Mongabay.co.id

Akhirnya Kementerian Cabut Izin Lingkungan Tambang Seng di Dairi

Setelah perjuangan panjang warga Dairi sampai ke Mahkamah Agung, akhirnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencabut izin kelayakan lingkungan hidup perusahaan tambang seng, PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Sumatera Utara.

Pencabutan itu termaktub dalam Keputusan KLH/ Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Nomor 888/2025 tentang Pencabutan atas Putusan Menteri KLHK Nomor SK 854/MenLH/Setjen/PLA.4/8/2022. Itu surat keputusan itu tentang kelayakan lingkungan hidup pertambangan seng dan timbal di Kecamatan Silima Pungga-pungga, Dairi, Sumatera Utara oleh DPM.

Hanif Faisol Nurofiq,  Menteri Lingkungan menandatangani keputusan ini pada 21 Mei 2025, sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Agung No. 277/K/TUN/LH/2024 pada 12 Agustus 2024.

Sebelumnya, warga Dairi mengajukan gugatan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait izin kelayakan lingkungan hidup DPM akhir 2022. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan warga dan memerintahkan pencabutan persetujuan izin lingkungan DPM.

Alih-alih cabut, KLHK justru mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi  Tata Usaha Negara (PTTUN). Keputusannya, mengabulkan banding dari KLHK.

Lalu warga Dairi kasasi ke Mahkamah Agung dan kelaur putusan 10 bulan lalu dan baru eksekusi pada Mei 2025.

Rosa Vivien Ratnawati,  Sekretaris Utama KLH, tidak bisa menjawab alasan kenapa baru menindaklanjuti putusan MA ini. Namun, dia bilang, KLH menghormati putusan MA, hingga Mei ini pencabutan izin DPM.

Menurut dia, putusan itu menjadi yurisprudensi bagi KLH untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup.

“Memang hal itu menjadi yurisprudensi penting dalam pemenuhan hak masyarakat,” katanya di Jakarta, Jumat (25/5/25).

Dia memastikan,  DPM tidak akan lagi beroperasi. DPM, katanya,  harus memulai dari nol kalau ingin mengajukan permohonan kelayakan lingkungan hidup. Termasuk, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan persetujuan dari masyarakat.

“Artinya,  kalau berproses dari awal berarti dengan masyarakat dulu dan sebagainya. Teknologinya betul-betul dipastikan. Lokasinya. Kita akan mengecek lagi dulu itu. Jadi memastikanlah, apakah betul sudah jauh lebih baik teknologinya. Itu yang akan kita pastikan.”

Vivien mengatakan,  kondisi lingkungan selalu berubah-ubah. Mereka juga sudah melakukan evaluasi dan mendengarkan masukan masyarakat. Dari hasil itu, memang terindikasi DPM belum cukup melindungi lingkungan.

Dia juga menegaskan pencabutan izin ini bukan karena KLH ingin meghambat investasi di Indonesia. Investasi, katanya,  juga harus memikirkan dampak lingkungan.

“Kalau investasi ini menjadi tidak aman untuk rakyat Indonesia, untuk lingkungan hidup, untuk kesehatan mereka, apakah akan diteruskan seperti itu? Tidak. Investasi, silakan masuk. Tapi saya minta itu untuk para investor untuk menjaga lingkungan,” katanya.

Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum warga Dairi  menyambut baik pencabutan izin kelayakan lingkungan hidup DPM. Keputusan itu, katanya,  sudah tepat.

“Putusan Mahkamah Agung itu tidak bisa diabaikan, kalau tidak itu pembangkangan hukum,” katanya kepada Mongabay.

Namun dia sedikit menyayangkan karena KLH tidak mengeksekusi putusan MA secepatnya, hingga warga Dairi menunggu cukup lama. Keputusan ini juga  keluar setelah beberapa kali warga Dairi aksi menagih tindak lanjut putusan MA.

Dia juga mengingatkan KLH untuk memastikan DPM benar-benar pergi dari Dairi dan tidak ada lagi perusahaan tambang yang masuk.

Menurut dia, Dairi tak cocok untuk tambang. Dairi, katanya, adalah lahan pertanian subur.

“Jadi tidak bisa dialihfungsikan untuk apapun.”

KLH, katanya,  harus lebih mendengarkan masyarakat karena mereka yang tahu kondisi lingkungan dan yang bakal terdampak.

 

Aksi Masyarakat Dairi di Kantor Kementerian Lingkungan di Jakarta, 22 Mei lalu. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

 

Monica Siregar, pendamping masyarakat Dairi dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) mengatakan, langkah tegas ini seharusnya pemerintah lakukan sejak awal.

“Selama ini,  kalau kita hanya misal via surat menyuruh KLH untuk menjalankan putusan itu, itu kayaknya nggak mempan, nggak ampuh gitu. Harus betul-betul didobrak dulu itu, pagar KLH baru mereka penuhi keinginan rakyatnya,” katanya kepada Mongabay 23 Mei 2025.

Pencabutan izin KLH adalah buah perjuangan masyarakat Dairi bertahun-tahun berupaya mengusir DPM. Dampak sosial hingga ekonomi harus mereka lalui.

“Selama ini mereka di lingkar tambang bergesekan, ada yang pro dan kontra. Dengan ada surat ini (putusan), masyarakat antusias dan gembira tadi.”

Menurut Monica, hasil diskusi dengan KLH, putusan ini bersifat tetap. PT pun tidak bisa mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Dia pun meminta KLH turun langsung ke lapangan mensosialisasikan kepada masyarakat soal pencabutan izin DPM.

“Karena pada kenyataannya mereka (DPM) masih beroperasi. Kalau warga yang suruh berhenti, nanti malah diintimidasi,” katanya.

Dia bilang, putusan ini bukan akhir dari perjuangan masyarakat. Masyarakat berencana kembali melaporkan DPM kepada Penegakan Hukum KLH soal pelanggaran administrasi karena masih beroperasi meski telah dinyatakan kelayakan lingkungan tidak sah.

Rohani Manalu, Koordinator Advokasi YPDK menambahkan, sudah selayaknya negara mencabut izin lingkungan itu. Dia nilai pemerintah tidak mempertimbangkan dampak luas saat keluarkan izin di Dairi yang subur dan sejuk.

Kalau perusahaan sampai dapat izin lingkungan lagi, maka negara dengan sengaja mengundang bencana sosial ekologis yang panjang ke depan.

“Kami pertama sangat bersyukur atas keputusan KLH, kami akan mengawal putusan ini,” katanya.

Dia tekankan, jangan ada proses ulang izin lagi karena tambang sangat berisiko. Kalau narasi yang pemerintah bangun dengan tambang akan ada peningkatan PAD Dairi, itu hanya halusinasi belaka. Faktanya,  ada 83% warga Dairi sebagai petani, dan 40% pendapatan asli dari sektor pertanian.  Justru dari angka-angka itu, pengangguran di kabupaten ini sangat kecil.

“Bagaimana mungkin ada kemakmuran dan kesejahteraan di bumi yang rusak dan hancur?”

Pangan-pangan lokal di sini berisiko lenyap kalau perusahaan tambang beroperasi. Jadi, sudah seharusnya, KLH mencabut izin kelayakan lingkungan.

Muh Jamil, Kepala Divisi Hukum & Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sepakat, persoalan ini harus menjadi pembelajaran KLH dalam memegang prinsip kehati-hatian.

KLH, katanya, harus menerapkan partisipasi bermakna. Pada kasus Dairi, kata Jamil, pihak-pihak yang dilibatkan hanya yang setuju proyek itu.

Jamil juga mengingatkan,  tidak ada lagi izin yang lolos di Dairi. Apalagi, katanya, Dairi kawasan rawan bencana.

Selama ini, longsor terjadi di Dairi ketika hujan lebat. Apalagi kalau lingkungan makin rusak.

Berdasarkan jurnal “Spatial distribution of landslide vulnerability level in Dairi District, North Sumatera Province, Indonesia,”  luas lahan tergolong rawan longsor di Dairi mencapai 5.670,52 hektar.

Rinciannya, 1.817,49 hektar (12,49%) kategori kerawanan sangat tinggi dan 3.853,03 hektar (26,48%) tinggi. Penelitian dengan menggunakan metode Storie Index dalam GIS.

 

 

Tambang seng yang sudah mengupas hutan di dataran tinggi Dairi. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

Pemulihan lingkungan

Trend Asia mencatat,  DPM sudah eksplorasi di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Dairi sejak 1997. Pada 1998, perusahaan mendapat kontrak karya dari pemerintah dengan konsesi 27.420 hektar.

Namun, ada perubahan teknis-administrasi, luas konsesi DPM menjadi 24.636 hektar, tersebar di tiga kabupaten dan dua provinsi yakni Dairi, Pakpak Bharat di Sumatera Utara dan Subulussalam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Saat itu, 70% saham perusahaan Herald Resources Limited pegang, sisanya, PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Saham perusahaan kemudian beralih 100% ke PT Bumi Resources Minerals (BRMS), milik keluarga Aburizal Bakrie.

Namun, BRMS tak mampu membayar utang. Walhasil, BRMS menjual 51% sahamnya kepada Non Ferrous China (NFC).

Sepanjang 2006 hingga 2011, Trend Asia mengungkapkan DPM mengebor di 372 titik tersebar di Desa Longkotan, Bongkaras. Pada 2012, terjadi kebocoran limbah hingga mencemari sawah dan Sungai Sikalombun.

Limbah juga mencemari sumber air untuk irigasi sawah di Desa Bongkaras dan Tungtung Batu.

Berdasarkan pengamatan Jatam, saat ini sudah ada lubang sangat besar yang menjadi jalur ke bawah tanah. Di dalamnya ada banyak bahan peledak.

“Titiknya hanya berapa puluh meter dari warga dan hanya berapa meter dari jangkauan publik.”

Pada 2024, DPM memperlebar jalan menuju mulut terowongan di Sopokomil. Warga memprotes penggalian yang rencana sampai ke area sungai untuk penimbunan.

Jamil  bilang, metode penambangan DPM underground mining (bawah tanah). Ketika penambangan, risiko kerusakan sangat besar. Belum lagi, limbah dari timah dan seng volume juga besar.

Dia berpendapat, perlu ada pemulihan lingkungan. Sumber penghidupan warga Dairi harus dijaga.

Corak kehidupan dan ekonomi warga Dairi, kata Jamil, bergantung pada pertanian. Produk pertanian warga Dairi salah satunya kopi Sidikalang bahkan sudah mendunia. Ada banyak juga rempah-rempah.

“Warga Dairi tidak mengenal tambang, yang ada pertanian. Itulah yang menopang kehidupan mereka selama bergenerasi Jauh sebelum republik terbentuk,” katanya.

 

Marlince Sinambela, sedang menjemur olahan daun gambir. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

 

Buah perjuangan warga

Sebelumnya, puluhan masyarakat Dairi unjuk rasa di depan Kantor KLH/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Jakarta Timur, 22 Mei 2025. Aksi oleh ibu-ibu dan bapak-bapak ini menuntut KLH menjalankan putusan Mahkamah Agung  soal pencabutan izin DPM.

Mereka datang dengan mengenakan pakaian adat Batak dan juga membawa poster serta spanduk bertuliskan tuntutan. Dalam kesempatan itu, mereka menggelar aksi teatrikal dengan membawa hasil panen dan patung gurita.

Aksi ini sempat tak kondusif karena perwakilan dari KLH belum menemui masyarakat. Massa aksi menggedor-gedor pintu gerbang. Beberapa perempuan bahkan menaiki pintu gerbang setinggi sekitar 2,5 meter itu sambil meluapkan amarahnya.

Kondisi kembali kondusif setelah perwakilan KLH menemui masyarakat. Ketika keluar pintu gerbang, perwakilan KLH itu langsung diberondong pertanyaan oleh masyarakat soal pencabutan izin DPM. Sejumlah perwakilan masyarakat diminta masuk ke Kantor KLH untuk berdiskusi.

“Kami tidak mau DPM. Hanya merusak alam saja. Kami ingin berladang dengan tenang. Pemerintah harus cabut izinnya,” kata Rainim Purba, perempuan Desa Pandiangan, Kecamatan Laeparira.

Sejak putusan terbit, KLH/BPLH belum melaksanakan perintah pengadilan. Alhasil, DPM tetap menjalankan aktivitasnya.

Dia mengatakan perusahaan tambang seng itu telah merusak ekosistem. Masyarakat yang didominasi sebagai petani pun merasa terganggu, karena dampak pencemaran lingkungan.

“Kita sebagai petani sangat khawatir, dampaknya kita rasakan. Kami kami khawatir kalau tambang itu terus beroperasi kita petani menjadi susah karena tanah tercemar dan rusak,” kata perempuan berusia 64 tahun ini.

Junianto mengatakan, KLH/BPLH telah menerima permohonan mereka. Dalam pertemuan terbatas itu KLH/BPLH menyatakan, akan mengeluarkan pencabutan izin atas DPM paling lama tujuh hari.

 

 

Aksi warga Dairi di jakarta. Foto: Falahi MUbarok/Mongabay Indonesia

 

Waswas terus operasi

Kabar KLH resmi mencabut izin DPM membuat masyarakat gembira. Namun mereka tetap waswas, kalau perusahaan kembali beroperasi. Bila melihat rekam jejak, perusahaan ini tetap beroperasi meski izin tidak sah.

“Kita senanglah puas dengan putusan ini. Tapi kami minta DPM ini benar-benar ditutup,” kata Tioman Simangungsong, masyarakat Desa Parongil.

Perempuan berusia 66 yang tinggal di ring 1 tambang ini menyatakan, DPM membawa kehancuran ekologis. Dia khawatir, bila perusahaan itu terus beroperasi berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat yang sebagian besar mengandalkan alam.

Dia contohkan, mata air. Eksplorasi DPM di perbukitan membuat mata air yang mengaliri tujuh desa di Kecamatan Silima Pungga-Punga tercemar.

“Itu buat minum masyarakat juga. Itu (mata air) satu-satunya di area tambang, sumber air dari gunung.”

Senada dengan Darwin Situmorang, warga Desa Bongkaras. Pria 71 tahun ini mengatakan, perjuangan masyarakat belum usai. Masyarakat punya tugas berat merawat dan menjaga alam di Dairi agar tidak jadi tambang.

“Kami akan terus berjuang. Karena alam ini sudah memberikan kita kesejahteraan. Dari alam, kita bisa hidupi keluarga, menyekolahkan anak. Jadi tambang tidak membuat kita sejahtera, justru kehancuran.”

 

Poster yang dipasang di pagar Kantor KLHK di Manggala Bhakti, Jakarta. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

******

Mahkamah Agung Kabulkan Gugatan Warga, Cabut Izin Lingkungan PT DPM

Exit mobile version