Mongabay.co.id

19 Tahun Lumpur Lapindo, Waswas Terus Hantui Warga Terdampak

 

 

 

 

 

 

Hampir dua dekade berlalu, warga di sekitar wilayah Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) tak bisa lupa. Hari itu, 29 Mei 2006, sumur pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo menyemburkan lumpur yang menjadi titik mmula pemindahan warga dalam jumlah besar.

Hari itu menjadi awal bencana industri yang jadi tragedi yang tak pernah ada dalam sejarah Indonesia. Luapan lumpur panas iut menyebabkan permukiman dan ratusan hektar lahan pertanian, fasilitas umum, dan infrastruktur terkubur. Lebih dari 60.000 warga dari belasan desa/kelurahan di tiga kecamatan di Sidoarjo hilang dari peta dan data kependudukan.

Kendati sudah 19 tahun berlalu, semburan lumpur itu masih berlangsung hingga kini, dengan volume lebih kecil. “Sampai saat ini masih menyemburkan lumpur,  yang nampak kecil seperti tidak terlihat. Masih menyembur sampai sekarang,” kata Eko Widodo, warga yang tinggal di sekitar tanggul lumpur.

Pernyataan Eko yang juga tergabung dalam Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (KKLuLa) itu sekaligus menegaskan kabar yang beredar bahwa semburan lumpur sempat berhenti itu tidak benar.

Amien Widodo, geolog dan peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengonfirmasi pernyataan Eko. Sampai saat ini, katanya, lubang di pusat semburan masih memproduksi gas hingga masih ada material yang  keluar seperti lumpur panas.

“Kalau sudah terlanjur keluar, ya akan keluar terus, karena masih ada produksi gas di bawah sana meski saat ini terlihat keluarnya kecil.”

Secara geologis, kata Amien, hal itu tidak lepas dari kondisi Jatim yang memiliki banyak daerah cekungan akibat ada lapisan gas, minyak bumi, lumpur, maupun air asin. Selama produksi migas di perut bumi masih berlangsung, dia belum bisa memastikan kapan semburan akan berhenti.

Dirinya pun menyontohkan beberapa kawasan yang memiliki tipikal sama dengan daerah lumpur Lapindo, seperti Gunung Anyar, Sedati, Lidah Kulon, serta daerah Karah di Surabaya. Pada masa lalu, kata Amien, beberapa daerah itu  merupakan kawasan penambangan migas oleh Belanda sejak 1888.

“Jumlah sumurnya banyak, kedalamannya hanya kecil, sekitar 100-300 meter, tidak dalam. Jumlah ratusan titik bor itu setelah habis dan tidak produktif lalu ditinggal, yang keluar adalah semburan lumpur tadi. Meski kecil sekali, sampai sekarang masih keluar,” kata Amien.

Permukiman yang kini berubah menjadi danau lumpur. Hingga kini, total luas genangan lumpur mencapai 7 kilometer persegi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Ancaman tanah ambles

Banyaknya material lumpur yang keluar akan menciptakan rongga dalam perut bumi dan berisiko menyebabkan penurunan tanah atau ambles. Peristiwa tanah ambles sejatinya kerap terjadi pada fase awal, seperti  sekitar November 2006 yang sebabkan jalur pipa gas pertamina di sekitar jalan tol Surabaya-Gempol patah dan terbakar.

Begitu juga pada 2009, amblesan terjadi di beberapa titik di sekitar pusat semburan di dalam area tanggul penahan lumpur. Rangkaian peristiwa itu memunculkan semburan kecil-kecil di luar tanggul, di sekitar permukiman warga di luar peta terdampak pada waktu itu.

“Waktu itu ada tim dari pemprov yang ditugaskan meneliti, dan menyarankan penduduk di sekitar 60 RT untuk pindah.”

Bagaimana dengan kondisi saat ini? Amien tidak dapat memberikan data pasti karena belum pernah  uji geoseismik di area tanggul. Sebelumnya, pada 2010 dan 2016, sudah  menyarankan pemasangan GPS di sekeliling tanggul untuk mengetahui ada tidaknya deformasi, berupa kenaikan atau penurunan permukaan tanah.

“Kita berharapnya tidak ada. Tetapi, kita bisa tahu ada dan tidaknya kan dari pengukuran. Kita menyarankan itu (pasang GPS), tapi yang menindaklanjuti siapa dan bagaimana hasilnya kita kita tidak tahu juga.”

Uji geoseismik merupakan pengujian kondisi bawah permukaan dengan memasukkan getaran yang menembus ke dalam bumi. Getaran itu kemudian kembali dan ditangkap oleh alat yang terpasang, sehingga dapat diperoleh informasi mengenai lapisan yang ada di bawah.

“Tapi kalau kondisinya masih seperti itu (keluar semburan), kesulitan juga mengukurnya di bagian tengahnya, bagaimana masuknya, takut juga. Kalau di sampingnya bisa, tapi kan tidak bisa mewakili keseluruhan,” kata Amien.

Namun begitu, salah satu indikator untuk mengetahui  amblesan tanah itu bisa  pada bagian barat tanggul atau di area jalur rel kereta api. Sebelumnya, di kawasan itu sering terjadi amblesan. Bahkan, PT Kereta Api Indonesia (KAI) beberapa kali meninggikan jalur kereta.

Bila jalan rel kereta api masih sering dilakukan peninggian, maka itu bisa menjadi indikator terjadinya penurunan tanah. “Kalau jalur kereta itu dinaikkan terus berarti kan di situ sering ambles. Karena rel harus lurus jalannya, begitu saja cara mengetahuinya.”

Amien menyarankan, pemasangan GPS maupun uji geoseismik perlu  pemerintah jalankan, sebagai data dan pengukur ada tidaknya ancaman amblesan tanah yang dapat membahayakan warga yang masih bermukim di sekitar tanggul. Termasuk di daerah permukiman padat penduduk, juga perlu dilakukan pengukuran secara berkesinambungan.

 

Gumpalan lumpur Lapindo di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang telah mongering. Hingga kini, lumpur yang keluar sejak 29 Mei 2006 itu terus menyembur. Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Impunitas korporasi

Eko  mengatakan, sampai 19 tahun bencana lumpur Lapindo, pemerintah hampir tidak pernah melakukan upaya untuk menangani masalah ini. Khusus,   masalah ekologis, kesehatan masyarakat, maupun kesulitan ekonomi yang dialami warga.

“Dari dulu sebenarnya sampai dengan sekarang tidak terlalu diperhatikan, termasuk bagaimana perubahan-perubahan yang ada di wilayah sekitaran tanggul jarang ada perhatian.”

Dia contohkan, warga yang tinggal di timur dan utara tanggul karap alami banjir saat musim penghujan akibat luapan air dari kolam penampungan. Belum lagi angin puting beliung yang sebelum ada semburan lumpur jarang terjadi.

Soal penurunan tanah, dia tidak memiliki data dan informasi uji geologi mengenai hal itu. Warga juga belum ada yang melapor. Namun, pada 2017,  Lapindo sempat mencoba melakukan uji seismik karena akan mengebor di tempat yang baru di sekitar tanggul. Namun, bagaimana hasilnya, dirinya tak tahu.

Di Desa Gempolsari sudah beberapa tahun terakhir mengalami permasalahan banjir saat musim penghujan. Hal itu terjadi lantaran saluran drainase dan irigasi yang terhalang tanggul, serta dampak rembesan air kolam penampungan tanggul lumpur Lapindo saat hujan deras turun.

Belum ada penanganan dari pemerintah saat banjir yang merendam sebagian jalan dan permukiman warga, hingga banjir surut dengan sendirinya selama hampir seminggu menggenangi. “Banjir terjadi karena dari resapan air tanggul, itu sampai hari ini terjadi. Beberapa ruas jalan di Gempolsari terutama yang menuju ke balai desa juga sering banjir, sampai di rumah-rumah warga.”

Walhi Jawa Timur menilai, tragedi lumpur Lapindo bukan sekadar kegagalan teknis. Lebih dari itu, peristiwa itu juga menjadi gambaran nyata impunitas korporasi dan kegagalan negara melindungi warga dan lingkungan hidupnya.

“Kasus lumpur Lapindo adalah simbol pengabaian tata kelola sumber daya alam dan keselamatan manusia maupun ekologis. Tidak ada satu pun dari korporasi yang bertanggung jawab secara hukum sampai hari ini,” kata Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.

Negara, lanjut Wahyu, benar-benar gagal menunjukkan otoritasnya untuk memberi sanksi, meski perusahaan secara nyata menyebabkan lingkungan rusak dan ribuan warga terusir dari tempat tinggalnya. Parahnya lagi, negara justru turut menanggung beban keuangan dalam jumlah besar yang sampai saat ini belum dilunasi oleh Lapindo Brantas.

Wahyu ingatkan, tragedi lumpur Lapindo sebagai bukti nyata kegiatan ekstraktif di Indonesia berlangsung dalam kerangka tidak demokratis dan merugikan banyak orang. Praktik tersebut terjadi di banyak tempat di Indonesia, meski dalam bentuk dan kemasan berbeda.

Walhi Jatim menilai, keadilan ekologis hanya dapat dicapai bila negara hadir melindungi rakyatnya, bukannya memfasilitasi kepentingan industri. “Ini adalah penanda bahwa kesehatan dan keselamatan rakyat diabaikan demi investasi, dan negara masih belum serius menegakkan hukum lingkungan.”

 

Rumah warga yang tenggelam akibat semburan lumpur Lapindo. Foto: Wikimedia Commons/Arifhidayat/CC BY-SA 3.0 DEED

Hari Anti Tambang

Tragedi Lumpur Lapindo pada 29 Mei 2026 adalah  satu bencana terbesar akibat industri ekstraktif, melihat sebaran dan dampaknya yang berlangsung hingga kini. Tidak mengherankan bila kejadian itu mendasari kelahiran  Hari Anti Tambang (Hatam) yang diperingati setiap  29 Mei. Peringatan tahun ini, Hatam di Flores, dari 26-29 Mei 2025.

Gagasan memperingati Hatam muncul saat pertemuan nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2010, dan mulai diperingati secara nasional setahun kemudian. Sejak itu, peringatan Hatam melibatkan warga korban tambang yang kehilangan ruang hidup dan terdampak kerusakan lingkungan, serta para aktivis lingkungan yang fokus pada penolakan tambang.

“Adat dan budaya adalah kunci untuk mempertahankan ruang hidup, menguatkan perjuangan kita mempertahankan tanah leluhur,” kata Harwati, warga Porong,   penyintas lumpur Lapindo.

Dalam keterangan tertulis yang Mongabay terima, Hatam  untuk mengingatkan kembali bahwa industri ekstraktif bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi dan investasi juga  nyawa, air, tanah, dan hak hidup masyarakat yang kerap disingkirkan demi kepentingan elit dan korporasi.

 

Peserta aksi membawa psoter protes industri ekstraktif yang merusak lingkungan dan menyengsarakan warga. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Melky Nahar,  Koordinator Nasional JATAM mengatakan,  melawan ekstraktivisme karena tahu tambang dan proyek ekstraktif lain  hanya bentuk lain dari penjajahan menyaru dalam nama pembangunan.

“Kita merawat hidup karena tanah, air, hutan, dan udara adalah bagian dari tubuh kita. Karena tak ada artinya pembangunan jika kehidupan rakyat dilenyapkan.”

Hatam juga merupakan penolakan terhadap logika pembangunan yang menjadikan bumi sebagai obyek eksploitasi tanpa batas. Karena itu, Hatam juga menjadi momentum untuk mengajak semua elemen bersatu dan membangun kekuatan kolektif guna menyusun ulang narasi pembangunan dari sudut pandang rakyat, bukan dari pemerintah maupun investor.

Bukan hanya ruang peringatan simbolik, Hatam ini juga  sarana pendidikan politik rakyat, solidaritas lintas sektor, dan konsolidasi perlawanan terhadap rezim ekstraktivisme.

“Bumi adalah rumah bersama, bukan sekadar sumber daya tetapi ruang hidup dan tempat suci. Kepada pemerintah, dengarkan suara tanah ini! Dengarkan suara umat yang menangis!” kata Pater Charles Beraf SVD – perwakilan Keuskupan Agung Ende dan JPIC SVD Ende. Dia bilang, membangun masa depan tak bisa dengan menghancurkan masa lalu.

 

Aksi Hari Anti Tambang (HATAM) 2025 di Mataloko, Ngada, Flores, NTT. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

*****

 

15 Tahun Lumpur Lapindo: dari Masalah Kesehatan sampai Gangguan Tumbuh Kembang Anak

Exit mobile version