua dengan 16 kapal (belum termasuk dua kasus terbaru) dan Vietnam 8 kapal.
Kendati demikian, beberapa kapal asal negara lain juga terdeteksi lakukan IUUF di Indonesia. Seperti Rusia, Tiongkok, serta Sierra Leone.
Tren peningkatan IUUF tidak hanya dilakukan kapal-kapal asing, tetapi juga kapal lokal (KII). Pada 2020 misal, jumlah KII tertangkap sebanyak 35 kasus, meningkat menjadi 116 kasus di 2021. Meski sempat turun menjadi 79 kasus pada 2022, angka kembali naik jadi 150 kasus dalam 2023 dan 182 pada 2024.
Samuel Sandi Rundupadang, Kepala PSDKP Batam, mengatakan, antara lain penyebab banyak kapal lokal terlibat illegal fishing sebagai buntut penerapan PP 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang mengatur banyak hal. “Karena kan memang kita ingin membereskan tata kelola, kalau tidak percuma,” katanya, Rabu (4/6/25).
Merugikan ekonomi-ekologi
Imam Prakosa, peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengatakan, kendatipun kasus IUUF naik turun, namun, ada beberapa wilayah perairan paling banyak menjadi sasaran praktik lancung ini. Salah satuny, a Laut Natuna Utara (LNU). Selain itu, kapal-kapal yang tertangkap juga belum menunjukkan angka yang sebenarnya.
Sepanjang 2025 ini, ada 132 kapal asal Vietnam terdeteksi mencuri ikan di LNU, 74 terdeteksi pada April. “Artinya, yang tertangkap jauh lebih sedikit ketimbang kapal-kapal yang terdeteksi mencuri ikan di Natuna,” katanya.
Selain Natuna, ancaman IUUF juga rawan terjadi di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) lain. Terutama di 571, 711, 716, 717, dan 718, meski dengan modus berbeda. “Bahkan kelima wilayah itu menjadi atensi pelaku IUUF dengan karakteristik sumber daya ikan dan modus IUUF yang berbeda-beda.”
Di wilayah 571, 711, dan 716 modus penangkapan ikan ilegal berulang dan dikenali. Sedangkan di 717 dan 718 rawan transshipment illegal and unreported fishing. Masih marak terjadi kasus bom ikan terutama wilayah Indonesia bagian timur. Ada juga melanggar wilayah penangkapan ikan di ZEE negara tetangga, seperti Timor Leste, Papua New Guinea dan Australia.
Menurut Imam, ada banyak faktor mengapa jumlah kapal yang tertangkap dengan yang terdeteksi melakukan IUUF berbanding terbalik. Misalnya, keterbatasan personel, kemampuan pemantauan, daya jelajah, aset atau sarana dan prasarana, hingga anggaran yang terbatas.
Masalahnya, maraknya «praktik IUUF ini marak tidak hanya merugikan Indonesia secara ekonomi juga mengakibatkan kerusakan serius di perairan. Pasalnya, hampir semua kapal-kapal ilegal yang beroperasi, baik lokal maupun asing, pakai alat penangkapan ikan (API) terlarang karena berisiko merusak ekosistem laut.
Dalam kasus di Natuna, misal, kapal-kapal asal Vietnam menggunakan pair trawl yang beroperasi dengan menarik dari dasar laut. Akibatnya, tidak hanya merusak terumbu karang, juga rumpon milik nelayan kecil.
Ipung Nugroho Saksono, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan (PSDKP) mengonfirmasi hal itu. Tahun ini saja, kerugian dari praktik lancung ini mencapai Rp841,4 miliar. Nilai itu terkalkulasi dari hasil tangkapan ikan para pelaku, kerusakan ekologi dan juga valuasi akibat penggunaan API ilegal.
Selama ini, kata Imam, pemberantasan IUUF lebih banyak dilakukan KKP. Padahal sesuai aturan perundang-undangan, kementerian dan lembaga lain juga memiliki wewenang sama dengan KKP, seperti TNI AL, Bakamla dan Kepolisian.
Idealnya, lembaga-lembaga itu saling bersinergi dan berkoordinasi. Termasuk sinergi meliputi pertukaran data dan sistem informasi keamanan laut, patroli dan penegakan hukum. Di lapangan, koordinasi itu sepertinya tidak berjalan mudah.
“Satu sisi regulasi yang belum sepenuhnya dapat mendukung sinergi ini dapat dimanfaatkan oleh oknum aparat penegakan hukum melakukan tindakan yang tidak berintegritas seperti praktek pungutan tidak resmi di tengah laut yang sering dikeluhkan pelaku ekonomi perikanan,” kata Imam.
Samuel klaim, koordinasi antar penegak hukum di laut sudah berjalan baik dan tidak alami kendala berarti. Seperti mekanisme patroli bersama antar lembaga sudah terjadi belakangan ini, baik itu Bakamla, KKP, KPLP, Bea Cukai hingga Polairud sudah berkolaborasi dengan baik. “Di dalam penjagaan di laut sudah saling mengisi kekosongan,” katanya.
Meskipun patroli bersama, penanganan penyidikan ke instansi berwenang. “Misalnya kami temukan penyelundupan, kami serahkan ke Bea Cukai, masalah pelayaran ke KPLP, dan lainnya.” Bahkan secara aturan juga sudah ada bagaimana kolaborasi antar lembaga dalam keamanan laut itu.
Meski begitu, Samuel tidak menampik ada keterbatasan PSDKP menangani IUUF ini, Terutama, imbas dari kebijakan efisiensi anggaran karena berdampak pada kegiatan pemantauan di lapangan.
Namun, katanya, bukan berarti laut kosong dari pengawasan. Selama ini, PSDKP mengandalkan laporan dari masyarakat nelayan ketika ada kapal asing di Laut Natuna Utara.
“Meskipun terdampak efisiensi, tetapi kita lakukan langkah strategis yang bisa efektif dan efisien, dengan cara mendapatkan laporan dari masyarakat.”
Ady Muzwardi, akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang Kepulauan Riau mendorong pembentukan coast guard bisa menjadi solusi jangka panjang penanganan IUUF. Supaya penanganan keamanan laut secara penegakan aturan dan di mata internasional jelas duduk perkaranya.
“Kalau dibentuk Coats Guard tentu keamanan laut kita lebih kuat, baik secara nasional maupun internasional,” katanya.
Coast guard itu, katanya, bisa masuk dalam aturan keamanan laut yang selama ini belum ada. Indonesia harus membuat RUU Keamanan Laut, di dalamnya ada lembaga khusus keamanan laut.
“Kalau sekarang Bakamla hanya mengatur atau koordinasi antar unit, kalau ada lembaga coast guard sendiri secara utuh punya wewenang penangkapan dan penyidikan lebih kuat,” katanya.
Dhiana Puspitawati, Dosen Hukum Internasional Universitas Brawijaya, menilai, penanganan IUUF di Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan. Banyak regulasi KKP buat untuk menanggulangi isu ini. Mulai dari pembatasan penangkapan ikan, kebijakan port state measure agreement (PSMA), dan lainnya.
Persoalannya, kata Dhiana, ada pada dimensi tantangan struktural dalam implementasi berkaitan dengan aspek penegakan hukum. Indonesia memiliki banyak penegak hukum di laut, terkadang dalam prakteknya tumpang tindih.
“Sehingga sangat memungkinkan dikembalikannya satgas 155 atau semacamnya untuk menghadapi itu, jadi terkoordinir. Tetapi implementasi penegakan hukum di laut juga kita sadari tidak mudah ya,” katanya.
Buka identitas penerima manfaat
Imam Trihatmadja, Peneliti Destructive Fishing Watch (DFW) mengatakan, tata kelola perizinan menjadi salah satu pintu untuk menekan illegal fishing yang terjadi. Dalam contoh kecil, praktik IUUF terjadi di lintas batas WPP.
Hal lain yang tak kalah penting, katanya, meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum. Pasalnya, banyak kasus IUUF, yang seharusnya bisa ditangani secara pidana, dianggap sebagai pelanggaran biasa. “Ujungnya, penyelesaiannya hanya dilakukan secara administratif.”
Sihar Silalahi, Ocean Campaigner Greenpeace Indonesia menyatakan, memerangi IUUF tidak bisa dengan melupakan satu prinsip: transparansi. Prinsip ini tidak hanya menyangkut data tangkapan, tetapi juga identitas para pihak atau entitas yang terlibat IUUF.
“Yang terjadi selama ini kan tidak. Alih-alih entitas atau penerima manfaat, indentas kapal yang terlibat saja seringkali tidak dibuka,” katanya.
Padahal, informasi itu sangat penting. Tidak hanya menjadi informasi tambahan bagi masyarakat untuk turut mengawasi, tetapi untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku lain.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki sistem pendataan berbasis risiko. Tidak hanya terhadap kapal yang terlibat aktivitas IUUF saat ini, tetap juga jejak kapal dimaksud. Hal ini penting untuk memudahkan pengawan berdasar rekam jejak yang pernah terjadi.
“Kita tahu, personel kita sangat terbatas. Tetapi, data itu akan menjadi semacam guidence bagi petugas untuk memberi perhatian lebih pada aktivitas kapal dari perusahaan yang secara historis pernah terlibat IUUF.”
Laporan Financial Transparency Coalition mengonfirmasi pernyataan Sihar. Selama ini, jarang buka informasi mengenai penerima manfaat dari kapal. Itu berlangsung sejak proses perizinan dimulai.
“Kerahasiaan finansial ini turut menjadi faktor pendorong utama terjadinya IUUF karena membuat pelaku sebenarnya tidaik terekspos dan sulit ditangkap,” tulis dokumen tersebut. Padahal, nilai perputaran uang dari bisnis ilegal ini tidak sedikit.
Secara global, perdagangan dari praktik IUUF ini mencapai US$10-23 miliar per tahun dengan nilai kerugian ekonomi US$50 miliar, termasuk di Indonesia dengan perkiraan US$4 miliar per tahun. Tingginya valuasi ekonomi IUUF ini bahkan menjadikannya sebagai kejahatan sumber daya ketiga yang paling menguntungkan setelah kayu dan pertambangan.
*****